Capek. Capek banget harus nanggung semuanya sendirian. Gak ada pendengar, gak ada pegangan, gak ada sandaran, bahkan rumah hangat yang selalu aku rindukan sekarang tidak seramai dulu.” Kalimat itu pecah beriringan dengan air mata yang tiada hentinya, mengalir deras membanjiri pipi.
Dia menunduk, digigit bibir itu menahan rintihan yang semakin menjadi. Beruntunglah tidak ada siapapun kala itu, setidaknya dia bisa dengan lepas mengeluarkan isi hatinya, meluapkan emosinya yang tak lagi bisa dia bendung, berharap setelah itu ketenangan bisa menghampirinya.
Tika mendesis bingung, dengan berat hati tangan itu menghubungi Arni. Tentu saja jantung itu terasa tak nyaman, detakannya semakin kuat, tangannya gemetar ketika mengetik sebuah pesan panjang pada wanita yang saat ini sedang bekerja di seberang sana.
Tak lama dering ponsel terdengar memenuhi ruangan, Tika tak lantas menjawab panggilan dari kontak yang dia beri nama Arni, beberapa detik dia habiskan untuk berpikir, alasan apa yang tepat untuk dia berikan kepada wanita itu.
Air mata diseka, isakan perlahan berhenti seiring jiwa yang mulai mendapi ketenangan. Bergegas jari telunjuk itu menekan ikon hijau, menerima panggilan dari majikannya.
“Assalamualaikum,” sapa Tika dengan suara yang terdengar parau.
“Waalaikumsalam. Ka ini apa? Maksudnya buat siapa?” tanya Arni tanpa berbasa-basi.
“Buat Mama, Bu. Maaf banget sebelumnya karena mengganggu waktu kerja, Ibu, saya jadi gak enak. Tapi katanya Mama lagi buru-buru banget, dan butuh uang sekarang juga,” jawab Tika, mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ya Allah. Tapi bukannya bulan kemarin kamu sudah kirim uang, ya?” tanyanya lagi.
“I-iya, Bu,” jawab Tika gelagapan.
“Terus ini buat apa lagi? Kasihan atuh kamu kalau gajinya terus-terusan dipotong,” ujarnya.
Sejenak Tika termenung, tentu saja Arni berkata demikian, dia bahkan sudah mengamati satu tahun lebih kinerja Tika di sana. Tika yang bisa bertahan dari semua pekerjaan dan kemarahan Heryani yang sudah berkali-kali menggoyahkan mentalnya di hadapan orang-orang, tentu membuat Arni prihatin.
Menyadari itu, Tika berdecak, “coba saja Mama juga bisa mengerti, pasti gak secapek ini.”
“Gimana, Ka?” ulang Arni di seberang sana.