Jadikan Aku Kuat

Yuricka
Chapter #37

Luka Datangnya Dari Dalam

Bak disambar petir di siang bolong. Tika terperangah mendengar perkataan ibunya, jika saja kejadian itu terulang kembali, mungkin Tika akan menjerit sejadi-jadinya.

Bagaimana tidak? Di hadapan banyak orang Heryani melayangkan makian dan membentaknya. Tidak peduli dengan Tika yang sudah menangis sesegukan, wanita tua itu meneruskan kalimat pedas padanya hingga mengundang perhatian dari banyak orang.

Tidak ada satupun diantara mereka yang bisa melerai kemarahan Heryani, semuanya bungkam dengan sorot prihatin yang mereka tujukan pada Tika. Jangankan kembali mengulang kejadia itu, mengingatnya saja sudah membuat Tika ketakutan.

"Udah lah, sekarang kerja aja yang bener, jangan terlalu digubris apa yang dikatakan bu Heryani, jangan diambil hati, namanya juga kerja di telunjuk orang, ya pasti capek."

“Kok gitu sih, Ma?” tanya Tika dengan posisi tangan yang semakin erat menggenggam ponselnya.

“Ya emang gitu. Mama juga dulu gitu, malah pengalaman Mama jauh lebih parah dari kamu,” jawabnya, seolah kekerasan yang dilakukan seorang majikan terhadap bawahannya adalah normal.

“Ya udahlah, Ma. Mau gimana lagi, mau berhenti juga gak tahu mau ngapain di rumah.” Tika menyudahi ceritanya di sana, dia rasa percuma saja bicara dengan ibunya, toh itu tidak membuahkan hasil apa-apa.

“Udahlah Ka, jangan cengeng, namanya juga kerja! Pasti capek, pasti dimarahi, pasti ada gak enaknya, yang penting mah kita amanah sama kerjaan kita, nanti juga majikannya baik!”

“Iya, Ma. Yasudah ya, Ma. Mau lanjut kerja,” ucap Tika menyudahi.

“Iya, Teh ... Oh iya, kalau bu Arni bisa ngirim uang, kabari, ya!” pintanya sebelum panggilan itu berakhir.

“CK!” Tika berdecak pelan.

“Iya, Ma. Tapi setelah ini maaf ya Tika gak bisa ngasih lagi, Tika juga belum beli apa-apa, terus Tika teh ada reuni bulan depan, masa pulang gak bawa uang. Lagian malu juga sama bu Arni kirim-kirim uang terus,” tegas Tika. Sekian lama akhirnya dia pun ada keberanian mengatakan itu.

“Oh mau pulang, kapan atuh biar Mama jemput,” tanyanya antusias.

“Gak perlu, Ma. Biar Tika sendiri aja!” tolak Tika cepat.

“Kok gitu kamu mah sama Mama teh, padahal mah biar sekalian Mama ketemu majikan kamu, kasian juga kamu pulang sendiri."

"Ini juga belum pasti, Ma. Yaudah lah, Ma, nanti aku kabari lagi. Aku matiin. Assalamualaikum.” Alih-alih menunggu jawaban dari sang ibu, Tika justru langsung menutup teleponnya.

"Astagfirullah," lirihnya. Tika memejamkan kedua matanya, napasnya tersendat-sendat mengatur kemarahan yang terus bergejolak.

"Kenapa sih Mama gak pernah mikirin perasaan aku? Sekali aja Mama peduli sama keadaan aku, mungkin aku gak bakal terus-terusan ngeluh kayak begini." Tika duduk di ujung ranjang, tatapan nanar terarah pada jendela.

"Kalau Mama sama Bapak aja gak peduli sama perasaan aku, terus siapa yang akan peduli? Siapa yang bisa aku jadikan sandaran?" Kalimat itu terhenti, air mata terus menyeruduk, tapi Tika coba untuk menahannya.

"Aku capek, capek terus-terusan begini, gak ada perubahan sama sekali. Aku juga pengen ngerasain hidup yang lebih baik, bisa pergi bebas, makan bebas, dan hidup tenang seperti orang lain."

"Tapi...." Kalimat itu terpotong ketika sebuah notifikasi kembali tersambung ke ponselnya.

Lihat selengkapnya