Setelah menempuh perjalanan tiga jam, akhirnya Tika sampai di kediamannya. Rumah kecil yang terbuat dari kayu sudah mendapati perubahan.
Gadis itu memusatkan pandangannya pada rumah tersebut, perlahan senyuman di wajahnya terlukis. Sangat bersyukur karena kerja kerasnya selama ini berhasil meninggalkan jejak perubahan di rumahnya, memang tidak banyak, tapi cukup untuk dia syukuri.
Setelah sampai di sana, sambutan hangat dia dapatkan dari keluarganya, terutama dari adik-adiknya yang sudah sangat merindukan dia. Satu persatu mereka memusatkan pelukan di tubuh mungil kakak nya, dan itu cukup untuk membayar kerinduan yang Tika pendam selama ini.
Sore ini Tika terdiam di depan rumah, duduk di kursi yang terbuat dari kayu, memandang lepas area persawahan yang sebentar lagi masuk musim panen.
“Kenapa gak ngasih tahu kalau mau pulang?” tanya Anita, ibunya, dari arah belakang. Sontak Tika memutar wajahnya menghadap sang ibu yang baru saja kembali dari warung dengan kedua tangan yang membawa kresek penuh belanjaan.
“Kan kejutan,” jawab Tika.
Anita menurunkan belanjaan dari tangannya, dia menghampiri Tika dan duduk di samping putrinya tersebut. “Padahal mah kabari aja, biar mama masak, terus mama bisa jemput kamu juga. Takut kalau berkendara sendiri, nanti kenapa-napa,” ujarnya.
‘Ternyata Mama perhatian juga,’ batinnya.
“Iya, Ma. Tadinya juga mau gitu, tapi gak papa lah, aku juga udah besar, biar ada pengalaman juga buat kedepannya, siapa tahu kedepannya dapat kerjaan di tempat yang lebih jauh,” jawab Tika ngasal, disusul tawa kecil dari mulutnya.
“Kerja mah mau di mana aja sama, yang penting bener, terus majikannya juga baik,” ujar Anita. Dia lantas bangun dan hendak masuk ke rumah. Namun, Tika kembali bersuara dan menghentikan langkah ibunya.
“Tapi kan bu Heryani mah galak,” celetuknya mengalihkan perhatian Anita.
“Maklumin aja, namanya juga udah tua. Kalau misalnya kamu mau berhenti dari sana, pastiin dulu ada kerjaan pengganti, tapi kalau misalnya mau tetap di rumah dan bantu-bantu mama juga gak papa,” sahutnya, lantas melengos meninggalkan Tika seorang diri.
Tika terdiam merenungi ucapan Anita. Kalimat itu terdengar ambigu, entah kemana arah pembicaraannya. Terkadang Tika bingung dengan cara pandang orang tuanya, ada kalanya mereka melarang Tika untuk berhenti kerja, dengan alasan membantu keuangan, tapi ada saat dimana mereka mendukung keputusan itu, walaupun dukungan itu terucap dari mulut dengan suara yang ketus.
“Sebenarnya Mama dukung aku buat berhenti atau gimana sih?” Tika kembali mengarahkan pandangannya ke persawahan, mengamati pemandangan indah di seberang sana.
“Kira-kira aku kerja lagi gak ya? Kalau gak lanjut, gimana ya cara bilangnya? Tapi kalau gak lanjut, apa aku bisa tahan di rumah? Maksudnya apa mama gak bakal ngeluh-ngeluh tentang uang lagi?” gumam Tika merenung.
“Sudahlah, kita lihat saja besok.” Tika terperanjat, dia meninggalkan bangku panjang itu lantas masuk menyusul ibunya.
***