Jadikan Aku Kuat

Yuricka
Chapter #39

Kegagalan atau Kebangkitan?

“Memangnya apa yang salah dengan menjadi pembantu? Itu juga pekerjaan yang baik, aku gak ngerjain hal yang haram, terus kenapa mereka harus menghakimi aku seperti itu,” gerutunya.

Kata-kata yang mereka lontarkan terus terngiang diingatan, menangis saja rasanya tidak akan cukup mengobati lukanya, Tika butuh tempat untuk bersandar, dia butuh seseorang yang bersifat pisik untuk dia jadikan rumah.

“Aku harus gimana sekarang? Aku gak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini, kan?” ucapnya bergumam. Tangan itu terangkat menghapus air mata yang tidak mau berhenti.

“Ini terlalu berat untuk aku tanggung sendirian, tapi aku gak punya siapa-siapa untuk cerita. Gak mungkin juga kalau aku cerita sama mama, aku takut mama sedih,” lanjutnya.

Hening, jalanan kali ini sangat sepi seiring rintik hujan yang mulai berjatuhan. Dedaunan bergoyang cepat dengan angin kencang yang berhembus melewati pepohonan tinggi di pegunungan dan persawahan.

Di jalanan yang mulai masuk area pegunungan itu Tika ambruk. Tubuhnya melemas, dia terdiam dengan tangan memeluk tubuhnya begitu erat, air mata itu semakin sulit untuk dia kendalikan, emosinya sudah menjulur keseluruh tubuh.

“Katanya hidup itu berputar, tapi kenapa selalu aku yang di bawah? Kenapa bukan mereka?” keluhnya. Tika menangis sejadi-jadinya, terisak kuat dibalik gemuruh sungai yang mulai meninggi karena curah hujan.

“Akhhhhhh!” jeritnya. Keheningan seakan memberinya ruang untuk bersuara.

“Kenapa mereka harus mempermalukan aku kayak gini? Kalau gak niat ngajak aku buat gabung reuni, terus kenapa aku dimasukan ke dalam grup? Apa mereka sengaja?” ucapnya bertanya-tanya. Tangannya meremas kepala, mengacak rambut dengan begitu frustasi.

“Ini sakit banget ya Allah, sakit. Padahal niatku....” Kalimat itu terpotong isakan.

“Aku hanya ingin ketemu mereka, melepas rindu sama mereka, tapi mereka ... kenapa mereka malah ngejek aku?”

“Kenapa harus ngajak aku?” Tika memeluk tubuh yang kini ambruk di jalanan, dia bersandar pada pohon kecil, duduk merutuki nasib butuknya, dengan tangan yang sesekali bermain memukul dada yang terasa sesak.

Perlahan wajahnya terangkat, dia mengapu air mata yang bercampur jadi satu dengan hujan di wajahnya. “Aku bersumpah, aku gak akan lupain kejadin ini, ini lebih sakit dari yang sebelumnya, ini lebih sakit daripada kehidupanku di dunia kerja.” Kedua matanya terangkat pada langit hitam yang kini sudah meluapkan buliran bening dengan teramat deras.

Tidak lagi mendinginkan tubuhnya, air yang mengguyurnya kini terasa hangat, memeluk lukanya yang semakin dalam. Dia yang berjuang keras melupakan dan meninggalkan luka lamanya, kembali dihantui dengan luka baru, luka yang diperoleh berkali-kali lipat dari masa kecilnya.

“Kenapa dunia seolah tidak adil padaku? Masa kecilku direnggut, masa remajaku hilang, teman-temanku jahat, majikanku kejam, dan keluargaku ... lalu aku harus pergi ke mana?” pekik Tika, dia mengusap wajahnya gusar.

“Aku ... aku tahu kemampuanku sangat minim dibanding mereka, tapi aku akan pastikan kalau aku bisa sukses. Ya, perempuan hina yang hanya lulusan smp ini akan sukses, akan berhasil, hingga nama yang mereka injak-injak ini akan dikenal ribuan orang dengan keberhasilannya!”

“Aku akan tunjukan pada mereka semua, kalau wanita hina ini akan berhasil berdiri dengan kakinya sendiri, wanita miskin ini akan mencapai kesuksesan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Wanita yang mereka tertawakan dengan begitu puasnya akan bangkit. Aku bersumpah!” Kalimat itu terucap cepat dari mulutnya beriringan dengan air mata yang semakin meluap, guntur dan hujan yang semakin deras, Tika berteriak melepaskan semua kemarahannya.

Tidak salah bukan untuk seorang manusia mengucapkan sumpah sedalam itu? Ya, kalimat itu terucap tajam ke atas tanpa Tika pikirkan bagaimana hasilnya, bagaimana prosesnya dan bagaimana caranya. Luka yang membatin di dadanya memaksa mulut kecil itu berteriak menyumpahi hidupnya di tengah guyuran hujan.

***

“Kan baru tiga hari, kenapa berangkat lagi?” tanya Anita. Tangannya menggengam erat tangan putrinya.

Anita sadar ada yang salah dengan Tika, sejak kepulangannya dari reuni, Tika tidak banyak bicara, gadis itu lebih banyak mengurung diri di kamar dan hanya keluar di waktu-waktu tertentu, tapi Anita tidak berani bertanya kepada putrinya, dia berpikir kalau Tika hanya kecapean saja.

Lihat selengkapnya