Adit menatap langit senja yang mulai berubah jingga. Ia duduk di bangku kayu tua di halaman rumahnya yang sederhana, memandangi sawah yang menghampar luas. Di desa kecil bernama astapada ini, hidupnya seperti roda yang terus berputar di jalur yang sama. Pagi hari, ia membantu ayahnya di sawah. Siang, ia mengurus kambing-kambing di kandang. Malamnya, ia hanya bisa membaca buku bekas yang ia temukan di pasar loak.
“Dit, makan dulu. Jangan terus di situ,” suara ibunya memecah lamunannya. Adit menoleh dan tersenyum kecil.
“Nanti, Bu. Sebentar lagi,” jawabnya sambil memutar-mutar pensil kayu di tangannya.
Adit mencintai dunia belajar. Baginya, buku adalah jendela untuk melihat dunia yang lebih besar daripada desa kecilnya. Namun, ia tahu bahwa impian untuk melanjutkan pendidikan hingga tinggi hanyalah angan-angan. Setelah lulus SMP, keluarganya tidak mampu membiayai sekolahnya lagi.
“Kalau aku bisa belajar, mungkin aku bisa membawa sesuatu yang baru untuk desa ini,” gumamnya lirih.
Malam itu, Adit duduk di meja kayu kecilnya. Ia menyalakan lampu minyak dan membuka buku catatan lamanya. Buku itu penuh coretan tentang cita-citanya. Ia pernah bermimpi menjadi seorang guru, seseorang yang mampu memberikan ilmu kepada anak-anak di desanya yang kebanyakan putus sekolah.
Namun, mimpi itu terasa semakin jauh. Di desanya, pendidikan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu penting. Bagi sebagian besar penduduk, anak-anak lebih baik membantu di sawah atau bekerja daripada duduk di bangku sekolah.
“Kapan ya, semuanya berubah?” pikir Adit sambil membalik halaman buku catatan itu.
Saat ia termenung, terdengar suara ketukan pintu. Ayahnya membuka pintu, dan di sana berdiri seorang wanita muda yang tampak asing. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Bu Kartika, seorang guru baru yang akan mengajar di desa tersebut.
“Selamat malam, Pak. Saya hanya ingin memperkenalkan diri. Saya akan mulai mengajar di sekolah dasar di desa ini besok,” katanya ramah.
Adit yang mendengar percakapan itu segera keluar dari kamarnya. Ia penasaran dengan sosok wanita yang berani meninggalkan kota untuk tinggal di desa kecil seperti ini.
Esok paginya, Adit memberanikan diri datang ke sekolah dasar di desanya. Meski ia tidak lagi menjadi siswa, ia ingin melihat bagaimana Bu Kartika mengajar. Ia duduk di luar kelas, memperhatikan dari balik jendela.