Jadilah Terang diTengah Kegelapan

SYAHLA.SYAHLAN
Chapter #2

BAB 2 JALAN YANG BERLIKU

Adit bangun lebih pagi dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbit ketika ia selesai menyapu halaman rumahnya. Hari ini terasa berbeda. Semalam, setelah mengajar di balai desa untuk pertama kalinya, ia merasakan kebahagiaan yang sulit ia gambarkan. Anak-anak di desanya yang biasanya hanya bermain atau membantu orang tua mereka di ladang mulai menunjukkan minat belajar.  


Namun, langkah awal itu bukannya tanpa rintangan. Saat Adit hendak berangkat ke balai desa sore sebelumnya, ia sempat dihentikan oleh beberapa orang tua murid yang merasa tidak nyaman dengan kegiatannya.  


“Adit, kamu ngajarin anak-anak itu apa sebenarnya? Jangan bikin mereka lupa kerja di sawah, ya. Kalau anak-anak kami terlalu banyak belajar, nanti siapa yang bantu kami?” kata Pak Darto, salah satu petani yang tinggal di dekat rumah Adit.  


Adit berusaha menjelaskan dengan sabar. “Pak, saya hanya mengajari mereka membaca dan menulis. Kalau mereka bisa membaca, mereka bisa lebih banyak membantu, misalnya mencatat hasil panen atau memahami harga di pasar.”  


Namun, Pak Darto tetap menggeleng tak setuju. “Anak desa ini cukup tahu cara kerja ladang, itu saja. Jangan ajarkan mereka mimpi-mimpi yang terlalu tinggi.”  


Perkataan itu masih terngiang di kepala Adit pagi ini. Ia tahu, tidak semua orang akan mendukungnya. Meski begitu, ia tetap percaya bahwa langkah kecilnya akan membawa perubahan besar.  


Setelah membantu ayahnya di sawah, Adit pergi ke rumah Bu Kartika. Guru muda itu sudah menunggu di halaman rumah dengan membawa beberapa buku pelajaran yang terlihat lusuh tapi tetap bermanfaat.  


“Ayo, Dit. Kita perlu rencana lebih baik untuk kelas sore nanti,” kata Bu Kartika sambil menyodorkan buku catatan.  


Di dalam buku itu, Bu Kartika mencatat nama anak-anak yang hadir di kelas sore sebelumnya. Ada sepuluh anak yang datang, dan ia mencatat perkembangan mereka masing-masing.  


“Kita harus melibatkan orang tua mereka, Dit. Kalau mereka paham pentingnya pendidikan, mereka pasti akan mendukung,” kata Bu Kartika dengan nada yakin.  


“Tapi banyak orang tua yang masih ragu, Bu,” jawab Adit. “Mereka takut anak-anaknya lupa pekerjaan di ladang.”  

Lihat selengkapnya