Sudah hampir setahun sejak Adit dan Bu Kartika memulai kelas belajar di balai desa. Desa Suka Jaya yang dulu sepi kini mulai berubah. Anak-anak yang dulunya hanya tahu cara bertani dan mencari kayu bakar kini mulai mengenal dunia yang lebih luas. Mereka belajar membaca dan menulis, menghitung uang, bahkan memahami cara-cara sederhana untuk mengelola hasil pertanian mereka. Namun, perjalanan Adit tak selamanya mulus. Setiap langkah yang ia ambil selalu dihantui tantangan yang baru.
Setelah keberhasilan pertemuan dengan para orang tua yang berhasil mengubah pandangan mereka terhadap pendidikan, Adit merasa lebih yakin akan tujuannya. Namun, tekanan dari luar semakin kuat. Para pesaingnya yang ingin agar desanya tetap stagnan mulai bekerja diam-diam untuk menggagalkan program pendidikan yang sedang berkembang.
Pada suatu sore, setelah mengajar di balai desa, Adit kembali ke rumah dan menemukan beberapa surat yang tergeletak di meja ruang tamu. Surat-surat itu berisi keluhan tentang dirinya yang mengajar di balai desa tanpa izin yang sah dari beberapa pihak. Surat itu berasal dari sekelompok warga yang tak senang dengan perubahan yang dibawa Adit. Mereka khawatir bahwa perubahan yang terlalu cepat bisa merusak tatanan kehidupan desa yang sudah ada. Surat-surat itu juga berisi tuntutan agar kegiatan belajar mengajar dihentikan.
Adit merasa cemas, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa mundur begitu saja. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan pada anak-anak desa bahwa ia akan membawa perubahan yang lebih baik. Namun, beban itu terasa semakin berat. Ia merasakan tekanan dari banyak pihak yang tidak setuju dengan keberadaannya di desa ini.
“Harusnya ada jalan lain,” gumam Adit dalam hati, merasa terpojok. Ia memandang surat-surat itu dengan mata yang mulai memerah. Namun, di balik keputusasaan itu, ada secercah keyakinan yang membara. Ia tidak boleh menyerah.
Setelah berhari-hari merenung dan berbicara dengan Bu Kartika, Adit memutuskan untuk meminta bantuan dari tokoh masyarakat yang lebih berpengaruh. Salah satunya adalah Pak Sugeng, kepala desa. Adit tahu bahwa tanpa dukungan dari orang yang dihormati oleh warga, segala usahanya bisa gagal begitu saja.
Pagi itu, Adit dan Bu Kartika menemui Pak Sugeng di kantornya. Mereka membawa masalah ini dengan harapan bisa mencari solusi yang baik untuk semua pihak.
“Pak Sugeng, kami perlu bicara. Ada beberapa masalah dengan surat-surat yang kami terima,” kata Adit dengan hati-hati.
Pak Sugeng menatap mereka dengan serius. “Saya sudah mendengar kabar tentang surat-surat itu, Adit. Beberapa orang memang mulai khawatir. Mereka merasa kegiatan ini terlalu mengganggu keseharian mereka. Mereka khawatir anak-anak akan lebih memilih belajar daripada bekerja di ladang.”
Bu Kartika mengambil alih pembicaraan. “Pak, kami tahu ini tidak mudah. Tapi pendidikan adalah hak bagi setiap anak. Kami hanya ingin mereka memiliki masa depan yang lebih baik. Jika mereka bisa belajar, mereka bisa lebih membantu orang tua mereka dalam pekerjaan rumah tangga atau pertanian, bahkan bisa menjadi pemimpin yang membawa perubahan di desa ini suatu saat nanti.”