Jagat Rasa

Ravistara
Chapter #2

Pelakor Superrealistik

*Cerpen ini pernah menang sebagai cerita pilihan admin di kontes bulanan grup penulis Facbook Cabaca*

Part 1- Wanita Itu

Setiap wanita terlahir untuk menjadi seorang ratu, itu adalah prinsip mutlak yang dipegang teguh oleh Fatma. Sebuah prinsip yang kini berbenturan dengan kenyataan dirinya sebagai wanita yang terlahir di puncak peradaban dunia; kemajuan dan kemunduran sekaligus berpadu dalam etape sejarah. Di manakah ia sekarang? Fatma seolah tidak mengenali dirinya lagi, juga lelaki yang kini berbaring kejur di sisinya. Suaminya, Ibra--jikalau ikatan di antara mereka masihlah ada. Ikatan yang diceraiberaikan oleh wanita itu ....

Sepaku, 2050, adalah surga bagi perantau dari seluruh nusantara. Lanskapnya indah, berhias bibir pantai yang membentang di sisi timur, bagaikan mutiara hijau dengan tonggak-tonggak gedung pencakar langit dan moda transportasi yang berseliweran baik di darat maupun laut. Ibu kota keempat Indonesia semakin megah gemerlap di malam hari. Lampu-lampu berkapasitas baterai tenaga surya menjadikan penghuninya terbangun dalam kehidupan kedua. Termasuk urusan yang satu itu. Tak sulit menemukan superswalayan berselubung "rekreasi pascamilenium". Semua kebutuhan lengkap tersedia di sana; mainan anak-anak, tempat bersantai, wahana pemacu adrenalin, klinik, gerai makanan dan toserba, termasuk yang paling gila ... robot pemuas kebutuhan jasmani.

Kebencian Fatma naik ke ubun-ubun. Kedua pipinya memanas, lalu ia sadari bahwa itu adalah lelehan air mata pada kedua belah pipinya yang telah menganak sungai. Ibra adalah satu dari sekian banyak pria yang awalnya tertarik coba-coba hingga berujung tragedi dalam kehidupan rumah tangga mereka. Suaminya ketagihan!

"Dia menerima semua perlakuanku. Patuh seperti boneka." Itulah alasan Ibra waktu Fatma tanya kenapa sang suami lebih memilih memuaskan kebutuhannya pada robot yang notabene adalah benda mati di balik kulit mereka yang tak bercela. "Sekali lagi, mereka bukan robot. Mereka adalah teman cerdas di ranjang." Ibra mengedip bak flamboyan. Masa bodoh! Fatma benci, benci sekali.

***

Suatu malam yang dingin, bahkan bintang bersembunyi di balik kabut. Bulan berselimut kelindan awan, sepucat perasaan Fatma. Wanita itu tak tahan untuk tidak mengikuti Ibra ke tempat langganan suaminya. Ada yang tidak wajar belakangan ini, Ibra seringkali menyebut satu nama--biasanya, suaminya itu tidak peduli dengan siapa telah menghabiskan beberapa jam, tetapi belakangan menjadi satu malam dan Ibra tidak pulang-pulang hingga esok hari. Raut wajah bodoh suaminya yang melongo di meja makan saat sarapan, juga kecerobohan kala menabrak benda-benda di rumah mereka yang sewajarnya tidak mungkin Ibra tabrak, membetik asumsi baru di benak Fatma. Ibra seakan sedang jatuh cinta. Dia adalah wanita, tentu saja dia tahu itu cinta. Kebodohan suaminya ini persis kebodohan yang ia lakukan dulu kala mendapati kenyataan perselingkuhan aneh Ibra pertama kali--jika jatuh cinta boleh disamakan dengan kebodohan dan patah hati karena cinta adalah kebodohan dua kali lipat. Hati Fatma yang lambat laun mendingin bagai terbakar kembali laksana bara api yang tak habis terbakar sumbunya. Siapa robot yang beruntung itu?

Fatma berusaha menjaga kewarasan dalam kepalanya. Setidaknya, ia tidak berpikir untuk mengubah dirinya menjadi sebuah robot hanya untuk membuat Ibra jatuh cinta kepadanya dan bersaing dengan benda-benda superrealistik itu. Tidak. Ia hanya ingin tahu siapa wanita itu. Ia pikir, Ibra hanya memuja tubuh mereka, tetapi ... jatuh cinta? Sungguh tidak masuk akal!

Tergopoh-gopoh, Fatma memasuki sebuah gerai dengan rancang bangun futuristik dan bermesin pemindai otomatis, "selamat datang Nyonya, silakan menuju aula di sisi kiri untuk menikmati layanan purnawaktu yang kami sediakan." Fatma mengabaikan arahan dari robot penjaga pintu yang menyuruhnya ke salah satu tempat dalam bangunan itu. Sebaliknya, ia berbelok ke kanan membuntuti Ibra yang tengah disambut oleh seorang wanita luar biasa cantik dan tubuh aduhai sempurna. Superrealistik sekali, hanya ada dalam imajinasi indah seorang lelaki. Fatma bercermin mengamati dirinya sendiri dan sadarlah ia di mana letak kegagalannya selama ini sebagai seorang istri manusia biasa yang ukuran pinggulnya saja bahkan tidak memenuhi kriteria seksi. Ia telah menikahi seorang lelaki pemuja keindahan. Tunggu ... masih adakah lelaki normal yang menjalani kehidupan tradisional di zaman surgawi ini? Dirinya bukanlah wanita satu-satunya. Hingga seseorang mencekal lengannya yang membeku oleh serangan cemburu. Mati rasanya seolah bangkit kembali bereinkarnasi berkali-kali dalam lingkaran takdir kesialan.

"Nyonya, apa yang Anda lakukan di sini? Ini bukan tempat Anda."

Suara itu berat dan dalam, tetapi anehnya cekalan di tangannya begitu lembut memabukkan. Fatma tercekat karena ia telah melampaui batasan hingga orang itu menariknya kembali ke permukaan. Ia mengerjap oleh gelombang kejut luar biasa, apa lagi melihat siapa yang telah berbicara tadi.

***

Part 2-Kontrak (Bagian Pertama)

"Nyonya, apa yang Anda lakukan di sini? Ini bukan tempat Anda." 

Fatma mencoba menerka pria berparas dan berperawakan sempurna di hadapannya. Pria itu mengingatkannya akan kesan superrealistik yang melekat di tempat ini- keramahan di wajahnya terasa palsu-pastilah ia salah satu dari mereka.

Jika Nyonya membutuhkan seseorang, silakan ikuti saya ke sebuah tempat yang lebih privasi dan nyaman.”

Saraf Fatma tergelitik sehingga wajahnya merona malu akibat perkataan pria itu.

“Maaf, saya ….” Untuk apa ia meminta maaf pada sebuah robot? “Saya tersesat!” Ia tarik bahu untuk membebaskan diri dari cekalan pria itu. Fatma insaf. Dia datang ke tempat yang salah. Tempat ini tidak hanya menyediakan pelesiran untuk pelanggan pria, tetapi juga wanita. Secepat mungkin, Fatma melarikan diri dari sang pria yang menunjukkan gelagat masih ingin memaksa untuk ikut bersamanya.

Di depan pintu keluar, ia pun bertabrakan dengan seseorang lantaran ceroboh.

“Hati-hati!” Hardikan itu yang Fatma terima. Ia terpana. Orang yang menghardiknya barusan adalah seorang pelajar dan tampak tidak senang dengan insiden tabrakan barusan. Wajah tampannya merasa terganggu seolah keberadaan Fatma baru saja menyela waktunya yang berharga.

Cukup. Perasaannya sendiri sedang kacau, Fatma berlalu dari hadapan pemuda itu tanpa mengucap apa-apa. Ia berjalan cepat, kali ini berusaha tetap fokus agar tidak menabrak seseorang lagi. Menangkap basah kelakuan bejat Ibra memang membutakan pikirannya sesaat. Wanita malang itu berjalan linglung sepanjang pedestrian hijau dan akhirnya menyerah juga tatkala melihat sebuah bangku berada di depan jalurnya. Fatma duduk lunglai menopang kepala.yang nyaris hilang kewarasan. Namun, Fatma harus tetap tegar agar bisa pulang ke rumah dengan selamat.

Setelah dirasa puas menumpahkan emosi yang menggelegak, Fatma beranjak menuju halte trem terdekat, lalu memasuki sebuah bilik kosong sesuai nomor tiket digital yang terpampang di alat komunikasinya. Hatinya juga sekosong itu. Fatma menatap dingin ke luar jendela. Balok-balok bangunan yang ia amati tak ubahnya matriks-matriks jiwa sunyi dan hampa, tiada makna meski beraneka warna.

Sudah berapa lama ia mendiami istana pernikahan bersama Ibra? Statusnya ibarat istri boneka untuk dipajang di depan khalayak, bukan untuk dicinta. Andai Fatma tidak terlahir yatim piatu tanpa sanak keluarga yang ada untuk menyokong dirinya, apakah ia tetap bersedia hidup dalam kehinaan seperti ini?

Tiba-tiba, pintu bilik terbuka. Seseorang menerobos masuk tanpa izin. Fatma tidak sempat protes dan orang itu langsung duduk di seberang. Fatma terkejut. Pemuda yang ia tabrak sebelumnya!

“Kamu tidak keberatan berbagi bilik denganku, bukan?” Pemuda itu bahkan bicara tanpa rasa hormat kepadanya. Fatma tergugu, lebih karena rasa takut. Pemuda itu menatapnya begitu intens seperti mesin pemindai, dan tatapannya itu tidak teralih juga ke tempat lain meskipun berlalu beberapa waktu. Jujur, Fatma merasa jengah jadinya.

“Nah, katakan padaku. Apa yang kamu lakukan di plaza bordil tadi? Baru saja pulang dari kamar pria langgananmu atau membuntuti seorang suami berengsek yang singgah di sana?”

“Dik, jaga ucapanmu. Sungguh tidak terpelajar. Aku bukan orang seperti itu …! Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan? Apa kamu mengikutiku?” desis Fatma gusar. Pemuda itu lantas tertawa lebar menanggapi.

“Di mana rumahmu?”

Fatma terjengkit kala pemuda itu berpindah ke sisinya dan mencondongkan tubuh ke arahnya sehingga ia bisa mencium aroma samar yang mengintimidasi. Pemuda ini … berbahaya.

“Tolong jangan ganggu aku. Jaga sikapmu, Dik. Kamu seorang pelajar!” pinta Fatma kecut.

“Sekali lagi, aku tanya di mana rumahmu. Atau kamu lebih senang jika aku memaksamu di sini?” Pemuda itu membekap mulut Fatma sebelum sempat berteriak. Wanita itu terpojok sekarang.

***

Lihat selengkapnya