Jagat Rasa

Ravistara
Chapter #3

Sekap Sukma

Tidak salah memang jika Kotabaru disebut sebagai kota terindah di Kalimantan Selatan. Pulau kecil di ujung tenggara ini memiliki wisata bahari berupa gugusan pulau terpencil dengan laut biru dan pasir putih. Seorang pelancong lokal bernama Arian, sepakat. Pemuda Dayak berperawakan atletis dengan kulit kuning langsat itu sedang menyipitkan sebelah matanya yang tajam di depan lensa. Sepasang alis bertakik miliknya bertaut kala mengabadikan pemandangan alun-alun Masjid Jami dengan latar lembayung senja. Sekilas, tidak ada yang aneh. Menjelang magrib, halaman masjid yang luas dipadati oleh beragam aktivitas warga segala usia. Tempat ini adalah destinasi populer untuk jalan-jalan sore. Namun, apa yang dilihatnya di balik lensa meremangkan bulu roma. Kameranya menangkap samar siluet gedung-gedung pencakar langit mengintip di antara awan. Puncaknya bagai melayang di awang-awang. Mirip penampakan kota kosmopolitan di musim kemarau penuh kabut.

“Yesus …,” desisnya. Apa itu?

Buru-buru ia gantungkan kembali kamera pada lanyard di bahu dan melupakan apa yang baru saja ia saksikan. Sebagai keturunan Dayak, ia memang pernah mendengar sekelumit sejarah Saranjana. Pemukiman Dayak yang tersingkir oleh serbuan Majapahit, lalu dihancurkan di zaman penjajahan. Lokasinya sendiri lantas menghilang dari peta karena mereka yang tersisa lebih memilih bersembunyi ketakutan di gunung dan hutan. Namun, kedatangannya ke pulau ini hanya untuk berwisata, bukannya berurusan dengan historis dari masa lalu.

Arian memutuskan untuk berpindah lokasi hunting foto saja; mengejar sunset dari tepi Siring Laut di depan Kantor Walikota sambil menyeruput minuman segar dan mendinginkan pikiran. Sayup-sayup, azan magrib mulai berkumandang dari masjid.

***

Panas. Arian telah menghidupkan AC. Bahkan, ia dua kali mandi sejak pulang ke hotel, tetapi malam ini hawanya bagai dipanggang dalam bara. Ia mencoba tidur setelah bolak-balik gelisah dalam kegelapan, hingga telinganya mendengar sesuatu.

Tap. Tap.

Hasrat memeluk gulingnya mendadak lenyap berganti kewaspadaan. Kuping Arian seakan menegak karena bunyi langkah itu terdengar jelas dari balik dinding yang ia yakini tidak mungkin! Kamarnya berada paling pinggir dan ada di lantai dua tanpa selasar. Pelipisnya pun basah oleh bulir keringat lantaran memikirkan.

Srek!

Ia terjengkit merapat ke pojok ranjang. Tak ada angin berembus lewat jendela yang tertutup rapat, tirai kamarnya tersibak sendiri! Andai tidak ingat bahwa darah Dayak mengalir dalam tubuhnya, Arian tentu akan berteriak tatkala melihat sebuah cahaya senter menerobos masuk, berkelip-kelip, lantas mati. Pemuda itu mengucek-ucek mata memastikan bahwa ia tidak keliru. Namun, hanya keremangan tertinggal dari jejak bulan purnama di luar yang mengintip dari tirai terbuka.

Lihat selengkapnya