Udara dengan suhu membeku berembus menabrak kaca, lantas terperangkap di luar jendela. Di dalam kereta, tampak seorang pria muda sedang berusaha menikmati rebahan, meskipun sudah nyaris 24 jam ia berada di gerbong hard sleeper dalam kereta yang membawanya ke Lhasa. Matanya terpejam mencoba tidur, cara terbaik untuk mengantisipasi Acute Mountain Sickness saat mereka melaju di Tangula Pass. Kelopaknya bergetar sejenak, memutar sebuah kilasan dalam benak.
“Haruskah setiap minuman kamu hirup dulu begitu? Kalau upilmu jatuh ke dalam cangkir, ya salam!”
Sudut bibirnya tertarik lebar. Sosok wanita dalam kepalanya kadang-kadang berisik, menyeretnya dalam kenangan receh. Sayang, bukan wanita itu yang ia jumpai ketika membuka mata, tetapi seorang gadis belia lokal yang berbaring di tempat tidur seberang. Ada enam orang penumpang di gerbong ini, gadis itu yang paling mencolok di antara sepasang suami istri di ranjang bawah, mungkin orang tuanya. Dari selentingan yang beredar, ia jadi tahu bahwa masih ada minoritas Uighur di kota tujuannya, dan kecantikan legendaris kaum hawa mereka bukanlah isapan jempol. Ia pun memutar arah menghadap dinding. Gadis berhijab itu pasti tidak senang kalau tatapan mereka terus beradu tidak sengaja sepanjang perjalanan. Lagi pula … ia ke sini bukan untuk cuci mata.
***
“Mesti banget, ya, kamu ke Lhasa? Mending biayanya disimpan buat nikah!”
Windu mengorek liang telinganya yang segera disengat matahari, begitu ia membuka topi lebar untuk menelepon. Suhu Lhasa memang dingin. Namun, ketinggian permukaannya membawa matahari lebih dekat dan membakar. Beruntung, sebuah minivan dengan cat deco mentereng “Lhasa Tour” di atas permukaan putih, menyelinap di sudut matanya, seorang pemandu lokal berkulit kemerahan turun dari sana.
“Bu, nanti lagi, ya. Jemputanku sudah datang!” Suara omelan wanita di seberang segera terputus. Ia melambaikan tangan pada orang itu, pria berperawakan kecil, mungkin sejengkal lebih pendek darinya. Pria itu bergegas menghampiri. “Mr. Windu from Indonesia?” tanyanya memastikan. Windu menyahut mengiakan. Sang pemandu yang memperkenalkan diri sebagai Konchok, lantas mempersilakannya naik ke mobil. Ia langsung disuguhi teh Yak, susu perah Yak tanpa gula untuk menghangatkan badan.
“Any problems with tresspassing and SIM card, Mister?”
“No. I’ve taken care of it, according to your tips, before leaving Chengdu.”
Konchok mengangguk senang mendengar keterangan Windu. Ia memang sudah menyiapkan segala keperluan jauh-jauh hari, melakukan semua yang dibilang agen perjalanannya. Termasuk urusan yang satu itu, tujuan utamanya singgah ke Lhasa.
“Tibet Travel Permit?” Konchok merendahkan pandangan seraya mengangkat alis, seakan menakuti. Sejenak, pria itu terbahak. “Haha. Kidding! Pardon, my joke, Mr. Windu.” Windu sibuk berpikir apakah ia juga perlu membalas Konchok dengan berpura-pura lupa memberi uang tip di akhir perjalanan, ketika mobil mereka melewati Istana Potala. Perhatiannya sukses teralihkan oleh bangunan putih besar dari batu belasan lantai dengan banyak stupa, jejak kekuasaan Dalai Lama yang runtuh dan telah ditinggalkan pemilik sahnya untuk mencari suaka di India.
Konchok menepuk pundaknya, mengagetkan. “Potala at evening is the best. But, neither sit on the yard or put any bag over there. You’ll be kicked!”
Windu mengangguk tanda paham karena mobil mereka kemudian berhenti di tak jauh dari sana, di depan Yak Hotel yang berada di pusat kota. Rentetan klakson bersaing di antara kemacetan lalu lintas penuh kendaraan bermotor roda dua dan empat, menyambutnya.
“Do you sell earplug too?” Windu berteriak pada Konchok yang meringis penuh simpati.
“Get your mental ready, this is Lhasa!” Konchok mengabaikan, masuk ke dalam hotel dengan bentuk balok membosankan, berdinding bata merah, dan banyak jendela untuk mengurus check in. Windu hanya menggeleng dan meniup ujung hidungnya.