(Pernah terbit dalam antologi "Sepintas Musim dalam Waktu" di Ellunar Publishing)
***
Seorang gadis berkulit eksotis dan rambut ikal spageti yang telah lama menjadi tetangganya di Tungelsta, pinggiran kota Stockholm, memaksanya untuk bertemu selepas ia pulang kerja. Itulah kenapa sekarang mereka duduk di tempat yang sama seraya menyaksikan kapal-kapal tur para wisatawan hopping islands sedang bersandar di dermaga Skeppsbron. Sebagian penumpangnya turut membanjiri tempat bersantai siang hari di sebuah kafe pinggir dermaga yang nyaman, sementara ia menyesap mocha coffee-nya di salah satu sudut. Keramaian ini malah membuatnya semakin gugup.
“Kenapa kau tidak menungguku pulang?”
“Jangan berpura-pura bodoh!” Gertakan sang gadis membuat ia semakin serbasalah. “Kau tahu persis apa yang kaulakukan malam tadi!” Iris hitam gadis itu berkilat. Iris yang selalu ia puja walau tahu ia salah.
“Maaf, aku hanya seorang pengagum karyamu, Nona Jenius.” Ya, dan juga dirimu.
Gadis itu sama sekali tak menyentuh minuman dingin yang ia pesankan. Ia ditolak mentah-mentah. Sebaliknya, jari gadis itu membentuk sepucuk pistol yang kini teracung keras ke arahnya.
“Saya peringatkan Anda, Tuan Pedofil. Jangan pernah mengganggu hidup saya lagi!”
“Jen, aku bersedia menunggumu beberapa tahun lagi.”
“Stop, Demian!”
Demian bangkit mencoba menahan Jeneva yang beranjak pergi, tapi gadis itu memberikan tatapan peringatan terakhirnya agar pria itu berhenti. Mata biru laut Demian pun mengeruh. Kenapa ia harus jatuh cinta pada gadis kecil ini? Awalnya, mereka adalah tetangga yang bahagia dan sering melewatkan waktu bersama. Namun, segalanya berubah ketika perasaan Demian mulai berubah. Ada benih-benih lain yang kemudian tumbuh dalam hatinya. Dan sekarang, meskipun ingin, ia tak berdaya menatap punggung Jeneva yang gusar menjauh. Gadis itu … masih sungguh muda. Dan ia … masa-masa cinta monyet sudah lama berlalu untuknya.
“Bocah besar, kita perlu bicara.” Sang ayah menanti kepulangannya di pintu depan dengan sebuah senapan berburu bersandar di kusen kayu. Pria tua itu seakan bisa menembaknya kapan saja. Dan itulah yang pantas ia terima kemudian.
“Hei, begitu susahkah mencari pasangan di negara ini hingga kau mengincar remaja enam belas tahun?”
Andai cinta punya logika, Demian mengusap anak rambut yang berjuntai di wajah tampannya. Wajah berdarah Armenia yang sayangnya tak berhasil meluluhkan hati seorang Jeneva. Seorang imigran memang tak punya banyak kesempatan untuk jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan warga lokal yang soliter, tapi kebetulan saja ia jatuh cinta pada seorang gadis muda dan itu sama sekali tak ada hubungannya dengan soal status kewarganegaraan pendatangnya.
“Setelah dia delapan belas, aku akan melamarnya.” Dia tidak sedang bermain-main di sini. Ia punya tujuan.
“Hei, Nak.” Tepukan sang ayah di pundaknya terasa kasar. “Orang tua Jeneva mengeluhkan perilakumu. Dan yang kaulakukan malam tadi sungguh memalukan!”