Tanggal sembilan 25 tahun lalu, masih apik dalam ingatan. Derai tawa semringah menyambut isak pertamamu; pada wajah mungilmu yang merah merekah, sepasang mata bening menatap dunia. Seketika, ada hati yang luluh. Sungguh, pada hari itu, segenap bahagia rasanya berkumpul di segenap pelosok sudut rumah. Begitu sempurna.
Ya, sesederhana itulah caramu mencuri sekeping kalbu. Bersemayam dalam rongga tubuh yang tak ayal renta bersama laju usiamu, gadis kecilku.
Dulu, kuingat persis, alangkah lucu polah tingkahmu; dengan rambut dikucir dua berayun-ayun dan gigi tanggal dua dalam sebaris senyum manis, kaki kecilmu berlari menyambut kepulanganku di pintu gerbang. Kau kugendong di bahu dan gelakmu pecah kala kubawa berputar keliling halaman di balik tembok megah, tempat di mana kau tumbuh semenjak kuncup hingga dewasa.
Kuturunkan ringkih tubuhmu dan kukeluarkan sebuah majalah dari dalam tas kerja. Seketika, matamu berbinar penuh cahaya. Punca-punca cinta seketika bersemai di hatimu. Tangan kecilmu bersemangat membolak-balik halaman berwarna yang dulu hanya seharga seribu lima ratus perak. Berlangganan sebuah majalah favorit setiap bulan untuk putri tercinta, mungkin tak akan menjadi derita. Karena kau telah jatuh cinta, dan senyummu lebih dari segalanya.
Kring. Kring.
“Paket!” Pak Pos berteriak.
Itu adalah denting sepeda yang selalu kau tunggu. Kau bergegas keluar rumah dan membuka pagar. Sekejap saja, tubuhmu telah terlempar di atas lantai, berbaring bak putri duyung, lalu tenggelam dalam laman-laman kreasi yang tertuang di atas kertas. Sayap-sayap imajinasi pun berkelana dalam benakmu yang belia.
Adakala cinta barumu lebih dari sekadar menyita waktu. Kaki kecilmu tak lagi terdengar menapaki halaman dengan nada riang tatkala senja mengantarku pulang. Senandung demi senandung mengalun spontan sebagai gantinya, kau asyik menari bersama kupu-kupu di antara bebungaan, bersama hujan menebar petrikor di rerumputan, bersama angin mengarungi bumantara ke satu tujuan … negeri di atas awan. Bumimu daratan tak bertuan, langitmu utopia bak perawan. Tak terhitung griya tawang tanpa rembang yang telah kau rancang, tempatmu melabuhkan mimpi-mimpi ke puncak tertinggi dunia.
Tatkala kau mulai duduk di bangku sekolah, kulihat kebiasaan barumu lahir; mencuri-curi kertas dari atas meja kerja, lalu belajar memasangnya di mesin ketik. Namun, kau tak berhenti sampai di sana. Jari-jemari mungilmu tertatih menari, bunyi ketuk terdengar bersahutan. Awalnya putus-putus, lama-lama berlari dengan tempo riang. Saking bersemangatnya, kau sampai lupa menyentuh makan siangmu hari itu. Kau tidak berhenti dan terus mengetik. Pada akhirnya, mata redupmu tak kuasa mengimbangi. Kelopak matamu tertutup sebentar-sebentar, hingga pada satu titik jenuh, lantas berpagut bertautan. Kepalamu telah terkulai di atas meja, di samping mesin ketik yang kini membisu.
Kau gagal menyembunyikan tumpukan kertas itu dari jarak pandang orang-orang. Diam-diam, selembar tak sengaja terbuka dan menceritakan rahasiamu. Petualangan Pesawat Antariksa, judul pada baris pertama dengan huruf-huruf kapital termaktub bagai pusat semesta. Kau petualang penuh rasa ingin tahu rupanya! Anak-anak lain sibuk berceloteh tentang boneka Barbie dan Beruang Teddy mereka, tapi kau menuliskan sebuah cerita pengembaraan luar biasa dalam imajinasi seorang anak. Terlihat jelas kau begitu menikmati literasi tanpa batas dengan caramu sendiri. Majalah-majalah itukah yang mengajarimu?
Terbanglah, ada saat di mana engkau harus pergi. Biarkan sayap-sayapmu terkembang untuk belajar cara mengenal dunia.
***
Plak!
Matamu memerah, manik gelapmu berpijar sesaat, lalu berkabut nanar. Sebuah tamparan di pipi telah mengejutkanmu pasti. Juga tak bisa kau terima. Dulu, seekor nyamuk pun tak kubiarkan hinggap menyakiti kala kau terlelap melarung mimpi. Kini, ketaksaan kasih sayang mulai mendera dan berat untuk kaukenal dalam sebuah cara keras tak terbayangkan sebelumnya. Di atas semua itu, kau terlihat takut bukan kepalang. Ah, apakah aku menghukummu terlalu berlebihan?