Perempuan adalah makhluk perkasa. Buktinya, bisnis portir (kuli angkut) tidak hanya didominasi oleh kaum pria. Tengok saja Papua. Mama-mama menggendong anak dengan kain lilit di bahu sembari memanggul beban belasan kilogram tergantung di pucuk kepala, sudah biasa. Jarak yang ditempuh pun luar biasa; tak kurang perjalanan dua belas hari dua belas malam.
Lantas, apa kaitan antara bisnis portir dan cerita ini?
Antrakusuma, namanya. An. Gayatri belajar tentang kerasnya dunia portir lewat pria bercambang tipis dengan gurat ningrat itu. Mestinya, ia tak perlu mengenal arti drama bak telenovela andai dunianya lurus-lurus saja seperti perempuan kebanyakan. Nyatanya, ia bukanlah bagian dari mereka yang sibuk bermanja diri, apalagi dikagumi kaum serangga-begitulah cara Gayatri menyebut pria. Berkerumun di sekitar gula dan madu, tak ubahnya semut dan lebah. Apalagi namanya kalau bukan serangga? Celakanya, serangga pengisap putik sari pertama yang lancang menyadari keberadaan dirinya adalah seorang pria bernama Antrakusuma tadi. Celakanya lagi, semua yang ada pada diri pria itu adalah senjata pemikat maut bagi kaum perempuan seperti dirinya yang hanya mengenal dunia kasar.
“Hanya satu cara agar aku bisa membuktikan kamu benar perempuan adalah bukan,” cetus An kala itu, “jadilah istriku.”
Dasar gila …. Gayatri tidak butuh pengakuan apa-apa dari An hanya untuk membuktikan bahwa di balik tubuh liat berotot dengan daya angkut bak portir perkasa ini, ia betul perempuan tulen.
“Jangan keburu menolak. Aku akan berikan impian terbesarmu dalam hidup.” An sungguh kukuh dalam merayu. “Tonggak pendakian ‘Seven Summit’ pertama, Carstensz Pyramid. Nah, apa kamu masih ingat mimpimu yang ini?”
Kenapa An sungguh tahu apa yang dia impikan? Terlebih lanjutan kalimat berikut pria itu, “kamu tinggal pilih, start awal dari Sugapa, Ilaga, atau Freeport.” Gayatri tahu, kekayaan keluarga An memberi pria itu kemerdekaan secara finansial untuk memanjat puncak-puncak Indonesia. Bahkan, mencarter helikopter untuk pendaratan langsung di kaki Carstensz pun, Gayatri yakin pria itu sanggup. Namun, darah petualang sejati dalam dirinya memilih untuk memulai dari Sugapa.
Tunggu. Apakah dia baru saja berpikiran untuk menerima lamaran nekat dari Antrakusuma hanya demi sebuah perjalanan impian? Dia baru saja menjual mimpinya kepada pria yang telah beristri dan masih dalam manisnya setahun bulan madu. Ternyata, ia perempuan sejenis itu.
Gayatri telah hilang akal jika sungguh bersedia dimadu.
***
“Apa kabar istri tercintaku? Kangen sama aku?”
“Enggak!”
Di seberang sana, An tertawa. “Kamu pasti kangenlah. Mana bisa kamu jauh-jauh dari aku, gunung sejati di hatimu. Sebanyak-banyak gunung kamu daki, tidak ada yang lebih berkesan dari aku, bukan?”
“Dasar serangga! Jika ada gunung seperti kamu, pasti sudah habis ditambang dan digunduli orang serakah. Aku doakan kamu mampus saja sana.”
“Hm. Cantik, biasa saja. Kasar, iya. Bersyukurlah kamu bisa punya suami sepertiku, Tri.” An terkekeh. Mulai, deh, rayuannya. Pasti ada maunya, umpat Gayatri kesal dalam hati.