Jagat Wisakha

Kartika Aira
Chapter #3

BAB 2. Melintasi Gerbang Dimensi


Jagat memegangi kepalanya yang terasa sakit. Matanya perlahan-lahan terbuka, menyesuaikan cahaya yang masuk. Sambil meringis menahan nyeri, Jagat bangkit dari posisi berbaringnya. Diedarkan pandangan ke segala sisi. Ternyata ia masih berada di sungai yang tak jauh dari kompleks candi. Hanya saja, entah kenapa, Jagat merasa jika pepohonan di sekelilingnya semakin rimbun. 


Sudah berapa lama Jagat tak sadarkan diri? 


Suara derap langkah kaki yang cepat membuat Jagat menatap awas ke sekitar. Ia tersentak saat sebuah anak panah melesat ke arahnya. Nyaris melubangi kepala. Jagat merangkak mundur, memegangi dada kirinya yang berdetak cepat. Saat itulah Jagat menyadari bahwa ia tidak memakai baju. Mata Jagat turun, lagi-lagi tersentak karena ia hanya mengenakan jarik yang diikat dengan ikat pinggang yang terbuat dari kulit. 


Apa ini? Apa yang terjadi padanya selama pingsan? Jagat mencari-cari ke sekeliling dan tidak menemukan tas ranselnya. Gapura kuno yang terakhir kali dia lihat juga tidak ada. Jagat... tidak mungkin dirampok kan? Di hutan belantara seperti ini? Sangat tidak masuk akal. Tetapi kemudian Jagat menemukan sebuah pedang tergeletak di sampingnya. Ada sisa-sisa darah di ujungnya. Masih basah dan mengeluarkan bau anyir dan besi berkarat. Wajah Jagat seketika pucat pasi. 


"Patih, kenapa Anda bisa ada di sini?" sebuah suara mengejutkan Jagat. Dari balik pepohonan, muncul seorang laki-laki yang juga bertelanjang dada, setengah berlari sambil memegangi busur panah. Kalimat itu diucapkan dengan bahasa jawa halus, tetapi entah kenapa Jagat bisa memahaminya. 


Pria itu langsung memapah Jagat berdiri. Refleks tangan Jagat mengambil pedang itu dan memasukkannya ke wadah khusus yang tergantung di pinggangnya. Sebuah gerakan yang bahkan tidak dipikirkan Jagat akan dilakukannya. Jagat bahkan melupakan pertanyaan tentang darah siapa yang menempel di pedangnya. 


"Kita harus segera pergi dari sini. Pasukan pemberontak itu akan segera tiba," kata pria itu lagi, kali ini sambil menarik tangan Jagat agar mengikutinya. Jagat tak punya pilihan selain menurut. Lagi pula, Jagat bahkan tidak sempat berpikir apa yang sedang terjadi kepadanya. 


Mereka akhirnya tiba di sebuah pemukiman penduduk. Ketika melihat desa itu, Jagat langsung teringat dengan sebuah film dokumenter yang pernah ia lihat. Rumah yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu, beralaskan tanah. Orang-orang yang memakai sendal yang terbuat dari jerami, dan para wanitanya yang memakai kemban. Tempat ini praktis menunjukkan sebuah zaman di mana kerajaan di Indonesia masih berdiri, perang masih berkecamuk dan perbedaan kasta masih eksis. Ah, Jagat bahkan bisa merasakan filter vintage di sekelilingnya. Lengkap sudah. 


Apa dirinya sekarang sedang berada di lokasi syuting dan disalahpahami sebagai aktor? Sepertinya Jagat tidur terlalu lama hingga tidak tahu jika sebuah set drama sudah dibangun dengan begitu realistis. 


"Di sini kita aman," kata pria itu, menghela napas dan menguraikan genggaman tangannya. "Tadi itu mengerikan sekali. Kita hampir jadi korban buruan para preman itu." ia menoleh, "Kenapa Patih diam saja?" 


"Kita sudah tahu tempat persembunyian mereka. Setelah ini, aku akan menyusun strategi untuk menangkap para pemberontak itu. Tidak akan ada yang bisa lolos satu pun." 


Apa itu tadi? Kenapa Jagat bisa berkata seperti itu tanpa ia sadari? 


Jagat melihat kedua tangannya, mencoba menggerakkannya tapi tidak bisa. Ia seperti terperangkap di sebuah tubuh dan tidak bisa mengendalikannya. Tetapi kemudian Jagat teringat bahwa ia bisa memegang tubuhnya sendiri ketika di hutan. Jadi, ada apa? Kenapa? Sepertinya Jagat memerlukan cermin untuk melihat wajahnya sendiri. Apa ia betulan Jagat? Atau hanya sebuah jiwa yang terperangkap di tubuh orang lain? 


Jagat pasti sedang berada di alam mimpi, benar kan? 


"Baik, Patih." Pria itu menangkupkan sebelah tangannya di depan dada, setengah menunduk. 


"Ayo, kita kembali ke istana. Aku harus segera melapor pada Romo," kata Jagat lagi. Dengan nada tegas dan berwibawa. Maksudnya, Jagat yang lain. 


Mereka melewati sebuah pasar yang ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang. Di sini kanan dan kiri, terlihat penjual yang menjajakan dagangannya. Mulai dari sayur mayur, buah-buahan hingga peralatan makan yang masih terbuat dari gerabah. Orang-orang itu langsung setengah membungkuk saat Jagat lewat. Diam-diam Jagat tersenyum dalam hati. Rasanya menarik juga. Jagat seolah sedang berperan sebagai tokoh utama dalam sebuah pementasan drama klasik. 


Setelah melewati pasar, mereka tiba di sebuah pintu gerbang besar, berbentuk gapura yang terbuat dari tumpukan bata merah yang tampak kuat. Semakin ke atas, bentuk gapura itu kian meruncing. Beberapa penjaga yang membawa tombak di tangan kanannya langsung membungkuk hormat ketika melihat Jagat. Sepertinya, Jagat memang disegani di tempat ini. 


Jika Jagat memang sedang bermimpi, maka dia harus menikmatinya kan? Tidak ada gunanya untuk menolak. 

Lihat selengkapnya