Jagat Wisakha

Kartika Aira
Chapter #4

BAB 3. Emblem Emas


"Jagat, bangun."


"Jagat, lo nggak mati kan? Kenapa lama banget pingsannya?"


"Jagat."


Jagat mendengar seseorang memanggil-manggil namanya, tetapi tubuh Jagat terasa kaku, tidak bisa digerakkan. Semua yang berada di sekeliling Jagat berwarna hitam, tanpa cahaya. 


"Jagat, jangan mati sekarang. Lo harus bangun." 


Itu adalah suara Aira. Jagat mengingatnya dengan jelas. Kenapa Aira bisa berada di sini? Bukankah tadi Jagat sedang berada di era Majapahit? Pelan tapi pasti, Jagat mulai bisa mengerjabkan mata. Hal yang pertama kali Jagat lihat adalah atap genteng yang berwarna cokelat. Dia mengerjabkan mata lagi dan menoleh. Terlihat Aira yang sedang tersenyum dengan mata berkaca-kaca. 


"Akhirnya lo sadar juga!" Aira tidak bisa menahan diri untuk memeluk Jagat erat-erat. "Gue pikir lo udah mati." 


"Gue... di mana?" tanya Jagat dengan suara serak. Ia mencoba melepaskan pelukan Aira karena merasa napasnya sesak. "Aira, jangan gini. Gue nggak bisa napas." 


Aira buru-buru melepaskan pelukannya. Dia tidak jadi menangis. Justru, wajah Aira menyiratkan kekesalan yang kentara. "Hampir aja Pak Gibran mau bawa lo ke rumah sakit kalau lo nggak bangun satu jam lagi."


Jagat memijit kepalanya yang terasa berdenyut. "Gue udah pingsan berapa lama?"


"Tiga jam." Aira mengangkat tiga jarinya ke udara. "Gue yang nemuin lo pingsan di pinggir sungai. Terus manggil anak-anak buat gotong lo ke penginapan. Beruntung banget di sana ada sinyal, jadi gue nggak perlu bolak-balik." Aira menatap Jagat tajam, seperti seorang ibu yang kesal karena anak nakalnya tidak pulang ke rumah di sore hari. "Untung aja tubuh lo nggak hanyut di sungai. Kalau enggak, bahkan gue atau yang lainnya nggak akan tahu jasad lo di mana." 


Pingsan di pinggir sungai? Jagat langsung teringat dengan suara seruling magis dan desikan daun yang ia dengar sebelum kesadarannya menghilang, juga sebuah emblem emas dan gapura tua yang muncul seperti magis. Jagat mengingat perjalanan waktunya di era kerajaan Majapahit dengan begitu jelas. Tentang seorang wanita cantik yang dipanggil Bhre Sureswari, tentang Romo, dan juga... Sakha. 


Jagat menyentuh dada kirinya yang terasa berdenyut. Tiba-tiba merindukan suara halus wanita itu yang membisikkan kata cinta di telinganya. Juga pelukan hangat yang membuat hatinya berdesir. Kenapa sebuah mimpi bisa terasa begitu nyata? 


"Yaelah, malah ngelamun ini anak." Aira meninju lengan Jagat pelan, seketika merebut perhatian Jagat. "Lo kenapa bisa pingsan sih Ga? Lemes karena belum makan seharian? Lo juga sih, ditawarin makan sok-sokan nolak. Kepala batu dasar."


"Dengerin lo nyerocos terus bikin kepala gue tambah pusing." Jagat mendelik pada Aira. Tatapannya jelas menyiratkan ketidaksukaan. 

Tetapi Aira tak terpengaruh, kemudian mengambil segelas teh di atas nakas dan mengulurkannya Jagat. "Minum teh anget dulu nih, biar segeran."


Jagat menerima gelas dari tangan Aira, kemudian meneguk isinya perlahan. Cairan hangat dan manis itu turun dan memabasahi kerongkongannya yang kering, membuat Jagat merasa lebih baik. Jagat kemudian menatap Aira. "Pas lo nemuin gue pingsan, lo liat ada gapura tua di pinggir sungai?" 


Aira memiringkan kepala. Keningnya berkerut dalam. "Nggak ada kok. Itu kayak sungai-sungai pada umumnya." 


Jadi, apa yang Jagat lihat waktu itu, cuma mimpi? Sebenarnya hal macam apa yang sudah Jagat alami? Kenapa mimpi itu hadir seolah-olah Jagat sedang berada di dimensi waktu yang berbeda? 


Bunyi berderit dan langkah kaki serampangan membuat lamunan Jagat buyar. Dia menoleh ke arah pintu dan menemukan Iqbal dan Restu berebut masuk seperti anak kecil. 


"Gila lo Bro. Lo bikin anak satu angkatan panik tau nggak." Iqbal duduk di samping ranjang Jagat, mengambil gelas yang sudah kosong dari tangan Jagat dan menaruhnya di atas nakas.

Restu langsung mengambil alih kursi Aira tanpa izin, membuat Aira hanya bisa memutar bola mata dan dengan terpaksa keluar dari kamar itu. 


Restu fokus memandangi wajah Jagat yang masih tampak pucat. Meski begitu, ia masih sempat bercanda, "Padahal gue udah siap mewarisi kamera lo kalau-kalau lo nggak jadi bangun."


Lihat selengkapnya