Matahari sudah naik dan hari ini Gungun hendak pergi membeli karcis abodemen bis damri di jalan Merdeka, untuk satu bulan penuh yang ia gunakan untuk ongkos pulang-pergi ke sekolah. Dengan cara itu ia bisa lebih berhemat daripada tarif regular.
Tadi pagi ia sudah dibekali uang oleh Mama untuk ongkos bulanan beli karcisnya.
Ketika dalam perjalanan menuju terminal, di jalan ia bertemu dengan Rudi yang datang dari arah berlawanan dengannya. Tetapi Ia ingat nasihat Mama agar mengasihani orang seperti Rudi. Jadi iapun tidak ada niat memperpanjang urusan tempo hari. Lebih-lebih Si Rudi tidak pergi menghindar ketika melihat kehadiran dirinya.
Hari ini Gungun malah melihat ada yang beda pada diri Rudy. Sekarang kepalanya botak. Ini tumben ia mencukur rambutnya hingga plontos seperti itu. Bahkan tidak ada aksesoris apapun pada tubuhnya yang biasanya di telinganya ditindik dengan sebuah cincin, sekarang cincin itu sudah tidak ada di tempatnya? Pakaiannya pun sederhana, kaos oblong berwarna hitam yang sudah kumal dan celana jins. Dan yang mengherankan, mendadak ia datang dengan senyum ramah padanya.
"Mau pergi ke mana Gun?" Tanya Rudi.
"Aku mau pergi ke kantor bis damri ..." sahut Gungun yang justru menjadi canggung dengan semua perubahan ini. Tapi ia tetap mengajaknya bicara.
"Kamu sendiri mau pergi ke mana?" Tanya Gungun.
"Aku pergi ke rumah teman ..."
"Oh," ucap Gungun, "yuk, aku juga terus ke terminal."
Rudy hanya tersenyum saja sambil melanjutkan langkahnya.
Gungun sempat melihat kulit tangan Rudi seperti luka kena benda panas.
Sepertinya ia mencoba menghapus tato pada lengannya tetapi malah menimbulkan luka seperti kulit yang pernah terbakar. Tetapi tato di wajah sudah bersih, rupanya itu bukan tato permanen.
Apakah si Rudy sedang menghindar menjadi sasaran penembak misterius? Sehingga melakukan itu semua, pikir Gungun. Meskipun ia anak yang liar, bukankah ia masih remaja dan seumuran dengan dirinya?
Hanya sebentar pertemuan itu namun memberi kesan yang dalam pada dirinya. Seumur-umur kenal dengan Rudi baru kali ini bertegur sapa baik-baik? Dan sempat menjadi pikiran Gungun di sepanjang jalan hingga tiba di terminal.
Lalu Gungun segera naik bis yang siap berangkat, tetapi ternyata masih harus menunggu hingga setiap kursi kosong menjadi terisi. Sopir dan Kondektur pun tidak ada di dalam bis, mungkin sedang makan di warung nasi.
Kali ini ia naik jurusan ke Dago. Lumayan lama menunggu penumpang hingga penuh, mana kursinya keras tidak enak diduduki. Kursi-kursi bis dibuat dari bahan plastik sehingga lebih awet dan tidak mudah dirusak oleh tangan-tangan jahil. Padahal bis angkutan umum ini awalnya menggunakan kursi yang empuk juga tetapi tidak lama telah rusak atau dirusak? Jadi deh perjalanan terpaksa duduk ditempat yang tidak bikin betah berlama-lama karena kursinya keras.
Sementara di dalam bis lebih banyak pedagang asongan yang lalu lalang menawarkan jualannya. Dari mulai tukang koran, tukang jualan kopi, hingga ATK berseliweran. Malah tukang jual jajanan lebih banyak ragamnya disodor-sodorkan kepada para penumpang.
Gungun banyak kenal kepada mereka yang merupakan tetangga sehingga saling menyapa dan basa-basi sebentar.
“Mau pergi ke mana, Gun?” tanya Asep si tukang koran. Dan di antara koran-koran ada terselip juga TTS, komik-komik dalam kepitan tangan Asep.
“Beli karcis abodemen,” jawab Gungun. “Sep, gak sekolah?” Gungun balik bertanya. Asep sebaya dengan dirinya dan setahu Gungun walaupun sehari-hari berjualan koran, Asep masih terus sekolah.
“Udah pulang,” jawab Asep, “tadi ada rapat guru jadi pulang lebih awal.”
“Oh ....” Sahut Gungun paham.
Tapi syukurlah bis akhirnya mulai bergerak maju. Pelan-pelan sopir membawa bis berbentuk kotak dan berwarna biru ini menyusuri rute yang berbelok ke jalan Garuda terus ke utara melintasi perlintasan kereta api stasiun Andir di depan pintu masuk Lanud Husen Sastranegara, lalu bergerak lurus sepanjang jalan Pajajaran. Di ujung jalan Pajajaran yang panjang akhirnya berbelok ke kiri melalui jalan Wastukencana. Kemudian sedikit berbelok ke kanan mengambil arah jalan Riau. Di persimpangan lampu merah arah ke Dago, Gungun sudah bersiap-siap turun. Ketika bis berbelok ke kiri dan masih berjalan lambat bergegas Ia turun. Lalu ia melanjutkan jalan kaki ke jalan Merdeka. Sebentar saja ia menengok ke kiri lalu ke kanan kemudian menyebrang. Hanya beberapa langkah ia telah tiba di depan halaman toko buku Gramedia. Ia berniat membeli sesuatu di toko buku itu, tetapi ia putuskan menyebrang terlebih dahulu untuk membeli karcis mumpung belum terlalu siang. Karena ia sudah tahu bila semakin siang antriannya semakin panjang.
Lalu Gungun menyebrang dengan santai dan langsung menapak kaki pada jalan tanah yang penuh dengan kerikil. Sepanjang tepi jalan di halaman kantor Damri ini ditumbuhi ilalang.
Tapi benar saja di tempat penjualan karcis ia melihat sudah banyak yang mengantri. Buru-buru ia sedikit mempercepat langkahnya karena di belakang tampak beberapa orang datang dengan niat yang sama. Akhirnya Gungun telah berdiri dalam antrian sesuai loket jurusan yang diperlukan.
Cukup lama mengantri karena yang membutuhkan jasa tranportasi bis damri sangat banyak. Untuk yang rutin menggunakan jasanya dengan cara seperti ini bisa menghemat ongkos karena diberlakukan jarak dekat atau jauh sama tarifnya.
Akhirnya tiba gilirannya mendapatkan karcis satu bundel jurusan Cibeureum-Cicaheum dan sebaliknya untuk sekali jalan. Ketika Gungun mengambil arah balik tampaklah antrian yang semakin mengular di depan loket masing-masing trayek. Lega rasanya sekarang acara rutin bulanan mengantri seperti ini telah dilalui, kini tinggal pergi menyebrang kembali ke toko buku Gramedia.
Sekarang ia sudah berdiri di depan toko buku ini yang halamannya berupa sebuah lapang tanah yang luas tetapi lengang dan tidak nampak sebuah kendaraanpun. Tidak lama kemudian ambang pintu toko telah ia masuki. Rumah ini cukup luas untuk menjadi sebuah toko buku dan di dalamnya ada beberapa meja pajangan yang diletakan di tengah ruangan untuk memamerkan buku-buku terbitan gramedia tentunya.
Di salah satu sudut ada seorang wanita yang tengah menulis di depan mejanya.
Gungun memanjakan mata dulu sebelum ia membeli barang yang diperlukannya. Ia pergi ke deretan rak-rak yang memajang novel-novel. Ia bisa sedikit membaca beberapa blurb novel yang judul atau nama penulis menarik perhatiannya. Pada akhirnya ia mencatat sebuh judul novel pada memorinya dan akan ia beli novel itu di Palasari karena di pasar buku itu bisa ditawar dan mendapatkan harga yang lebih murah.
Setelah cukup puas melihat-lihat, ia langsung menuju kamar yang memajang alat-alat tulis. Di tempat itu ia mengambil sebuah buku hardcover berwarna biru ukuran B5. Ia memastikan dulu pada setiap lembar halamannya polos dan bukan bergaris seperti buku tulis, tetapi juga bukan buku gambar. Kemudian sebotol lem dalam wadah plastik ia ambil pula. Lalu semua itu ia bawa ke meja kasir. Setelah selesai membayar pada wanita itu, barang-barang yang telah ia beli dimasukan ke wadah kantong plastik.
Kemudian ia pergi ke keluar kembali untuk langsung pulang, jadi ia menyebrang lagi dan menunggu pada shelter bis di depan sebuah lembaga Bimbel. Gedung kecil dua lantai itu tempat kursus dan bimbingan belajar anak-anak sekolah, bahkan ada kelas les gitar atau piano sehingga banyak remaja seusianya yang turut menunggu bis lewat.
Tidak lama kemudian bis damri jurusan Dago - Cibeureum datang. Para calon penumpang bersabar dan mendahulukan yang turun. Ketika mendapat giliran naik Ia mengantri lalu mencari tempat duduk yang masih kosong.
Kemudian bis melaju kembali melanjutkan arah melintasi jalan Merdeka. Di depan Balai Kota Bandung bis berbelok ke kanan dan terus melintasi jalan wastukencana hingga bertemu jalan Pajajaran belok kiri. Mulai dari ujung jalan ini bis terus lurus kembali melalui gedung Kimia Farma, lalu GOR Pajajaran dan akhirnya tiba di depan pintu masuk Lanud Husen Sastranegara kembali. Di ambang jalan Jatayu itu Gungun minta diturunkan. Tetapi pada saat yang sama terdengar suara sirine dari Stasiun Kereta Api Andir. Kebetulan saja jadi ia turun sekalian lalu menyebrang. Pada saat itu pintu perlintasan sudah ditutup meskipun kereta api lokomotifnya saja belum nampak.
Kemudian Gungun lewat pada jalan setapak dan melompati parit rantai-rantai yang menarik sinyal pada tiang semboyan. Dari semboyan bercat merah yang mengacung ia tahu kereta api datang dari arah stasiun Ciroyom. Lagipula kereta apinya masih jauh walaupun sekarang sudah terlihat sehingga pelan-pelan saja ia melintasi sepasang rel baja lalu menyusur alur sepasang rel baja di sisi selatan yang bukan lintasan kereta yang datang dari arah timur
Gungun sengaja turun di tempat itu karena baginya jarak dari ujung jalan Maleber Utara ke rumahnya di Inpres sama jauhnya dari ujung jalan Maleber Barat ke rumah. Tetapi bila turun di jalan Maleber Barat berarti ia harus ikut bis dulu berputar-putar hingga tiba di terminal. Jadi itulah sebabnya ia pilih turun di sini.
Lalu perjalanan pulang ia lanjutkan berjalan kaki menapaki bantalan-bantaran rel baja. Di sebelah kiri adalah jalan aspal yang letaknya lebih rendah dari jalan kereta api. Demikian pula di sebelah kanan dua jalur rel ini adalah lahan-lahan tidur yang dibuat menjadi ladang kebun oleh penduduk di sekitarnya. Ladang-ladang itu tidak luas tetapi memanjang karena di batasi oleh benteng tinggi kawasan Lanud Husen Sastranegara.
Akhirnya ketika ia melewati almamaternya yakni SMP YP kereta yang datang dari stasiun Ciroyom lewat di jalur sebelah kanannya.