Ada sebuah peringatan yang menebar di kota ini yang sangat dipatuhi oleh orang tua atau pun muda. Wanita juga laki-laki. Pribumi, pendatang dan bahkan para turis. Dewasa bahkan anak-anak. Yaitu;
‘JIKA KAU MELIHAT SESUATU BERWARNA MERAH MELAYANG DI UJUNG JALAN, MAKA SEGERALAH BERBALIK ATAU BERHENTI BERANAFAS HINGGA ITU TAK TERLIHAT LAGI’.
Tak pernah ada yang tahu pasti siapa, kapan, dari mana dan kenapa peringatan itu dibuat. Akan tetapi, beberapa orang di kota menyatakan benar-benar pernah melihat sesuatu merah itu sunguh-sungguh melayang di ujung jalan di suatu tempat. Tidak seperti legenda kota lainnya yang hanya ada satu titik pasti. ‘Sesuatu itu’ tidaklah pasti. Terkadang ada di pinggiran kota, di jalan setapak desa atau bahkan di tikungan jalan kota besar di malam hari yang telah sunyi.
Di salah satu sudut kota, terdapat sebuah apartemen tua yang tidak begitu menarik perhatian. Membuatmu yakin bahwa sang pengelola enggan untuk merawat tempat hunian tersebut. Namun, meski begitu bagi orang-orang yang hanya memiliki sedikit uang, apartemen itu seperti surga. Tidak bagus memang, namun tak buruk juga.
Dan disinilah.
Di lantai atas apartemen.
Di salah satu ruang apartemen ini.
Di ruang nomor ... entah nomor berapa, karena aku tak bisa membaca, tinggallah seorang pria tua dengan jenggot dan cambang lebat karena tak pernah dicukur sejak enam bulan yang lalu. Seorang pria tua yang kulitnya telah longgar dan keriput.
Seorang pria tua yang jika berbicara, maka akan mengeluarkan suara parau yang bergetar.
Seorang pria tua dengan mata cekuung dan tulang pipi menonjol—yang jika orang melihatnya, maka bisa dipastikan mereka semua akan mencoba untuk menghindar sebisa mungkin.
Seorang pria tua yang kupanggil ‘Abang’.
Bukan kehendakku, namun dialah yang menyuruhku untuk memanggilnya begitu. Nah, jadi kuturuti saja. Karena jika bukan karena dia, aku tak tahu harus tinggal dimana.
Abang membuka pintu dengan membawa kantong plastik di tangannya dan menutupnya kembali dengan perlahan. Dengan langkah yang seakan begitu lelah, dia menyeret kakinya menuju meja dapur yang berantakkan. Meletakkan kantong plastik di meja, meraih piring dan membuka bungkusan makanan dari kantong plastik tersebut.
Melirikku sekilas yang sedang duduk menghadap ke luar di sisi jendela yang telah dengan sengaja Abang teralis. Katanya, agar tidak membahayakan kami karena kami berada di lantai paling atas apartemen ini.