Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari

Muhammad Kodir Jaelani
Chapter #3

Putra Mahkota Niscala

Setelah 3.667 tahun para Dewa meninggalkan tanah Jawa, berdiri sebuah kerajaan bernama Niscala yang wilayahnya dari Pantai Selatan hingga Karimunjawa, dari Medang hingga Poh Pitu, dan juga Timur Jawa yang baru ditaklukan oleh prabu yang naik tahta, dengan ibukota di Pastika yang terletak di antara Gunung Lawu dan Bengawan Solo. Menjadikannya kerajaan paling luas dan paling kuat di Tanah Jawa. Raja baru itu sangat bijak dalam memerintah, Prabu Radhityajaya III, dengan permaisurinya Sumitra. Namun Sang Raja lebih menyayangi selirnya, Kayla, karena berhasil melahirkan seorang putra. Seorang selir yang dibawa Prabu dari daerah penaklukannya.

Merasa cemburu dan putus asa, suatu hari Sumitra melakukan upacara puja pada Dewi Hariti untuk meminta anak. Selama tujuh hari tujuh malam dia bertirakat di tepi Bengawan Solo, hingga akhirnya seorang bidadari turun menyampaikan pesan. Wajahnya cantik jelita dengan gaun dan selendang kuning, dialah Nawang Kencana.

“Wahai Ratu Niscala, Dewi Hariti mendengarmu,” tuturnya anggun. “Kau akan segera hamil jika bercinta di malam Sukra Kliwon (Jumat Kasih). Namun dengan satu syarat, kau harus melakukan isun amukti palapa (berpuasa bumbu dan rempah-rempah) selama sisa hidupmu.”

Sumitra tanpa ragu menyanggupinya. Pulanglah ia ke istana dan menyampaikan kabar gembira itu pada Sang Raja. Namun, Radhityajaya terlihat tak begitu bersemangat. Hingga di malam Sukra Kliwon, Radityajaya tak memasuki kamar Sumitra, malah pergi menemui Kayla.

Sang Ratu yang sudah berdandan cantik, memakai perhiasan terbaiknya, gaun kesayangannya, menitikan air mata. Hatinya patah. Ingin sekali dia berteriak dan membanting barang, tapi seorang Ratu tak pantas melakukannya. Dia hanya menangis dalam diam sambil menatap pintu kamarnya yang tak pernah terbuka sepanjang malam itu.

Wanita mana yang tak sakit hati diperlakukan seperti itu? Kebencian pun menetas dalam dirinya. Siasat licik direncanakan.

Di satu hari, Sumitra memanggil Kayla untuk makan bersama. Meja makan dipenuhi makanan lezat. Kayla tidak curiga sama sekali, karena mereka juga sering makan bersama.

“Di mana putramu, Arya Wijaya, Kayla?” lontar Sumitra lembut.

“Bersama Kakanda. Dia sangat menyayangi Arya,” jawab Kayla sambil menuangkan minuman ke gelas emasnya, seolah sedang memamerkan kebahagiaan.

Sumitra melirik sinis. “Anak enam tahun memang sedang lucu-lucunya,” ucapnya sambil memperhatikan cincin indah Kayla. Cincin permata yang merupakan pusaka kerajaan. Konon, batu permatanya adalah serpihan kecil bulan yang jatuh ke bumi. Jujur saja, dia cemburu karena suaminya memberikan harta istana yang begitu berharga pada seorang selir. Harusnya cincin itu dipakai oleh seorang ratu.

“Benar,” sahut Kayla sambil tersenyum senang, lalu meminum minumannya.

“Kau tahu apa yang paling aku inginkan, Kayla?” Sumitra tak lagi lembut, nadanya menjadi sangat tajam.

Begitu Kayla menaruh kembali gelasnya, tenggorokannya terasa terbakar. Dia bangkit dengan kuat hingga kursinya terjatuh. Dia memegangi lehernya, lidahnya juga terasa sangat kaku. Dia melangkah mundur panik.

“Suami,” tukas Sumitra mantap. “Aku tidak ingin lagi berbagi kekasihku. Aku ingin cinta yang seutuhnya.”

Gubrak! Kayla jatuh. Darah keluar dari mulut, mata, dan telinganya. Selir itu pun tewas seketika.

***

Enam puluh hari istana berkabung. Raja tak mau duduk di singgasananya untuk rapat negara. Dia hanya menghabiskan waktu dengan Arya Wijaya dan melamun. Patih Kebo Abanglah yang menggantikan tugasnya mengurus negara. Semua dayang dan tukang masak yang menyiapkan makanan beracun siang itu dipenggal, Sumitra tak tercium sama sekali.

Radhityajaya baru memerintah kembali setelah hari ke seratus. Hari itu sangat cerah, semua Tumenggung (penasihat/menteri) dan abdi dalem istana bisa bernapas lega karena kerjaan yang menumpuk akhirnya ditangani juga. Tumenggung ada dua puluh, satu di antaranya bernama Lakeswara atau yang biasa dikenal Semut Ireng, yang mengawasi pertanian dan pangan kerajaan. Hari itu dia memasuki istana dengan putrinya yang seumuran dengan Arya Wijaya.

Semua pejabat dan abdi negara berkumpul di ruang tahta Balai Agung. Gulungan laporan menggunung, tapi tak satu pun yang diambil oleh Radhityajaya. Semua orang diam menunggu perintah.

“Hari ini,” akhirnya Radhityajaya bersuara, “tepat seratus satu hari meninggalnya istri mudaku. Dia dibunuh dengan sangat sadis di rumahku sendiri. Sekarang yang aku khawatirkan adalah keselamatan putraku. Oleh karena itu, aku akan memilih Arya Wijaya sebagai Putra Mahkota Niscala.”

Semua orang tercengang, mereka langsung saling berbisik kaget. Tentu saja mereka terkejut, karena selama ini menurut tradisi dan hukum putra mahkota haruslah putra pertama dari ratu. Aula besar itu menjadi gaduh.

Keputusan itu sampai di telinga Sumitra. Sekali lagi dia sangat geram pada tindakan suaminya itu. Dengan buru-buru dia pergi ke aula takhta.

“Anda tidak bisa memutuskan hal itu, Kakanda!” seru Sumitra begitu memasuki aula. “Calon Raja haruslah yang lahir dari rahim permaisuri... bukan seorang selir!”

“Bagaimana? Kau sendiri tidak memiliki anak!” balas Radhityajaya tajam.

Hening. Semua orang tercenung mendengar suara tinggi Raja. Sumitra sekali lagi dibuat hancur, dipermalukan di depan para bangsawan. Seorang Ratu yang seolah tiada kuasa dan harga dirinya.

“Aku adalah Prabu negeri ini! Hukum dan tradisi ada di tanganku. Dan aku sudah memutuskan bahwa yang menggantikanku kelak adalah Arya Wijaya,” tukas Radhityajaya tegas. Tak bisa dibantah. Semua orang lalu bersujud mendengar titah itu. Mengucapkan selamat pada Arya Wijaya yang bahkan tak ada di sana.

Dia sedang bermain di halaman Timur istana bersama pengasuhnya, Dayang Sri. Anak kecil itu sedang jongkok di depan semak-semak sambil menghitung semut yang melintasi batu.

“Sedang apa kamu?” Seorang gadis kecil menghampirinya.

Arya menoleh, terdiam malu memandang gadis itu. Dayang Sri terus memperhatikan mereka dari jauh.

“Aku Anjani Purbawasesa, putri Tumenggung Lakeswara. Siapa namamu?”

“Raden Arya Wijaya,” jawabnya singkat.

Gadis kecil itu kaget, lalu seketika memberi hormat. “Kamu seorang pangeran.” Dia melirik ke bawah, ke semut-semut yang merayap di batu. Gadis bernama Anjani itu ikut jongkok. “Raden tahu, ayahandaku dijuluki Semut Ireng. Katanya, walau tubuhnya kecil dia itu cerdas dan gesit, serta mempunyai tujuan yang jelas.”

Arya tak merespon apa-apa. Hanya terus memperhatikan Anjani dari sudut matanya. Terpikat oleh cantik dan keceriaannya.

“Wah, ini adalah semut tentara,” sahut Anjani sambil menunjuk semut yang berbaris melindungi semut yang membawa daun. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan... mmm... apa setelah delapan?”

“Sembilan,” jawab Arya malu-malu.

“Ah, benar. Sembilan!” seru Anjani sambil tersenyum gembira.

Arya mulai tersenyum tipis.

***

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Sumitra benar-benar hancur melihat suaminya lebih sering menghabiskan waktu bersama Arya Wijaya. Dirinya benar-benar tak dihiraukan lagi. Cemburu dan benci kembali tumbuh dalam dirinya.

Suatu hari dia kembali lagi ke kuil tepi Bengawan Solo. Dia kembali bertirakat untuk meminta anak, tapi doanya tak pernah didengar. Bulan berikutnya dia kembali lagi. begitu juga bulan berikutnya, dan berikutnya.

Sementara itu, tinggi di atas langit, di antara awan-awan, ada sebuah istana besar. Tinggi menaranya hingga ratusan meter, dindingnya dari marmer, pilar-pilarnya dari permata paling indah, kubah-kubahnya terbuat dari kaca yang berkilauan, dan lantai putihnya sejernih air. Kahyangan adalah istana paling indah di mana para bidadara dan bidadari tinggal. Mereka sangat cantik dan tampan, memakai perhiasan paling mewah, dan pakaian paling indah. Seperti sebuah bentuk kesempurnaan.

Di sebuah kolam yang airnya berwarna biru memantulkan kehidupan di Bumi Jawa, ada enam bidadari yang mengelilinginya.

“Permaisuri Niscala ini tidak mau menyerah,” celetuk Nawang Asri, bidadari berselendang hijau.

“Apa Dewi Hariti tidak mau mengabulkannya?” tanya Nawang Cende, bidadari berselendang jingga.

Nawang Kencana, bidadari berselendang kuning, hanya menggeleng.

“Aku kasihan padanya. Cinta dan kecemburuan telah menodai hatinya,” lontar Nawang Rasati, bidadari berselendang biru.

“Hati manusia sangatlah abstrak. Kita bahkan tidak bisa membaca sanubari mereka,” sahut Nawang Manik, bidadari berselendang nila.

“Ayunda!” Nawang Wulan, bidadari berselendang merah, datang berlari.

“Ada apa, Wulan?” tanya Nawang Shindang, bidadari berselendang ungu.

“Aku telah mendapat wangsit dari Dewi Ratih, dia ingin aku menjodohkan Arya Wijaya dengan Anjani,” jawab Nawang Wulan bersemangat.

Ketujuh bidadari itu terlihat terkejut dan amat senang.

“Mereka tampak serasi,” ujar Asri.

Lalu Kencana memberi Wulan sebuah patung kecil yang mirip Arya Wijaya, yang terbuat dari giok putih. Patung itu seolah punya sinar di dalamnya, berpendar indah mewakili nyawa manusianya. Jika redup, berarti dia sudah meninggal, layaknya patung Selir Kayla.

Wulan menerimanya dengan antusias, lalu kembali pergi meninggalkan keenam saudarinya. Dia memasuki sebuah ruangan luas di mana lantai, dinding, dan rak-rak bundarnya dipenuhi patung-patung kecil yang terlilit benang merah. Wulan saja kesulitan melangkah karena saking rumitnya benang dan patung-patung itu. Dia meletakkan patung Arya bersebelahan dengan patung Anjani, lalu melilitkan benang merah pada keduanya. Wulan tersenyum senang, Bidadari Cinta itu tak pernah bosan menjodohkan orang.

Lihat selengkapnya