Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari

Muhammad Kodir Jaelani
Chapter #4

Sang Hyang Antaboga

Langit cerah. Kahyangan begitu tenang. Nawang Kencana duduk di tepi kolam sendirian. Gaun kuning dan perhiasan emasnya sangat indah. Kecantikannya yang semurni tawa anak-anak. Yang tatap matanya bisa melahirkan kebahagiaan. Bidadari berselendang kuning yang mengatur kesuburan wanita dan keceriaan anak-anak berdasar perintah Dewi. Dia melongok ke dalam kolam, menerawang kehidupan di bumi.

Istana Kerajaan Niscala sibuk seperti biasa. Dayang-dayang berseliweran, prajurit-prajurit berjaga di sudut-sudut istana. Seperti keraton-keraton Jawa lainnya, istana Niscala yang berdiri di tanah seluas 420.000 meter persegi dengan ratusan kompleks bangunan. Menjadikannya keraton paling luas nan megah di Tanah Jawa. Keraton itu mempunyai dinding pagar tiga lapis. Dinding terdalam melindungi bangunan-bangunan keluarga kerajaan, atau biasa yang disebut istana dalam. Istana dalam meliputi, bangunan utama biasa disebut Balai Agung, yang mencakup ruang tahta dan kantor para penasihat kerajaan. Kediaman Prabu dan Permaisuri dibuat bersebelahan. Lalu ada bangunan khusus untuk putra mahkota. Ada juga Keputren, kediaman para putri bangsawan dan wanita saudara keluarga kerajaan yang di belakangnya ada kolam seluas 6,5 hektar. Dinding kedua melindungi benteng tentara dan juga arena berlatih. Dinding terluar melindungi kantor-kantor urusan kota dan juga pendopo untuk rakyat menyuarakan keluh kesahnya.

Ada empat gerbang di setiap arah mata angin yang gapuranya tentu saja bergaya Jawa, yaitu gerbang yang seperti terbelah. Gerbang utama dekat benteng tentara langsung menghadap ke Kota Pastika, ke utara, ke Bengawan Solo. Gerbang lainnya ada di timur dan barat. Yang jarang dibuka adalah gerbang selatan yang memang berbatasan langsung dengan padang rumput sebelum menuju hutan di kaki Gunung Lawu.

Pandya Wijaya kini sudah tujuh belas tahun, putra Permaisuri Sumitra itu tumbuh menjadi pemuda tampan nan hebat. Dia sungguh pintar dalam sastra dan ilmu ketatanegaraan, dia juga seorang ksatria yang pandai bermain pedang. Bagaimana tidak? Dia berguru pada resi dan ksatria terbaik negeri ini. Asupan makanannya pun selalu dijaga. Hidupnya dijamin, karena dia adalah masa depan negeri. Dia adalah putra mahkota, menggantikan abang tirinya, Arya Wijaya, yang sudah dianggap mati tujuh belas tahun lalu.

Radhityajaya amatlah bersedih atas kepergian putra sulungnya. Piyama sutra milik Arya yang ditemukan di tepi Bengawan Solo menjadi satu-satunya bukti akan meninggalnya putra sulungnya itu. Selama seratus hari prajurit menyusuri sungai terbesar dan terpanjang di Jawa itu. Ratusan kilometer mereka arumi, tapi tetap saja nihil. Keluarga Penasihat Keuangan semuanya dihukum mati karena dituduh dalang dari semua ini. Sang Ratu dan Patih Kebo Abang sama sekali tak tersentuh. Kalaupun terungkap, apakah iya, Radhityajaya mampu menghukum istrinya sendiri? Walau rambutnya sudah beruban, ia tetap mampu menopang mahkota berat yang senantiasa ada di kepalanya. Menjadi raja paling bijak semampunya, walau abdinya sangatlah korup. Waktu menelan kebijaksanaan Sang Raja.

Sementara istrinya, Sumitra, lebih sering diabaikan. Walau sudah melahirkan putra dan menyingkirkan selir kesayangan suaminya, dia tetap menjadi ratu yang kesepian. Radhityajaya lebih memilih sibuk di ruang takhta, dan saat lelah dia mendatangkan gundik-gundiknya. Ya, dia lebih memilih pelacur daripada istrinya. Karena itu, seperti pagi ini, seorang gadis muda yang melayani Radhityajaya semalam dipanggil ke Graha Permaisuri.

Gadis itu dengan gemetar menghadap Sang Ratu yang duduk di balik meja makannya. Sumitra dengan santainya memakan nasi, sayur, dan daging ayam yang semuanya tanpa bumbu. Dia menatap gadis itu lamat-lamat, meletakkan sendok besinya, dan mendekat. Kebaya hijau polosnya kalah mewah dengan pakaian pelacur itu. Sumitra menjalankan sumpahnya pada Dewi Hariti untuk berpuasa rempah-rempah dan tidak memakai perhiasan. Akibat sumpahnya itu, dia sering menjadi bahan gosip di antara dayang-dayang istana. Karena tidak meminum jamu untuk merawat dirinya, dia menjadi cepat tua, lihat saja keriput di sudut matanya dan uban itu. Dia tidak tampak seperti ratu. Pengorbanan dan cintanya hanya menjadi bahan olok-olok saja.

“Siapa namamu, Nimas(nona)?” tanya Sumitra ke gadis itu.

Dengan gugup dia menjawab, “Sari, Kanjeng Ayu(Paduka Ratu).”

“Sari? Nama yang indah,” gumam Sumitra. Lalu dia mengambil sekantung uang di mejanya dan memberikannya ke gadis itu.

“Hamba sudah dibayar Baginda Prabu, Kanjeng.”

Sumitra menatap tajam. “Ini bukan untuk pelayananmu.”

Gadis itu tercenung. Bingung. Lalu seorang dayang masuk dan memberikan segelas jamu ke Sumitra. Sumitra memberikannya ke gadis itu.

“Jamu apa ini, Kanjeng Ayu?” tanya gadis itu mulai was-was.

“Agar kau tak bisa hamil,” tukas Sumitra pahit.

Gadis itu gusar menatap isi gelasnya yang keruh. Menolak akan kehilangan kepalanya, diminum berarti merelakan kehilangan kesuburan rahimnya. Dia menatap dalam ke Sumitra, meminta belas kasih.

“Minum.” Perintah itu tegas, tak bisa dibantah. Dengan gugup pelacur itu pun meneguknya.

Ini mungkin terlihat sangat kejam, tapi ini juga sangat merendahkan Sumitra sebagai seorang istri dan ratu. Dia benar-benar dipermalukan.

Di Kahyangan, Nawang Kencana masih memerhatikan kolamnya, membaca mimik Sumitra saat gadis di depannya meneguk habis gelas itu. Kencana menghela napas panjang, dosa kembali jatuh ke Sumitra.

“Ayunda!” Nawang Wulan dengan selendang merahnya datang mendekat. “Sedang melihat kehidupan Niscala lagi?” tanyanya, sambil melongok pantulan wajah Sumitra di kolam yang mulai memudar.

“Manusia memang sulit dimengerti. Mungkin memang sudah tak ada lagi manusia yang benar-benar suci di dunia ini. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Arya Wijaya dan Anjani? Mereka masih berjodoh?” ujar Nawang Kencana.

Nawang Wulan tersenyum, memamerkan kecantikannya yang tak tertandingi. “Tali asmara mereka masih tersambung. Arya dan Anjani akan segera bertemu.”

“Baguslah.” Kencana ikut senang. “Oh ya, kenapa kau memanggilku, Wulan?”

“Ayunda Rasati sedang membuat mendung. Mau turun ke bumi setelah hujan untuk mandi?” cetusnya bersemangat.

***

Jauh di tenggara Pastika, di Kadipaten(region/provinsi) Jalada, tepatnya di Desa Nalin, di mana hampir semua warganya bekerja sebagai petani. Jalada memang salah satu penyumbang upeti beras terbesar bagi kerajaan.

Di sebuah gubuk tua dekat hutan belantara yang didominasi pohon pinus, hiduplah Jaka Tarub alias Arya Wijaya bersama Mbok Mila yang merupakan dayang pengasuhnya, Dayang Sri. Mereka berdua hidup sederhana sebagai anak dan ibu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mbok Mila bekerja sebagai buruh tani yang menggarap sawah orang-orang terkenal. Mbok Mila sudah mulai tua, dia sering jatuh sakit karena kelelahan.

Jaka Tarub, alias Arya, biasanya berburu di hutan untuk dijual di pasar. Biasanya dia dapat kelinci atau ayam hutan, jika beruntung dia dapat babi hutan yang bisa dibuat hidup beberapa minggu kedepannya. Apalagi kalau rusa, dia pasti tenang selama sebulan. Tapi kalau sial, ya, dia hanya dapat burung puyuh saja. Dia tidak berani untuk menjual burung itu ke pasar, pasti tak laku. Biasanya, ya, dimakan sendiri. Tak jarang dia pulang dengan tangan kosong, dan terpaksa makan seadanya, bahkan puasa. Semua kemewahan istana telah mereka lupakan, dikubur dalam-dalam selama tujuh belas tahun terakhir. Meski rindu kadang juga mencuat.

“Mbok, istirahat hari ini, tak usah pergi ke sawah. Aku berjanji akan menangkap babi dan membelikanmu obat,” seru Jaka Tarub, sambil mengambil busur dan anak panahnya.

Mbok Mila keluar dari kamar sempitnya. Wajahnya pucat. “Aku sudah berjanji untuk tandur(menanam padi(di sawah Kepala Desa.”

“Aku akan mampir dan bilang padanya kalau Mbok tak bisa.” Jaka berdiri, menatap lekat Mbok Mila yang pucat. “Istirahatlah. Aku pergi.” Lalu, dia pun melangkah keluar rumah.

Mbok Mila masih diam memandang Jaka Tarub hingga belok. Dia amat kasihan pada pangeran asuhnya yang harus hidup sebagai rakyat jelata dan merawatnya yang sakit-sakitan. Berburu di hutan yang penuh makhluk buas demi sesuap nasi. Entah sampai kapan mereka harus hidup seperti ini. Istana sudah tak pernah dibahas lagi, bahkan dia sudah tak ingat kapan terakhir kali menyebut nama Radhityajaya.

Dua belas tahun lalu mereka datang ke desa ini. Selama lima tahun setelah pengejaran di Bengawan Solo, mereka berpindah-pindah tempat. Karena Bengawan Solo terus diawasi, mereka menjauh. Bergerak ke tenggara hingga menuju ke selatan di mana jauh dari hilir sungai untuk tidak meninggalkan jejak. Setelah diangkatnya Pandya sebagai Putra Mahkota dan Arya Wijaya resmi dinyatakan meninggal, mereka memutuskan untuk menetap di Desa Nalin.

Pagi itu sebelum berburu, Jaka Tarub pergi ke kediaman Kepala Desa. Dia melewati persawahan yang membentang luas. Ada yang sedang membajak sawah dengan kerbau, menanam padi, hingga mengairi sawahnya. Musim tandur sudah tiba. Pemandangan seperti desa yang damai. Namun, itu hanya luarnya saja.

Jaka Tarub sudah sampai, halaman itu luas dan langsung mengarah ke jalan utama, dia melihat Kepala Desa dengan seragam dinasnya(jarik motif kebangsawanan, baju hitam, dan blangkon(baru saja keluar dari rumah.

“Bendara(gelar jabatan) mau pergi ke mana pagi-pagi begini?” lontar Jaka heran.

Kepala Desa itu mendengus. “Tentu saja bekerja, Jaka. Semua pejabat se-Jalada harus ke Keraton Kadipaten(kantor gubernur/penguasa daerah), karena akan ada utusan dari Pastika yang akan datang.”

Jaka membelalak. “Siapa? Apakah Prabu?” Dia menjadi amat penasaran.

Pria paruh baya itu menatap tajam. “Hanya seorang tumenggung. Tapi, kenapa kau datang, Jaka?”

“Oh, itu...” Jaka agak kecewa mendengarnya. “Mbokku tidak bisa bekerja hari ini. Dia sedang sakit,” tambahnya.

“Selalu saja!” desah Kepala Desa. “Padahal keluargamu punya banyak hutang padaku. Harusnya aku cari orang lain saja,” tambahnya. Jaka hanya bisa menunduk. Lalu Kepala Desa itu naik ke kuda dan pergi bersama seorang pengawalnya.

Jaka Tarub tertunduk lesu, lalu ia termenung(bertanya-tanya siapakah utusan yang akan datang itu? Apakah dia datang untuk mencarinya? Ah, tidak mungkin. Arya Wijaya sudah diumumkan meninggal dua belas tahun lalu. Dia bukan siapa-siapa sekarang.

Lihat selengkapnya