Pondok kayu itu berdiri hanya beberapa puluh langkah dari Ci Gunung, sebuah sungai berbatu-batu besar dan membelah Gunung Baribis, dengan jurang-jurangnya yang menganga. Pondok itu terkesan dibuat seadanya, asal cukup untuk berteduh dari hujan dan angin yang selalu menggigit. Tapi, tiang penyangganya terbuat dari kayu besi. Keras dan kukuh. Dindingnya berupa gedek dari bambu hitam. Atapnya terbuat dari rumbia dan dibuat berbentuk limas.
Pondok itu memang terkesan sengaja dibangun di tempat terpencil. Kampung terdekat harus ditempuh sepertiga hari berjalan kaki. Di samping berdiri di dekat tebing curam, hutan yang ditumbuhi berbagai pohon yang rapat dan hijau seakan membungkus bangunan itu dari pandangan. Di tambah pula, pagar kayu yang rapat setinggi jangkauan tangan menghalangi pemandangan di dalamnya.
Gunung Baribis sendiri adalah bebukitan berhutan rapat yang jarang sekali diinjak manusia. Harimau, babi hutan, dan berbagai jenis kera masih menjadi penguasa utama. Hanya orang dengan tekad sangat bulatlah yang berani menembus hutan di bukit itu, lebih-lebih menyusuri Sungai Ci Gunung, sungai yang berdinding ngarai terjal dan memiliki jeram-jeram yang mematikan.
PAGI masih menyisakan titik-titik embun terakhir di dedaunan. Matahari menerobos dedaunan lebat akasia dan garis-garis cahayanya rebah memanjang di halaman depan pondok kayu itu. Luas halaman itu kira-kira sepuluh tumbak.
Tiga bocah belasan tahun berdiri berjajar menghadapi seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun dengan wajah yang keras.
Wajah ketiga bocah itu berkilat oleh keringat. Baju mereka juga basah dan kotor. Dada mereka tampak mengembang dan mengempis dengan cepat.
“Ulangi jurus yang terakhir,” kata pria berwajah keras itu. Matanya memandang tajam ketiga bocah di hadapannya satu per satu.
Ketiga bocah itu sama-sama mengeluarkan keluhan melalui bibir dan hidung mereka.
Bocah paling kanan memiliki wajah yang tampan, dengan bibir tipis yang selalu tampak menyeringai. Tubuhnya tinggi langsing, lebih tinggi daripada dua bocah lainnya.
Bocah paling kanan kira-kira setengah jengkal lebih pendek dan bertubuh kekar, nyaris bulat, dengan kulit lebih gelap.
Sementara itu, bocah di tengah memiliki rambut panjang yang diikat pita ungu serta berwajah lembut dengan mata yang cemerlang dan bibir merah. Dia memang bocah perempuan yang mulai menunjukkan garis-garis kecantikan.
Umur mereka sebaya, kira-kira empat belas atau lima belas tahun.
“Kalian jangan cengeng. Nama besar leluhur agung kita berada di pundak kalian.”
Lelaki itu memandang ketiga bocah di depannya satu per satu. Ia lelaki dengan kulit cokelat karena matahari. Sehelai ikat kepala menutupi sebagian rambutnya yang mulai bergaris-garis putih. Wajahnya terkesan menyimpan seribu pengalaman pahit sepanjang perjalanan hidupnya. Garis lurus menghitam melintang di pipi kirinya, luka yang rasanya belum benar-benar sembuh meskipun sudah bertahun-tahun.