BOCAH itu berusia kira-kira sebaya dengan Lingga Prawata, Watu Ageng, dan Dyah Wulankencana. Kulitnya cokelat cenderung ungu, sekilas seperti warna bambu wulung. Rambutnya tergerai hingga sepundak dan hanya diikat dengan bandana hitam yang sudah pudar warnanya. Celananya pangsi dan bajunya tanpa lengan, dengan warna kelabu yang sudah pudar dan koyak di beberapa tempat.
“Siapa kamu?” tanya Lingga Prawata dengan wajah geram.
Bocah itu tidak menjawab. Ia masih terduduk menyeringai sambil mengusap-usap pantatnya.
Ia merasa bersyukur hanya pantatnya yang sakit, itu pun karena jatuh ke tanah. Tadi ia tidak menyadari adanya sebutir batu yang menyambitnya dan nyaris mengenai keningnya. Kalau saja ia tidak membungkuk secara tiba-tiba, pasti dahinya sudah berlubang dan hidupnya berakhir begitu saja.
Batu itu mengenai batang pohon, melesak hingga menembus kulitnya entah seberapa dalam. Bisa dibayangkan betapa kuat tenaga yang melontarkan sebutir batu itu.
Si bocah sendiri heran bagaimana ia bisa membungkuk pada saat yang tepat. Tapi, karena terkejut, posisi duduknya di dahan pohon menjadi goyah dan ia tidak bisa menjaga keseimbangan dan melayang jatuh.
Ia berusaha tersenyum menyadari kebodohannya.
Anehnya, meskipun kumal, bocah itu memiliki mata yang cemerlang dan gigi yang rapi berbaris seperti mutiara. Bahkan, kalau diperhatikan secara lebih saksama, ia juga memiliki alis yang tebal, bentuk bibir yang menarik, dan rahang yang tegas. Pendeknya, ia bocah tampan, setidaknya untuk ukuran golongan pengemis.
Lingga Prawata melangkah dengan wajah marah.
Akan tetapi, Ki Jayeng Segara menahan langkah Lingga Prawata.
“Bocah, siapa kamu? Ada tujuan apa mengintip kami?” tanya Ki Jayeng Segara.
Si bocah memandang Ki Jayeng Segara, kemudian Lingga Prawata, dan berturut-turut Watu Ageng dan Wulankencana, dengan wajah yang masih menyeringai meskipun ia sudah berupaya mati-matian tersenyum.
“Duh, maafkan saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu mengapa bisa sampai di sini. Saya hanya berjalan mengikuti langkah kaki ke mana saja. Kemudian, saya mendengar sesuatu di sini dan ternyata saya lihat ada Tuan-Tuan Muda sedang berlatih ilmu silat yang hebat. Saya senang melihat orang berlatih silat. Jadi, saya menonton di atas pohon. Sekali lagi maafkan saya kalau kedatangan saya mengganggu teman-teman semua.”
Kata-kata si bocah kumal mengejutkan Ki Jayeng Segara dan ketiga bocah keturunan laskar Jipang itu. Pertama, susunan katanya runtut dan ia mengucapkannya dengan wajah yang tampak ceria. Kedua, ia menyebut keempat orang itu “teman”. Dan ketiga, ia terkesan dengan enaknya “menonton di atas pohon”.
Ki Jayeng Segara mengerutkan dahinya.
Wajah Lingga Prawata berubah merah. Ia merasa dalam kata-kata itu tersimpan semacam ejekan. Bagaimana mungkin seorang bocah kumal tak dikenal menyebut dirinya sebagai teman?
Akan tetapi, sebelum ia bergerak, lagi-lagi Ki Jayeng Segara menahannya.
Ki Jayeng Segara lalu menarik napas dalam-dalam. “Nama kamu siapa, Bocah?”
“Oh, ya, orang-orang memanggil saya Wulung. Kadang-kadang Jaka Wulung. Mungkin karena kulit saya begini, ya. Seperti sudah saya bilang, saya tidak tahu mengapa saya bisa sampai di sini. Dan kalau Tuan percaya, saya juga tidak tahu dari mana saya berasal ....”
“Dan, tujuan kamu mengintip kami?” Ki Jayeng Segara memotong.
“Oh, maafkan saya. Saya tidak mengintip, tapi saya terang-terangan menonton. Makanya saya kaget bukan main ketika Tuan melempar saya dengan kerikil.”
“Kurang ajar!” seru Lingga Prawata.
Ki Jayeng Segara lagi-lagi mengangkat tangannya.
“Sejak kapan kamu menonton?” tanya Ki Jayeng Segara. Meskipun hatinya mengkal, ia penasaran, bagaimana mungkin ia tidak mengetahui ada penyusup di luar pagar pondoknya yang terpencil. Lagi pula, dengan enteng Jaka Wulung, si bocah itu, lagi-lagi mengaku sengaja menonton.
Yang juga mengherankan Ki Jayeng Segara, tidak ada tanda-tanda bahwa batu yang dilontarkannya mengenai si bocah. Tak ada luka di tubuhnya, tak ada darah yang menetes. Si bocah hanya menyeringai kesakitan sambil melirik pantatnya.
Dilihat dari sosoknya, Jaka Wulung hanyalah bocah gelandangan seperti yang kerap dijumpainya di mana-mana. Di balik bajunya yang koyak moyak juga tampak otot-otot lengan dan dada yang kurus. Lagi pula, tempat mereka berlatih bukanlah tempat yang mudah didatangi karena terlindung oleh hutan belukar yang lebat, bukit menjulang di belakang, dan ngarai terjal di bibir Ci Gunung.
“Mmm ... saya menonton kira-kira sepuluh jurus,” sahut Jaka Wulung.
Lagi-lagi, Ki Jayeng Segara dan ketiga bocah asuhannya terkejut bukan main. Sepuluh jurus bukanlah waktu yang pendek untuk menonton di atas pohon.
Meskipun demikian, Ki Jayeng Segara mencoba menahan diri.
“Dan, apa tujuan kamu menonton?”
Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara dengan ragu. “Hmm ... kalau boleh ... saya ingin ikut belajar silat ....”
Ki Jayeng Segara dan ketiga muridnya sama-sama membelalakkan mata.
“Maaf, Bocah,” kata Ki Jayeng Segara. “Ini bukan perguruan silat yang menerima murid secara terbuka. Saya hanya mengajari ketiga keponakan saya ini.”
“Oh. Padahal, saya ingin sekali ikut belajar ....”
“Kamu dengar apa kata guru kami!” Wajah Lingga Prawata mulai memerah. “Guru kami tidak sembarangan menurunkan ilmunya kepada orang seperti kamu!”
Ki Jayeng Segara masih berupaya menahan geram Lingga Prawata. “Bocah,” katanya. “Ilmu ini hanya diberikan untuk orang-orang tertentu,” Ki Jayeng Segara berhenti sebentar sambil mengatur napasnya, “yaitu mereka yang masih memiliki terah laskar Jipang.”
“Oh.” Jaka Wulung memandang Ki Jayeng Segara dengan wajah kecewa.
“Oleh karena itu, segeralah pergi dari sini!” Mata Lingga Prawata membelalak.
“Tapi, saya ingin sekali belajar ....”
“Pergi kubilang!”
“Oh.” Jaka Wulung masih memandang keempat orang di depannya dengan pandangan tak mengerti.
“Pergi! Kalau tidak ....” Lingga Prawata mengepalkan jemarinya dan mengangkatnya di depan wajahnya. Itu berarti ia mengancam akan mengusir si bocah kumal dengan kekerasan.
Dengan wajah tertunduk, Jaka Wulung berbalik hendak meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai.
“Tunggu!”
Langkah Jaka Wulung terhenti.
“Berapa kali kamu mengintip latihan kami?”
Jaka Wulung menoleh memandang Ki Jayeng Segara. Ia tampak ragu-ragu beberapa jenak sebelum menjawab, “Tiga kali.”