Tahun 1580-an adalah salah satu masa paling muram dalam sejarah Nusantara, termasuk Tatar Sunda. Bekas wilayah kerajaan yang pernah menguasai hampir separuh Jawa Dwipa ini tercabik-cabik menjadi Sumedang Larang, Cerbon, Banten, dan wilayah-wilayah lain yang merasa diri pantas menjadi ahli waris Prabu Siliwangi.
Sejumlah wilayah saling bertempur demi menguasai satu sama lain. Kesultanan Banten tak lepas dari riuh rendah perebutan kekuasaan. Negeri yang baru seumur jagung ini bahkan harus menghadapi sebuah perang yang menyedihkan: perang saudara.
Dengan latar zaman inilah, kisah Titisan Bujangga Manik berlanjut.
***
JAKA Wulung mencangkung memandang permukaan kawah putih kehijau-hijauan di puncak Gunung Sepuh. Pepohonan di sekelilingnya dilapisi warna keemasan matahari menjelang senja. Udara dingin menggigit. Jaka Wulung sesekali menggigil, tapi bukan oleh udara dingin, melainkan sebaliknya, oleh sesuatu yang bergolak di dadanya.
Bara dendam.
Masih lekat di kepalanya adegan yang menyayat hati itu, saat-saat akhir pertempuran di Bukit Sagara, ketika dia, seorang bocah berusia lima belas tahun, harus menghadapi dua tokoh sakti yang sudah malang melintang puluhan tahun: Ki Wira dan Brahala. Dia baru saja menghindari hantaman gada Rujak Polo di tangan Brahala ketika keris Ki Wira sudah menjemputnya dari arah yang sama sekali tidak diduga.
Nyawa Jaka Wulung tentulah akan melayang kalau gurunya, Resi Darmakusumah, tidak memapak keris Ki Wira. Tapi, upaya penyelamatan itu membuat pertahanan Resi Darmakusumah terbuka. Ujung selendang salah seorang lawannya, Nyai Purwati, yang berisi jarum-jarum beracun menggores leher Resi Darmakusumah. Dan, itu menjadi titik awal penentuan nasibnya.
Memang, melalui sebuah keajaiban, Jaka Wulung dan Resi Darmakusumah sama-sama menerapkan ilmu andalan yang sama: gulung maung. Kujang Resi Darmakusumah berhasil merobek selendang Nyi Purwati, dan menembus ulu hati nenek siluman cantik itu. Pada kejapan yang sama, ujung kudi hyang di tangan Jaka Wulung menyayat perut Brahala. Nyi Purwati dan Brahala tumbang pada saat yang sama!
Akan tetapi, setelah itu, pertahanan Resi Darmakusumah benar-benar terbuka. Tenaganya seakan terisap habis untuk melakukan serangan terakhir. Secara beruntun, ujung-ujung pedang panjang di tangan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, yang juga mengeroyok Resi Darmakusumah, menembus tubuh sang Resi!
Jaka Wulung tidak sempat mendengar pekik kesakitan atau menyaksikan tumpahan darah gurunya. Saat itu, dia nyaris hilang harapan dan kesadaran sebelum seseorang—yang ternyata Resi Jaya Pakuan—menyelamatkannya.
Sepasang Rajawali.
Aku harus menuntut balas.
MATAHARI tergelincir di balik tonjolan salah satu puncak Gunung Sepuh. Hanya tersisa warna lembayung dan udara yang makin menggigit.
Akan tetapi, Jaka Wulung malah membuka bajunya, memperlihatkan dada yang semakin bidang dalam pertumbuhan tubuhnya. Dihirupnya napas, seakan-akan dia ingin merangkum semua udara di sekitarnya ke dalam dadanya. Matanya terpejam beberapa saat, merasakan rasa hangat yang pelan-pelan mulai memenuhi permukaan relung dadanya.
Dengan daya ingatnya yang luar biasa, setiap hari Jaka Wulung melatih semua jurus yang sudah dia baca dan hafalkan di luar kepala dari kitab-kitab yang diberikan Resi Jaya Pakuan.
Jaka Wulung sungguh bocah yang sangat beruntung.
Dia mendapat bimbingan langsung dari Resi Jaya Pakuan, pendekar legendaris yang sudah puluhan tahun, mungkin sekitar setengah abad, lenyap dari hiruk pikuk dunia. Pendekar yang lebih tersohor dengan nama Bujangga Manik.
Bulan purnama sudah lewat. Masih ditunggu beberapa lama munculnya bulan yang sudah mulai memipih di langit timur. Langit dipenuhi bintang-bintang. Jadi, sudah satu bulan lebih Jaka Wulung tinggal di pondok Resi Jaya Pakuan di puncak Gunung Sepuh. Dengan ramuan tetumbuhan yang tidak dia ketahui, yang selalu diberikan sang Resi setiap pagi dan malam, Jaka Wulung kini benar-benar pulih seperti sediakala. Racun maut dari ujung keris kusam Ki Wira alias Ki Cambuk Maut, sudah tak ada lagi bekasnya. Luka-lukanya pun sudah lama kering dan nyaris tidak menyisakan apa-apa di permukaan kulit tubuhnya.
Dengan rambut yang makin panjang, berkibar ditiup angin, Jaka Wulung sudah menjelma menjadi seorang pemuda.
Pemuda dengan kesaktian yang sulit dicari tatarannya.
Sebulan lebih itu pula, dia terus mematangkan kesaktiannya baik kecepatan, kekuatan, maupun daya tahan tubuhnya melalui ilmu gulung maung, warisan ilmu Prabu Siliwangi yang diturunkan lewat tangan Resi Darmakusumah, dan kini melalui guru Resi Darmakusumah sendiri, yang tentu saja tataran ilmunya tidak bisa lagi diukur oleh manusia biasa.
Demikianlah, tidak berapa lama kemudian, Jaka Wulung sudah bersimbah keringat memainkan puluhan, atau bahkan ratusan jurus tingkat tinggi. Ilmu gulung maung-nya menjadi lebih kaya setelah ditambah dengan jurus-jurus sakti yang dikembangkan sendiri oleh Resi Jaya Pakuan. Bahkan, kadang dipadukan dengan jurus-jurus gagak rimang yang dia serap beberapa waktu lalu dari murid-murid Ki Jayeng Segara.
“WULUNG,” kata Resi Jaya Pakuan. “Kau sudah menguasai ilmu yang kuberikan. Setidaknya, dalam hal tata gerak. Untuk mencapai tataran yang lebih lanjut, terutama mencapai taraf paduan gerak dan batin, kau tinggal mengembangkannya sendiri, melalui latihan dan pengalaman yang terus-menerus.”
“Ya, Eyang Resi.”
Senyap. Hanya terdengar gesekan dedaunan di luar pondok.
Jaka Wulung mendongak. Resi Jaya Pakuan memandang Jaka Wulung seakan-akan sedang mempertimbangkan suatu keputusan yang sangat berat.
“Apakah Eyang meminta saya segera turun gunung?”
Resi Jaya Pakuan menarik napas dalam. “Ke mana tujuanmu?”
Kali ini, Jaka Wulung terdiam beberapa saat. “Saya akan mencoba mencari orangtua saya.” Tapi, terasa nada keraguan dalam suaranya.
“Hanya itu?”
“Eeeh ... saya juga akan coba mencari ... Wulan.”
Resi Jaya Pakuan tersenyum di balik kumis dan janggutnya yang putih.