JAKA Wulung menuruni lereng timur Gunung Sepuh menuju kakinya. Menghadap matahari yang belum sepenggalah, langkahnya sangat ringan meskipun masih juga dilanda keraguan. Mulai dari mana aku akan mencari orangtuaku? Tanah Jawa Dwipa terlalu luas untuk ditelusuri.
Seingat Jaka Wulung, dia hanya mengenal daerah di seputar Ci Pamali, sungai yang pernah digunakan sebagai batas timur Kerajaan Sunda. Entah apakah di sebelah timur entah di sebelah barat sungai. Dengan demikian, Jaka Wulung tidak yakin apakah dia berasal dari Tatar Sunda atau dari Tanah Jawa. Dia merasa bukan orang dari Tatar Sunda, tapi juga bukan Tanah Jawa. Tapi, kerap kali pula dia merasa kedua-duanya. Dia merasa sebagai orang Sunda sekaligus orang Jawa.
Apakah dia akan kembali ke seputar Ci Pamali? Sungai itu cukup jauh di timur. Sementara itu, Pelabuhan Ratu tidaklah terlalu jauh di arah barat. Dadanya kembali disulut bara ketika mengingat nama itu: Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu.
Jaka Wulung memejamkan mata sebelum secara mendadak dia memutar arah perjalanannya.
Barat.
Kini, dia berada di lereng selatan. Tebing menjulang di sebelah kanan dan ngarai menganga di sebelah kiri. Tak ada jalan setapak. Jaka Wulung hanya berpedoman pada posisi matahari yang menimpa punggungnya. Dia juga mesti menyibak rerumputan atau menebas reranting perdu.
Akan tetapi, Jaka Wulung terhenti ketika tiba-tiba dia mendengar suara gemeresik dedaunan yang terinjak. Ditajamkan telinganya untuk menebak sumber arah dan jarak suara itu.
Di arah barat daya, kira-kira dua puluh depa.
Jaka Wulung melenting, meraih sulur yang menggantung di sebuah pohon, berayun maju meraih salah satu cabang pohon, kemudian meloncat dari cabang ke cabang dan meloncat hinggap dua langkah di depan seorang lelaki. Satu orang lagi berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Orang itu memandang Jaka Wulung dengan mulut ternganga dan mata membeliak. Wajahnya pucat seakan-akan darah tidak pernah sampai ke sana. Bagian celana di bawah perutnya tampak basah.
Akan tetapi, tiba-tiba orang itu menarik golok dari pinggangnya. Kemudian, dia berteriak dengan suara parau, “Jahannn ... nam! Ayo, serang!”
Golok itu memiliki bilah yang lebar. Bagian depannya mengilat memantulkan cahaya matahari, menandakan betapa tajamnya golok itu. Orang itu pun langsung menerjang Jaka Wulung dengan mengarahkan goloknya untuk menebas kepala. Orang yang ketakutan dan kemudian melancarkan serangan tidak lain adalah orang nekat. Dan, acap kali orang nekat akan melancarkan serangan dengan kekuatan yang lebih besar dari biasanya.
Wuuusss!!!
Benar saja, dari kesiur angin yang ditimbulkannya, nyata bahwa golok itu mengarah ke leher Jaka Wulung dengan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan yang bisa dilakukan manusia kebanyakan. Siapa pun yang terkena tebasan demikian, tentulah kepalanya akan menggelinding lepas dari leher.
Untunglah, Jaka Wulung adalah pendekar bocah istimewa, yang pernah berguru kepada Resi Darmakusumah, lalu mendapat kesaktian secara ajaib dari Prabu Niskala Wastukancana di Nusa Larang, dan baru saja mendapat kucuran ilmu dari pendekar legendaris Bujangga Manik.
Dengan menarik tubuhnya, Jaka Wulung dengan mudah menghindari serangan golok itu. Golok itu lewat hanya beberapa jari di depan leher Jaka Wulung, terus melesat dan menebas, hingga putung, sebuah cabang pohon sebesar betis orang dewasa. Orang itu tidak bisa menahan laju goloknya sehingga dia terbawa tenaganya sendiri. Golok itu akhirnya terlepas dari tangannya dan menancap di sebatang pohon. Orang itu pun hanya bisa jatuh terduduk dengan napas tersengal-sengal.
“Keparaaat!”
Jaka Wulung menoleh.
Orang yang satu lagi menyerbu Jaka Wulung dengan beliung besar teracung di tangan kanan. Mata beliung itu berkilat keperakan memperlihatkan sisi tajam yang menggiriskan. Tubuh orang itu lebih besar daripada temannya sehingga bisa dipastikan tenaganya juga lebih besar.
Dengan tiga-empat loncatan panjang, orang itu langsung menghunjamkan beliungnya mengarah ke kepala Jaka Wulung. Dari desir angin yang diakibatkannya, jelas betapa besarnya tenaga orang itu, dan bisa dibayangkan, kepala siapa pun akan langsung terbelah menjadi dua kalau terkena hunjamannya.
Akan tetapi, dengan enteng, Jaka Wulung hanya bergeser ke belakang pada saatnya dan mata beliung itu lewat di depan wajah Jaka Wulung. Angin yang ditimbulkannya sempat mengusap wajah Jaka Wulung dan kilau tajam beliung itu terpantul di matanya.
Jaka Wulung menarik napas dalam dan bersamaan dengan itu mata beliung orang tersebut menancap sedalam sejengkal di sebuah akar pohon yang menonjol di permukaan tanah. Orang itu berusaha menarik beliungnya yang tertancap. Tapi, meskipun dia sudah mengeluarkan segenap kekuatannya, beliung itu tetap tertancap di akar pohon.
Jaka Wulung melangkah mendekat. Tapi, kemudian, waspada ketika orang itu bangkit. Tapi, bukannya menyerang Jaka Wulung, orang itu jatuh di atas kedua lututnya.
“Ampuuu ... uuun ... ampuuun. Saya ... saya ....” Orang itu tidak meneruskan kalimatnya. Tampaknya kata-kata berjejalan di mulutnya, tapi tidak satu pun yang kemudian keluar dari bibirnya. Kepalanya lantas menghunjam ke tanah, mencium kaki Jaka Wulung.
Beberapa saat Jaka Wulung hanya bisa mematung. Apa yang membuat orang itu ketakutan setengah mati, menyerang dengan nekat, dan sekarang mencium kakinya seperti seorang pesakitan di hadapan hakim?
Pada saat itulah, orang pertama yang menyerang Jaka Wulung melarikan diri terseok-seok menuju lereng sambil berteriak minta tolong dengan teriakan yang parau. Jaka Wulung membiarkannya.
Jaka Wulung kemudian memandang dirinya sendiri. Dia hanyalah seorang bocah, bocah lima belas tahun, menjelang enam belas tahun, dengan celana pangsi hitam dan baju tanpa lengan yang juga hitam. Dia tidak membawa apa-apa, kecuali kantong kecil tempat menyimpan baju ganti serta sebilah pisau pangot. Kudi hyang, senjata pusaka Niskala Wastukancana yang dia terima melalui kejadian yang ajaib, terselip di balik bajunya. Sama sekali tidak kelihatan.
Jadi, apa yang membuat mereka ketakutan hingga terkencing-kencing?
Rambutnya memang tergerai panjang hingga melewati pundak. Kepalanya hanya diikat dengan selembar kain bando hitam. Rambutnya kadang berkibar-kibar ditiup angin dari gunung.