BULAN purnama sudah menggantung tinggi di langit timur, menenggelamkan cahaya kerlap-kerlip bintang. Langit sangat cerah. Awan-awan hanya seperti bercak-bercak kecil di seluruh bidang langit.
Akan tetapi, suasana mencekam makin mencengkeram perkampungan di kaki selatan Gunung Sepuh. Orang-orang tua, anak-anak, dan perempuan memilih berada di rumah masing-masing dengan pintu terkunci. Para pemuda yang memiliki keberanian lebih berjaga-jaga berkeliling kampung.
Seorang gadis sudah dipilih untuk “dipersembahkan” kepada siluman itu. Dengan hati yang sangat tegar, meskipun sempat meneteskan air mata, gadis itu bersedia menjadi tumbal bagi keselamatan perkampungan di sana. Dia pernah mendengar dongeng yang menuturkan gadis yang bersedia berkorban itu kelak akan hidup bahagia di alam yang lain. Alam yang penuh keindahan.
Yang paling berduka tentu saja adalah keluarga si gadis. Ayah dan ibunya. Gadis itu adalah anak semata wayang. Ibunya sampai histeris dan pingsan demi melihat anak gadisnya hendak menjadi persembahan.
Meskipun harapannya tidak terlalu besar, gadis itu, namanya Nyi Asih, berharap bahwa si bocah bisa menyelamatkan mereka. Bocah itu, kata orang-orang, adalah murid tokoh pendekar terkenal masa lalu, Resi Bujangga Manik. Meskipun entah sudah berapa lama menghilang, nama Bujangga Manik masih diingat sebagian masyarakat. Para orangtua masih kerap menceritakan sepak terjang Bujangga Manik. Sebagian cerita itu lama-lama sudah menjadi mirip dongeng. Dongeng tentang seorang manusia yang dianggap setengah dewa.
Jaka Wulung pun bertekad akan memberikan semua kemampuan yang dia miliki demi menyelamatkan perkampungan itu dan, terutama, masa depan si gadis.
Kini mereka, Jaka Wulung dan Nyi Asih, sudah berdiri menunggu di sisi timur kampung. Di sebuah lahan yang agak lapang. Di sanalah siluman itu akan menjemput si gadis untuk dibawa entah ke mana. Dari kejauhan, penduduk kampung memandang dari kerimbunan pepohonan dengan dada penuh ketegangan menunggu apa yang bakal menimpa mereka. Meskipun begitu, mereka sudah siap dengan segala perkakas tajam di tangan mereka masing-masing.
Sinar bulan yang jatuh miring menimpa wajah Nyi Asih.
Gadis itu memang cantik. Kulitnya kuning bersih. Hidungnya mungil mancung dan bibirnya merah merekah. Umurnya mungkin sebaya dengan Jaka Wulung. Kalau saja dia hidup di sekitar istana, pikir Jaka Wulung, gadis itu akan disangka sebagai putri kerajaan.
Malam merayap pelan. Bulan masih berjalan di antara bercak-bercak awan. Serangga malam terus melantunkan nyanyian.
Jaka Wulung memuji ketabahan Nyi Asih, yang sorot pandangannya tetap memancar tanpa kelihatan jeri atau takut.
Mendadak keadaan menjadi makin mencekam karena tiba-tiba serangga malam menghentikan nyanyian mereka. Suasana sunyi senyap. Bahkan, angin pun seolah ikut berhenti bertiup. Dedaunan pohon diam.
Lalu, terdengar bunyi aneh memecah kesenyapan. Bunyi itu terdengar seperti kaok burung gagak. Tidak. Mungkin lebih tepat seperti lengking burung hantu. Tidak juga. Suara itu mirip dahan kering yang patah.
Benar, suara itu memang berubah-ubah.
Dan akhirnya ....
“Kakakakakakakaaak ...!”
Suara tawa.
Tawa panjang yang membuat bulu kuduk meremang.
Pecah dan serak, seakan-akan keluar dari sebuah kerongkongan yang rusak.
Sebagian besar penduduk kampung gemetar ketakutan. Mereka yang berada di rumah lebih suka meringkuk di dalam kain sarung mereka. Mereka yang berada di luar hanya bisa menahan tubuh yang menggigil.
Hanya Jaka Wulung yang tampak tenang di tempatnya. Diliriknya Nyi Asih, dan tampak wajah gadis itu memucat.
Jaka Wulung menggenggam tangan gadis itu, mencoba memberikan kekuatan dan ketabahan. Kalau saja dalam suasana yang berbeda, tentu Jaka Wulung akan berdesir dadanya merasakan tangan halus si gadis.
Suara tawa menghilang dan keadaan kembali menjadi sunyi senyap.
Tiba-tiba, sebuah sosok tahu-tahu sudah berdiri di sebongkah batu belasan langkah di depan Jaka Wulung dan Nyi Asih. Cahaya bulan jatuh dari atas sehingga wajah sosok itu sama sekali tidak kelihatan jelas. Hanya rambutnya yang tergerai hingga pundak dan pakaiannya yang gelap.
Akan tetapi, Jaka Wulung bisa merasakan betapa tatapan sosok itu menusuk tajam seperti mata burung hantu, memandang ke mata Jaka Wulung tanpa berkedip.
Jaka Wulung balas menatap sosok itu, tanpa berkedip pula. Hanya ada sosok itu. Hanya ada wajah itu. Bahkan, hanya ada matanya.
Jaka Wulung merasakan arus gelombang panas yang memancar kuat, sangat kuat, dari kedua mata sosok itu. Pendekar bocah ini sempat terkejut beberapa kejap. Tapi, dia segera melawannya dengan merangkum hawa dingin di sekitarnya, yang disalurkan melalui pancaran matanya.
Dua gelombang beradu di udara malam yang mencekam.
Gelombang yang saling berlawanan—panas dan dingin.