Empat bulan hujan tak pernah berhenti, akhirnya BMKG menyerah. Dengan terburu-buru mengklarifikasi temuan LIPI yang mengabarkan sedang terjadi perubahan cuaca ekstrim di semua wilayah dekat khatulistiwa. Termasuk Jakarta.
Hujan terus-menerus membuat Jakarta lumpuh. Pembangunan berhenti. Waduk-waduk, embung dan situ-situ di wilayah sekitar Jakarta tak mampu menampung limpahan air berlebih. Air dari Bogor menambah volume banjir, belum lagi air rob dari Teluk Jakarta.
Listrik padam di kawasan perumahan di Pluit yang terendam sampai masuk lantai dua. Tim SAR dan PMI bergerak bersama tentara membantu korban banjir. Korban mulai berdatangan ke rumah sakit. Kabar orang melihat buaya putih di Kali Ciliwung meyakinkan olok-olok orang LIPI sekian bulan sebelumnya, bahwa bencana mematikan mengancam Jakarta. Alasan kabar itu tinggal jadi rumor karena bisa membuat masyarakat panik, kini dipatahkan oleh alam sendiri. Sebelum lebih terlambat, semua harus tahu dan bersiap.
Tetapi pengumuman BMKG yang heboh itu tak ubahnya slogan kampanye, meminta perhatian tanpa gambaran yang lebih spesifik. Warga terlanjur percaya sungai-sungai dan kanal-kanal yang rutin dinormalisasi bisa mengalirkan air sebanyak apa pun. Seperti himbauan jangan buang sampah ke sungai, semua yang berbau aturan memerlukan ancaman dan waktu sosialisasi.
Sekian lama sebelumnya terjadi hujan meteor, ekor dari sebuah komet yang melintas dekat bumi menghumbalang satelit-satelit. Sedang diperbaiki dengan kerjasama negara-negara sahabat untuk meminjam sumber daya satelit yang masih bertahan. Sinyal telekomunikasi tetap saja tidak bagus. Karena ion-ion di awan dan udara di bawahnya mengganggu sinyal. Cuaca mengacaukan gelombang. Baru gangguan inilah, bukan karena banjir, orang-orang mulai panik. Dan himbauan apa pun mulai didengar.
Rumah Sakit St Theresia, berada di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, berlantai lima dan punya 200 bed menerima korban banjir dengan berbagai keluhan dari muntaber, tipus sampai tetanus. Tapi tak ada orang di rumah sakit menyadari bencana bakal jadi lebih besar. Dan rumah sakit tidak bisa meminta mereka yang sudah sembuh untuk pergi menantang banjir. Karenanya kotak berongga-rongga dengan lima lantai itu sudah jadi seperti penjara. Orang datang tapi tidak kembali ke luar.
Hari ini Ari Yogananda Prayogo, manajer keamanan pusat perbelanjaan Hypher Centurium di Penjaringan Timur, datang membawakan coklat untuk kekasihnya yang seorang perawat. Tidak tanggung-tanggung, satu kardus coklat batangan.
“Sepertinya kau akan kesulitan ke luar rumah sakit. Dan aku juga akan kesulitan bolak-balik menembus banjir,” katanya.
Amanda, perawat itu, tak menyahut. Ia masih memikirkan coklat sekardus yang mengarungi banjir sampai di tangannya.
“Jangan terlalu memaksakan diri, Amanda. Tidak ada orang yang tidak butuh istirahat,” bujuk Ari menahan sakit kakinya, terkilir waktu di jalan. Urat yang menegang itu sudah diboreh salep. “Dokter Gunadi. Aku ingin menemuinya. Di mana beliau?”
Amanda bangun dari lamunannya.
“Dokter Gunadi? Tadi ada korban penikaman masuk.” Amanda melihat jam di atas pintu ruangan. “Sejam lalu. Beliau mungkin masih di ruang bedah.”
“Masih ada juga kejahatan di tengah bencana begini.”
Amanda membuka sarung tangan plastiknya. Diambilnya satu batang coklat dari kardus yang dibuka Ari.
“Kau juga berhati-hatilah. Jaga kesehatan,” kata Amanda, ia menggigit coklatnya.
“Ya. Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir.”
Dokter Gunadi muncul tanpa mengetuk daun pintu lebih dulu.
Melihat Ari ada di dalam, Dokter Gunadi menyapanya dan segera membuka sarung tangannya. Cepat Ari mendahului dokter itu mengulurkan tangan.
“Sudah mulai jarang istirahat, Dokter?” tanya Ari berbasa-basi. Ia senang melihat dokter masih kelihatan sehat, seperti masih usia tiga puluhan. Sudah sekian bulan tidak bertemu.
“Benar. Banyak pasien datang. Macam-macam juga keluhannya. Tetapi lebih banyak orang sehat masuk. Keluarga pasien, juga pengungsi dari lingkungan sekitar,” jawab Dokter Gunadi dengan tertawa kecil. Tawanya sebentar, seolah hanya pelampiasan dari ketegangan mengoperasi anak yang ditikam tadi. “Maaf, Amanda jadi kami libatkan di sini lebih lama.”
“Susahnya saya belum jadi suaminya, jauh pula dari sini, tak bisa menjaganya. Saya belum punya hak melarang, Dokter.”
“Bagaimana anak itu, Dokter?” tanya Amanda mengalihkan pembicaraan. Ia membungkus ujung coklat yang sudah separuh digigitnya, memasukkannya ke kantong seragam perawatnya.
“Tiga tusukan. Ya Tuhan,” dokter mengurut dadanya. “Sulit masuk rumah sakit di waktu banjir begini. Jalanan macet. Beruntung dia punya tubuh yang kuat. Dan yang membawa ke sini tahu P3K. Dia sumbat lukanya dengan benar.”
“Jadi anak itu sembuh?”
“Perlu tiga hari istirahat,” tambahnya. Seperti diingatkan, dokter bertanya, ”Kita masih punya berapa bed, Amanda?”
“Lima lantai. Seluruhnya terisi penuh. Kita kehabisan brankar. Cadangan sudah dipakai. Tapi kalau benar-benar diperlukan, dan memaksa, barangkali tempat tidur untuk para perawat bisa dipakai. Kalau semuanya mengijinkan, tentunya.”
Dokter berjalan ke arah jendela. Dilemparnya pandangan ke luar. Jalanan macet. Banjir sudah setinggi spion mobil. Dokter mengingat lagi prediksi dari BMKG yang mengulang-ulang pengumuman, bahwa banjir mungkin bisa menenggelamkan Jakarta.
Dokter memikirkan pengumuman-pengumuman itu yang begitu tiba-tiba. Ia tahu pemerintah enggan berspekulasi, meski diyakinkan dengan instrumen dari lembaga penelitian resmi juga. Memberitahu warga apa yang mungkin akan terjadi, bisa membuat kekacauan. Keamanan akan sulit dijaga. Toh tidak ada yang tahu sebuah prediksi akan benar terjadi. Setiap angka peluang akan menyelipkan derajat eror. Jika benar hujan akan mengguyur kota sampai setahun lamanya, apa yang perlu disiapkan seorang dokter? Apa yang perlu disiapkan oleh rumah sakit?
“Dua hari ini aku tidak ke lantai atas. Apa kau melihat semua lantai rumah sakit, Amanda?”
“Maksud, Dokter?”
“Tidak adakah lagi ruangan seperti ini? Ruang perawat dan dokter di lantai-lantai atas? Kita harus bersiap untuk datangnya bencana. Kita akan mengatur ulang, untuk pasien yang akan terus bertambah. Dan nanti jika ada wabah penyakit menular seperti muntaber, atau penyakit menular lain dari pasien yang datang, kita akan butuh ruang karantina.”
“Setiap lantai ada dua ruang, untuk dokter dan perawat serta staf medis lain. Ukurannya sama seperti ini, Dokter,” Amanda menunjuk dengan anggukan wajahnya. “Tapi kalau bencana sebesar yang diberitakan, kita juga harus memindah apotik dari lantai satu. Dan tetap saja akan semakin kekurangan ruangan.”
“Apa tidak kita pindah juga ruang lab, ruang entah apa yang punya peralatan medis besar-besar?” Ari ikut memperlebar pandangan. Tetapi sadar ia orang luar, segera meralat ucapannya. “Eh. Maaf, Dok. Aku jadi ikut campur.”
Dokter menoleh. “Terimakasih atas perhatianmu.” Dokter kembali pada perawat muda Amanda. “Kita, semua staf medis di rumah sakit akan bertemu di ruangan ini. Kita telah cukup yakin situasi di depan seperti apa. Kita akan bahas prosedur penanganan rumah sakit di masa bencana. Soal-soal teknis darurat apa yang mungkin kita hadapi nantinya,” katanya.
Amanda dan Ari melihat wajah dokter berubah muram. Seperti tahu kerisauannya dibaca dua anak muda ini, dokter berbalik, ia menangkap pantulan samar pada kaca jendela, bayangan dirinya dan Amanda di belakang.