Jakarta 18m

gatot prakosa
Chapter #2

#2

Hujan seperti hendak menyatukan langit dengan bumi. Ia tak berhenti dengan kedatangan dan kepulangan matahari yang tak pernah benar-benar muncul. Seolah di langit ada keran air yang lupa ditutup Tuhan. Air menyembur mengisi awan sebagai kolam raksasa, tapi sayang kolamnya bocor.

Jalan depan rumah sakit yang sebulan kemarin masih macet, ramai oleh klakson dan teriak kondektur angkutan umum, sekarang berubah sepi. Seperti ulah Iblis mengambil semua keramaian hidup sepotong jalan. Hanya sekali waktu lewat perahu karet dan perahu kayu. Kesibukan evakuasi warga ke tempat pengungsian.

Sekarang tinggi air melewati atap bus kota. Sementara di dalam rumah sakit, banjir menggenangi separuh tinggi lantai dasar.

Hari ini genap satu bulan sejak Ari Yogananda membawakan Amanda sekardus coklat. Amanda khawatir. Tidak tahu apakah lelaki itu bisa sampai ke tempatnya bekerja sekembalinya dari rumah sakit. Tiap kali ingat, Amanda mendoakannya, dan ia mesti menenangkan sedihnya. Karena meskipun selamat, banjir masih akan menghalangi pertemuan.

Semua aktivitas di lantai dasar rumah sakit sudah pindah ke lantai atas. Banyak peralatan medis berukuran besar dan berat tak bisa dinaikkan. Brankar sudah berhasil naik lewat lift sebelum akhirnya lift kehilangan sumber listriknya. Sementara di luar gedung, langit tak berhenti memuntahkan air.

Amanda sedang istirahat sore. Ada bantuan tenaga medis dari puskesmas sekitar yang sudah dipindahkan karena banjir. Sebagian besar tenaga medis di puskesmas mendaftar ikut evakuasi bersama keluarganya dari data warga RT tempat masing-masing tinggal. Mereka ikut mengungsi bersama keluarga, sebagian membantu tenaga medis di posko pengungsian. Hanya lima tenaga medis yang membebaskan diri dari keluarga, datang ke rumah sakit, mengajukan diri membantu sampai nantinya akan ikut evakuasi dari jalur rumah sakit.

Dua dokter umum dan tiga perawat. Amanda senang ia jadi punya waktu untuk istirahat.

Ia sedang berdiri di belakang jendela lantai lima, lantai paling atas Rumah Sakit St Theresia, memandang Jakarta. Lesatan hujan tak setebal pagi tadi. Langit selalu mendung, hujan tak pernah menguras isi awan. Lampu dari gedung-gedung di depan sudah menyala. Terangnya tak menyatu. Cahayanya seperti berserakan di atas kain hitam. Siluet jalan MRT jadi pembatas gambar kota di bawahnya. Hanya gedung-gedung lebih dari lima tingkat yang menjulang di atas garis siluet itu.

Amanda senang memandangi jalan layang untuk kereta cepat itu, karena tampak gagah. Ketinggiannya menginterfensi, menembus keasingan gedung-gedung antah berantah. Kehadiran kereta itu membuat orang-orang, dari segala lapisan, bisa berada di gedung perkantoran modern.

Amanda ingat pernah naik kereta dan turun di stasiun di satu gedung seperti itu. Hawa dingin dari pendingin ruangan menyergapnya begitu turun dari kereta. Tidak ada hiruk pikuk lalu lintas dan kesan acuh dari orang yang turun atau menunggu kereta atau yang bekerja di gedung itu, seperti mengatakan kalau stasiun itu bebas pengganggu. Semua orang sibuk dengan pekerjaannya.

Kini tiang-tiang penyangga jalan kereta itu sudah seperlima bagiannya tenggelam oleh banjir. Di bawahnya terkumpul sampah yang terbawa arus dan berkisar di situ. Di antara sampah itu, Amanda melihat bagian atap mobil, dua atau tiga buah. Sebuah kecelakaan seminggu lalu, dan mobil ditinggalkan.

Ia percaya kini, laporan Basarnas yang mengabarkan jumlah korban jiwa akibat banjir sudah mencapai lebih dua ratus orang.

Banjir setinggi itu, Amanda merasa aneh masih berharap kekasihnya datang. Karena sebenarnya hari ini Amanda berulang tahun. Ari melupakan hari perayaan. Dan Amanda tidak akan memberitahukan. Ia bayangkan Ari datang sore hari, membuat kejutan, seperti kemarin dengan coklat satu dus. Tetapi hujan dan ketinggian banjir seperti itu, rasanya tak mungkin ia bisa datang.

Amanda melihat jam tangannya. Pukul lima lewat lima puluh menit.

Ia harus kembali ke tempatnya, mengerjakan tugas rutinnya. Ia bertaruh dengan dirinya sendiri, berapa jumlah pasien baru yang datang selama ia istirahat. Lima? Sepuluh? Dua puluh?

Amanda ingat, obat-obatan tambahan belum datang juga. Sudah seminggu permintaan dilayangkan. Kalau masih menunggu seminggu lagi, akan ada pasien yang mesti menunggu obat. Bagaimana kalau lebih lama lagi?

Lihat selengkapnya