Jakarta 18m

gatot prakosa
Chapter #3

#3

Muka air sudah lebih tinggi lagi, tapi masih di bawah lantai dua. Bantuan yang datang lewat perahu, kesulitan untuk masuk gedung. Pintu lantai dasar sudah ditelan banjir, sedang lantai dua masih satu meter di atas permukaan air.

Kemarin dua prajurit TNI dari divisi Zeni datang ditugas-perbantukan di rumah sakit. Begitu sampai, mereka hancurkan dinding dan jendela lantai dua yang paling menjorok ke luar, jadi pintu ke luar masuk. Juga membuat pagar agar sampah tak masuk rumah sakit. Dan pagi tadi dibuatlah dermaga darurat yang terapung menyesuaikan tinggi air. Itu membuat perbedaan tinggi lantai dengan tinggi air dapat teratasi. Orang bisa melangkah di situ masuk ke Rumah Sakit St Theresia.

Hari ini istri Dokter Gunadi datang bersama puteri bungsunya yang masih pelajar sekolah menengah. Dengan sampan kecil yang dikemudikan seorang pemuda. Menembus dinding sampah, sampai di depan dermaga.

Dermaga kecil buatan prajurit bagian zeni, amat membantu. Perahu ditambatkan. Kedua orang penumpangnya berdiri, menempatkan kakinya hati-hati memijak dermaga dari rangkaian bambu dan papan yang bagian dasarnya disambungkan ke tong-tong berisi udara, yang membuatnya mengapung. Orang membantunya berdiri dan melangkah.

Dokter Gunadi melihat keluarga kecilnya datang, mematut-matut sekedarnya dengan menepis di sana sini seragam dokternya, seolah dengan begitu debu dan bau keringat terseka darinya. Begitu tiba di lantai rumah sakit, Dokter Gunadi memeluk keduanya.

Amanda melihat dari kejauhan di tengah pekerjaannya mencatat. Ia membayangkan perempuan itu datang meminta suaminya untuk ikut evakuasi bersama. Sebuah perbincangan yang berat. Amanda yakin dokter senior ini tidak akan beranjak dari rumah sakit kecuali tak ada lagi pasien yang mesti diurusnya.

Amanda ingat Ari. Bagaimana jika Ari datang dan meminta Amanda ikut evakuasi ke luar Jakarta? Bagaimana ia akan menjawabnya? Sanggupkah lelaki itu ke luar Jakarta tanpa dirinya? Sanggupkah dirinya memilih antara rumah sakit dengan lelaki itu?

Dokter Gunadi bersama istri dan anaknya berdiri, menoleh sekeliling. Sesekali menyapa orang-orang yang lewat dan memperhatikannya.

Amanda terkesima. Meski tahu Dokter Gunadi tak akan pergi, perpisahan itu menyentuh Amanda. Ia sedih ini terjadi. Banjir membuat mereka yang saling menyayangi berpisah. Sebagaimana dirinya dengan lelaki itu.

Ari. Bagaimana kabarnya? Apakah banjir menelannya? Tewaskah ia? Tak ada berita. Tak ada cara kabar bisa tersampaikan.

Dokter Gunadi memeluk anaknya, lama. Amanda memandang dengan perasaan haru dan iri.

Pemandangan itu menyentuhnya. Ia bangga pada dokter tua yang sudah dianggapnya ayah ini. Ia memilih tinggal demi orang-orang daripada seseorang yang sudah mengawaninya bertahun-tahun, dan di antaranya tentu ada waktu di mana ia bahagia ada seseorang menemaninya, membangkitkannya.

Sampan kecil itu bergerak menjauh. Amanda tak sadar menitikkan air matanya. Meski tak dapat melihat raut wajah istri dokter, ia bayangkan air mata yang ditahannya dari pandangan suaminya.

Di kejauhan, perempuan yang sudah berumur itu melambaikan tangan. Sebuah lambaian. Seperti meneguhkan dirinya sendiri, kesiapan untuk berpisah lama, barangkali selamanya.

Lima puluh empat, usia Dokter Gunadi. Amanda pernah mendengarnya ketika pertama ia menemui dokter itu.

“Suster,” panggil seorang anak perempuan yang terbaring bersama dua anak lain di sebelahnya. Amanda menoleh.

Ia tersenyum. Termometer yang tadi di ketiak sudah di genggaman anak itu. Amanda mengambilnya, mengguncangnya memastikan sudah di bawah 35 derajat, hendak diselipkan lagi ke ketiak anak itu.

“Apakah di luar sudah tidak hujan, Suster?” tanyanya.

“Ada apa, Sayang?” tanya Amanda.

“Kakak mau ke sini, kata Ibu, tapi banjir menghalangi,” kata anak itu. Kesedihan dan kebingungannya terbaca Amanda. “Kalau air sudah surut, dia pasti segera ke sini.”

“Ibu di mana?”

“Di luar. Tadi katanya mau beli makanan.”

Amanda menahan lukanya. Ia berdoa agar anak perempuan ini bisa beradaptasi dengan kondisinya di dalam bencana. Anak ini tak boleh sendirian. Amanda berharap ibunya sehat dan benar-benar pergi untuk suatu keperluan dan akan kembali. Ia terpukul pertama tahu ada pasien anak-anak, yang ditinggalkan orang tuanya, karena merasa tak mampu mengurus begitu banyak masalah, merasa tak punya apa-apa. Banjir di luar, masuk ke dalam pikiran orang-orang. Banjir membuat bencana lebih menghancurkan, menghanyutkan harapan dapat bertahan, akalnya terguncang melihat kehidupan yang diakrabinya lenyap.

Seorang ibu atau ayah barangkali tak masuk akal membiarkan anaknya sendirian di rumah sakit. Nyatanya banyak sudah kejadian begitu. Mereka umumnya percaya rumah sakit akan merawatnya. Dan mereka merasa tak berguna terus di rumah sakit yang semakin penuh.

Belum lama seorang pasien anak-anak, persis keadaannya, ditinggalkan orang tuanya, terjun ke bawah. Entah apa yang membuatnya begitu. Anak-anak, kenapa bisa memikirkan bunuh diri? Amanda tak yakin apa benar pikiran anak-anak bisa sampai ke arah sana. Kejadian itu benar-benar membuat syok semua staf rumah sakit.

Amanda memikirkannya. Itu seperti mengingatkannya bahwa masa kecilnya sendiri berada di panti asuhan, tak tahu ayah ibunya. Tapi setidaknya ia beruntung tak punya kenangan tentang orang tua. Sementara anak itu akan hidup bersama kenangan pada rumah yang hangat dan kasih sayang keluarga. Itu kemalangan yang besar.

Ia mengecup kening anak perempuan di depannya. Tak boleh berlama-lama di dekatnya, tak akan bisa ia menahan tangisnya. Ia beranjak, berlari ke bilik perawat. Menangis ia di sana. Teman-teman perawatnya berusaha menghibur, meyakinkannya bahwa itu bukan lagi tanggung jawab seorang perawat.

Lihat selengkapnya