Jakarta 18m

gatot prakosa
Chapter #4

#4

Air sudah nyaris masuk lantai dua. Hujan berhenti. Matahari bercahaya redup. Mobil-mobil yang kemarin masih mengambang di jalanan sudah tidak terlihat lagi, bergeser atau tenggelam.

Amanda bersama Dokter Gunadi dan Dokter Hengki memandang Jakarta dari atap rumah sakit. Tidak ada petugas PLN lagi. Instalasi sudah terpasang di pojok barat laut, berbentuk rumah-rumahan.

“Dengan begini, Jakarta terbebas dari polusi,” seloroh Amanda bergurau. Pandangnya masih ke selatan, pada sebuah pelangi. Burung-burung terbang di atap-atap gedung di sana juga, seperti merayakan suka cita karena hujan akhirnya berhenti. Sekali-sekali suara cicit burung sampai ke telinga Amanda. Itu seekor burung yang bermain di sisa serangkum ranting dan dedaunan paling tinggi dari pohon di halaman rumah sakit. Kehidupan di luar gedung, sisa dari dunia yang diingat dan sedang dilenyapkan itu membuatnya terpukau. Sudah lama tak pernah mendengar suara selain suara rumah sakit, hujan dan guntur. Burung kecil itu di hati Amanda adalah burung yang sama pernah mengantar Yesus naik ke langit. Ia datang dari surga turun ke bumi untuk meneguhkan manusia agar imannya tidak dikacaukan banjir.

Amanda jadi bergidik terharu. Ia akan bersabar. Apa pun yang akan dihadapi. Dan berharap pertolongan Tuhan, selalu mengingatkan dirinya dengan mendatangkan suara-suara seperti suara burung itu.

Dokter Gunadi mengambil permen mentol di sakunya. Diambilnya satu, lalu menawarkan sisanya kepada dua orang di dekatnya.

“Tidak benar idiom yang mengatakan orang Jakarta itu egois. Yang benar Jakarta menarik orang untuk egois. Tetapi tak selalu benar juga. Nyatanya di kampung-kampung padatnya, masih ada sapaan, orang-orang bertemu di pasar, mengobrol di depan rumah. Dengan caranya sendiri orang Jakarta menjaga kekeluargaan. Mereka bisa saling bantu di dalam bencana,” seloroh Dokter Gunadi.

“Banjir meninggikan orang-orang yang ada di bawah,” kata Dokter Hengki. Ia terbatuk dua kali. Lanjutnya, “Sepertinya pertemuan itu mungkin.”

Kata-kata itu mengemban dua maksud yang berbeda. Amanda menangkap keduanya, tapi ia diam saja.

Amanda memandang ke bawah. Sebuah perahu mengarah ke rumah sakit. Pasien baru. Berapa banyak lagi pasien dan pengungsi yang datang bisa ditampung gedung yang sudah kehilangan satu lantai? Kalau besok banjir masuk lantai dua, orang-orang di lantai dua akan naik ke atas. Kamar dan lorong akan penuh. Yang sakit akan bercampur dengan yang sehat. Belum lagi peralatan medis di lantai dua yang tersisa, jika mesti diungsikan ke atas juga. Mau ditempatkan di mana lagi?

“Pemerintah mengapresiasi Apindo yang membuka banyak gerai toko makanan, minuman dan perlengkapan hidup di Jakarta. Posko pengungsian harus mengambil dan memanfaatkannya,” kata Dokter Gunadi.

“Apakah sinyal telepon seluler sudah bisa dipakai?” Dokter Hengki mencari hp di sakunya. Tidak ada. Ia sudah meninggalkan hp entah di mana sejak pertama diberitahu sinyal telpon seluler bermasalah.

Amanda mengambil hp. Mengetik angka-angka di keypadnya, dan mendengarkan. Kedua dokter memperhatikannya.

Sekian lama Amanda menunggu, ia mengetik lagi dan kemudian diangkatnya ke telinga.

Ia menggelengkan kepala, memasukkan hp ke saku celananya.

Lihat selengkapnya