Pagi hari dibangunkan oleh kabar seorang pasien meninggal. Demam tinggi semalam. Staf medis tak bisa menyelamatkannya.
Tidak ada ruang penyimpanan mayat setelah lantai satu tenggelam. Sekarang setelah lantai dua juga mesti dievakuasi, mayat-mayat yang semula diletakkan di ruang khusus sebelum sempat dievakuasi ke luar, sekarang akan diletakkan di lantai ruang staf medis saja.
Amanda baru selesai mandi dengan air seadanya, sekarang merias wajahnya sebentar. Lewat cermin kecil dari wadah bedak, ia melihat kantong plastik besar berwarna hitam di lantai, di pojok ruang.
Ia menoleh, memandang kantong plastik yang menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Kantong plastik besar berwarna hitam itu mengesan di pikirannya. Baru ingat, memang dini hari ada pasien meninggal dunia dan dibawa ke situ. Untung saja kali ini restluting kantong plastik itu ditarik dengan baik, dapat menyembunyikan tubuh di dalamnya.
Kemarin orang dengan sembrono tidak menarik restluting kantong mayat dengan baik, mayat tidak tertutup secara sempurna. Wajah orang mati itu membekas di ingatan para perawat yang melihatnya sebelum ditangani, termasuk Amanda. Sebenarnya para perawat tidak setuju kalau mereka mesti berbagi ruangan dengan mayat-mayat. Tapi mau apa lagi. Tak ada ruang tersisa. Semua orang sudah menjejali ruang-ruang. Sementara membiarkan mayat-mayat di lorong, tentu akan membuat lebih banyak orang terganggu. Setidaknya sampai ada petugas yang mengeluarkannya dari rumah sakit.
Seorang perawat muncul bersama Dokter Rohadi. Keduanya masuk dengan pembicaraan yang bernada keras. Perawat senior itu hanya melirik sekilas ketika tahu ada Amanda di situ. Amanda sendiri tidak tahu, apakah perawat itu benar-benar melihatnya tadi.
“Dokter, saya berani sumpah. Tadi malam dia drop, mengeluh pusing sekali. Dan saya mengikuti saran Dokter untuk memberinya Diuretik,” katanya kepada dokter.
“Tapi obat itu sudah antihipertensi kuat. Apa kau sudah cek lagi tekanan darahnya sebelum berikan itu?” sahut dokter dengan nada ketus.
Amanda mengenali dokter itu. Tenaga medis sukarelawan dari puskesmas.
“Beruntung cepat ditangani. Hati-hatilah. Seorang dokter juga manusia yang bisa lelah. Bisa salah dengar, bisa salah baca. Kau kan yang mengukurkan tekanan darahnya. Ingatkan saya kalau salah. Tidak apa-apa.”
Amanda pikir kedua orang itu tahu ia ada di ruangan ini. Ia tak mau ikut campur. Tapi terlanjur datang bayangan dalam pikiran Amanda, seorang pasien yang keracunan obat. Ia jadi ingin tahu siapa pasiennya. Apakah ia mengenalnya?
Memperlambat berbedak, tetap saja tidak ada nama terlontar. Jengah menunda ke luar lebih lama lagi, Amanda menutup cerminnya, meletakkannya ke dalam lemari. Ia beranjak ke luar.
Sebelum menutup pintu, ia menoleh pada kedua orang yang terpaku, seperti baru tahu ada orang lain di situ. Amanda mengangkat sebelah tangannya, menggerakkan jemarinya dan melempar senyum.
Sampai di depan, di pos perawat, ia dapati banyak orang merubungi seorang perawat jaga. Ia kenal, keluarga dari beberapa pasien. Ia pikir ini soal keluhan lagi, seperti biasa.
“Tenang Bapak Ibu sekalian, jangan kuatir. Semua akan dievakuasi. Tetapi tidak bisa langsung semuanya, karena mereka tidak punya kapal Nuh yang bisa masuk kota!” seru perawat.
Amanda menangkap alasan kerumunan itu. Dikiranya tadi, ini ada hubungannya dengan peristiwa salah obat.
“Mohon maaf, Ibu-ibu dan Bapak-bapak. Kami usahakan semua kebutuhan hidup dicukupkan. Kami juga tak berdaya menghadapi bencana ini. Kami sama jadi korban. Sama seperti Bapak dan Ibu semua. Kami tidak bisa berkumpul dengan suami dan anak kami. Jadi mohon bersabar. Mari kita semua saling bekerjasama menghadapi banjir ini.”
Orang-orang agak tenang. Tinggal beberapa yang masih berbisik-bisik. Amanda menangkap kesan, emosi orang-orang dapat diluluhkan. Ia gembira. Tetapi orang-orang ini masih bertahan di tempat.
“Kami akan merebut tempat itu. Ini hak kami untuk hidup!” seseorang yang masih tak puas berteriak lantang di depan perawat yang mendadak pucat. Untung saja orang itu segera berlalu setelah menggertak begitu. Amanda melepaskan nafas setelah tertahan tadi. Tak sadar tangannya menggenggam tangan temannya. Ia tahu sebagaimana dirinya, cemas akan penerimaan orang-orang atas dedikasi mereka sebagai perawat.
“Mbak. Mereka tidak pernah melihat apa yang kita saksikan. Mereka tak melihat kematian dari dekat. Dan sekarang mereka dipaksa menghadapinya, itu tentu mengejutkannya,” hibur Amanda juga untuk menenangkan dirinya sendiri. “Suatu hari nanti mereka akan menyadarinya, apa yang sedang terjadi dan tahu bagaimana bersikap.”
“Terimakasih, Amanda. Terimakasih kau ada di sini.”
Kedua perawat itu saling dukung. Mereka pulih. Sebagian orang masih berdiri di depannya saling berdebat sendiri.
Amanda belum melihat ketinggian air pagi ini. Kemarin sore air masih setengah jengkal masuk lantai dua. Kalau sepanjang malam tadi hujan, barangkali air sudah tambah seruas jari tangan.
Terdengar suara teriakan dari arah tangga hubung ke lantai bawah. Orang-orang yang bertahan di depan pos perawat bergegas pergi mengikuti arah suara. Amanda dan teman perawatnya melihat orang-orang berebut turun ke lantai dua. Sampai mereka di bawah, bertemu Dokter Gunadi yang mengatur kerumunan.
Air memercik, anak-anak melompat-lompat dengan asik.
Amanda tak bisa melihat karena terhalang orang-orang. Tetapi ia tahu itu pasti tim SAR, bukan mayat yang menyasar ke rumah sakit.
Benar, tim SAR datang. Mereka sedang menghalau sampah yang memagar rumah sakit. Orang-orang berebut tempat di pintu. Akan ada evakuasi setelah bantuan bahan makanan dan perlengkapan hidup lainnya diturunkan.
Terbuka sedikit ruangan di perahu setelah satu tumpukan ke luar, orang-orang berebut naik. Personel SAR menarik orang itu kembali dan memberi peringatan. Barang-barang belum semuanya turun.
Dokter Gunadi menarik tangan Amanda, membawanya ke atas. Menghalau orang-orang yang turun ke lantai dua. Kardus-kardus mengalir dibawa secara estafet ke atas.
Amanda ragu karena tak tahu maksud dokter mengajaknya. Baru tahu ia setelah Dokter Gunadi berjongkok di depan seonggok plastik berisi mayat. Dengan bantuan dua orang pemuda, Amanda dan Dokter Gunadi menggotongnya ke bawah.
Orang-orang yang memenuhi tangga dan lantai dua menyingkir setelah tahu apa yang digotong ke pintu. Anak-anak menjerit.
Tentara di perahu tim SAR seperti ragu-ragu menerima atau menolak mayat itu. Amanda bisa melihatnya.
“Kami tidak punya tempat di rumah sakit,” kata Dokter Gunadi agak menghiba.
“Daripada untuk orang mati, biarlah selamatkan dulu orang yang masih hidup.” Bukan tentara itu yang menjawab, tapi seseorang yang ikut merubung di pintu. Orang-orang menyoraki, membenarkan temannya.
“Ya, benar. Orang mati tidak perlu diselamatkan.”
“Akan bau kalau hari ini tidak disingkirkan. Banyak orang sakit di sini,” kata Amanda ikut meyakinkan.
“Biarlah rumah sakit untuk orang yang masih hidup. Kami butuh tempat,” tambah Dokter Gunadi.
Tentara itu menerimanya. Dengan enggan ia mengambilnya dan meletakkan di tengah perahu.
Seperti biasanya, pasien dan keluarga yang akan dievakuasi dipilih lagi. Mereka yang tua dan anak-anak diprioritaskan. Kembali kericuhan terjadi. Pengungsi dari warga sekitar yang sehat minta didahulukan. Anak-anak yang menangis, orang-orang yang tak mau dipisahkan. Amanda mesti menahan sedihnya menyaksikan lagi harapan yang tak diijinkan untuk orang-orang yang mesti tinggal.
Amanda tahu, dokter tak akan mampu mengatur. Terlalu kacau. Apalagi para pengungsi, mereka yang datang bukan untuk berobat merasa terjebak di rumah sakit.
Saling desak dan jegal membuat seseorang terjatuh ke dalam banjir di dekat perahu. Tim SAR cepat membantunya naik.
Orang sudah asal saja menunjukkan jari ketika nama-nama yang terpilih dibacakan. Petugas tim SAR geleng-geleng kepala.
Berbeda dari evakuasi sebelumnya, sekarang orang lebih suka ke luar rumah sakit. Pikirnya asal sudah di dalam perahu, hidupnya lebih terjamin bersama tim SAR, karena mereka orang-orang yang berdedikasi menyelamatkan orang. Keselamatan jiwa lebih penting daripada kesehatan, begitulah pandangan yang berlaku umum. Begitu duduk di dalam perahu, orang-orang menjauh-jauhkan diri dari mayat yang terbungkus kantong plastik.
Dua puluh lebih orang, semestinya, berangkat evakuasi tadi.
Daftar yang dipakai Dokter Gunadi jadi tak berguna. Orang-orang tak bisa ditertibkan, ia kewalahan.
“Beginilah, Dokter. Kita tak punya energi mengatur semua hal,” kata Dokter Hengki kepadanya. “Sekarang kita perlu memindahkan semua orang dan semua perlengkapan medis yang tersisa ke lantai tiga.”