Jakarta 18m

gatot prakosa
Chapter #6

#6

Empat hari, evakuasi lantai dua dianggap selesai. Hanya empat brankar, seratusan kasur sudah naik serta mesin-mesin dan peralatan medis yang paling dibutuhkan dan bisa didorong angkat sudah naik juga. Selain puluhan brankar, hanya mesin dan peralatan besar yang ditinggal.

Hari ini hujan cukup deras. Air di lantai dua naik jadi setinggi betis. Semua pasien sudah berada di lantai atas. Tentara yang diperbantukan menjaga rumah sakit sudah pergi bersama tim SAR pada evakuasi tadi pagi. Penggantian tempat tugas.

Seorang pemuda, pasien yang sudah pulih, beberapa hari membantu evakuasi peralatan medis, tergolek lemah. Ia demam. Dari gejalanya, tubuhnya kehilangan terlalu banyak cairan. Ototnya sulit melakukan peregangan.

Dokter Gunadi dan perawat Amanda menengoknya.

“Namamu Faus, Faustius bukan?” tanya dokter membaca kertas di tangannya.

“Bukan Hiu, Dokter,” sahut si sakit bergurau.

Di saat seperti itu, Amanda menganggapnya agak kurang ajar. Tetapi ia senang juga, pemuda itu sudah bekerja begitu keras. Tak ada orang lain memforsir tenaga seperti dirinya. Tak mendapat imbalan apa-apa, malah jatuh sakit.

Lelaki yang dipanggil dengan Faustius memandangi perawat yang ada di atasnya. Tahu orang memandanginya dengan kurang sopan, Amanda berdiri pura-pura membaca label infus yang selangnya mengular ke pergelangan tangan lelaki itu.

“Kemarin kau jatuh pingsan. Apa sebelum ini pernah mengalami hal yang sama?” tanya dokter.

“Saya ingat-ingat. Tidak pernah, Dok. Apakah saya akan sering pingsan setelah ini?” jawab si sakit, Faustius.

“Kau terlalu capek. Istirahatlah. Asupan gizimu kurang untuk pekerjaan berat. Tentara itu saja pada balik kucing,” kata dokter. Amanda percaya dokter senang mendapat pasien yang masih bisa bergurau.

“Begitu? Mereka tidak diperbantukan di sini lagi? Sialan. Siapa lagi yang sehat di sini?”

“Barangkali ke rumah sakit lainnya,” Amanda ikut menjawab. “Sebagai pasien, barangkali,” tambahnya. Amanda berusaha memperlihatkan senyumnya. Ia tahu, perasaannya gentar membayangkan humor dan gurauan-gurauan sedang ditarik menjauh dari hidup orang-orang di rumah sakit.

“Terlalu banyak orang mesti ditolong,” sahut dokter.

Amanda lepas dari kenyataan, ia tak melihat, juga tidak menangkap Faustius yang tersenyum konyol padanya.

“Apa ada yang tidak selamat, Dokter?” tanya Faustius. Ia mengalihkan pandang dari perawat yang termenung.

“Siapa? Pasien-pasien di sini?”

“Ya. Semua selamat. Mereka baik-baik di lantai tiga ini. Sebagian pindah ke lantai atasnya lagi.”

“Apa di luar masih hujan?” tanya Faustius tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Ia sengaja menyenggol lengan Amanda, mengembalikannya ke dunia.

“Lebat,” jawab Amanda. Sebentar tadi ia tersentak. Dirasanya degup jantungnya berdebam.

“Syukurlah,” sahut si penanya. “Turunlah hujan yang paling deras. Hujan harus menepis harapan palsu. Orang mesti sadar dan berikhtiar sendiri. Tidak bergantung bantuan dari luar.”

Amanda terkejut. Jawaban itu terdengar angkuh. Ia tak jadi memuji lelaki itu yang menyingsingkan tenaga untuk menolong orang.

“Kalau kau sehat. Aku akan meminta kau membuat rakit atau perahu. Selamatkanlah orang-orang ini,” sekali ini Dokter Gunadi tampak serius. “Kau ingin menolong kami, kan? Kau tidak lari bersembunyi, kan?”

Amanda menangkap keseriusan di wajah dokter. Ia heran, dokter seperti menunjuk lelaki muda itu jadi bagian rumah sakit, menantangnya menyelamatkan semua orang. Secara tersirat dokter sudah menyerah untuk bisa mengurus semua orang dengan apa yang sudah berjalan selama ini. Ia memerlukan penemuan baru, yang mustahil ditemukan dirinya dan staf medis di sekitarnya. Tiba-tiba pemikiran seperti itu datang. Amanda sedih memikirkan lagi apa-apa yang sedang dan telah terjadi. Apakah usaha yang demikian kerasnya dari semua perangkat rumah sakit dan semua orang lainnya, belum cukup memadai? Bahwa perbuatan heroik itu sekedar menunda, dan hasil kerja besar dari gotong-royong itu tidak benar-benar mengeluarkan mereka dari bencana?

Bagaimana orang membantu orang lainnya yang tak ia kenali? Berapa banyak yang sudah menahan-nahan lapar untuk orang lain? Amanda dilanda kekecewaan. Tuhan belum juga datang menolong.

“Dengan bahan apa di sini, Dokter? Kita punya apa?” tanya Faustius.

“Aku juga tidak tahu. Karena itu aku butuh kamu,” dokter menarik dua bahunya.

Sampai jadwal makan yang ke tiga di hari ini, Dokter Gunadi dan Amanda baru pergi meninggalkan pemuda itu. Pikiran Amanda masih berkisar pada percakapan tadi.

Amanda tahu, ia hanya membantu dokter mengurus pasien. Jika dokter saja menyerah, ia yang perawat bisa apa? Hanya evakuasi ke luar rumah sakit, itu jalan satu-satunya. Tak ada jalan lainnya. Bertahan, sama artinya dengan bunuh diri. Dan menggantungkan diri dari tim SAR bisa jadi kesalahan, jadi mulailah membuat evakuasi mandiri.

Sekarang bulan ke delapan sejak musim kemarau berakhir. Merunut prediksi BMKG, hujan akan berlangsung sekitar sepuluh bulan lagi. Artinya rumah sakit mungkin akan tenggelam seluruhnya. Semua orang benar-benar harus dievakuasi ke luar.

Lihat selengkapnya