Jakarta 18m

gatot prakosa
Chapter #7

#7

Rumah sakit masih bertahan dari gempuran banjir. Tim SAR masih datang lewat air, membawakan makanan dan kebutuhan hidup lainnya. Dan bantuan medis dikirimkan lewat udara, tak ada jadwal pasti.

Dua ratus orang sudah dievakuasi sejak pertama tim SAR datang, tiga bulan lalu. Di rumah sakit, masih tersisa sekitar enam ratus orang.

Kematian tidak sampai mewabah. Semua orang membantu membuatnya begitu. Tetapi mayat yang tersangkut di depan rumah sakit lebih sering terjadi.

Bantuan pagi ini datang lewat lantai dua yang sudah tergenang dua meter tingginya. Sementara tinggi langit-langit kurang dari satu setengah meter lagi.

Cahaya matahari tak dapat menembus sampai lorong lantai dua rumah sakit kecuali sedikit di bagian luar. Pantulan cahaya di permukaan air menari-nari di plafon.

Tim SAR yang datang lewat air, bergerak pelan. Sampah tak ikut masuk ke dalam karena pagar reranting yang dibuat tentara. Sampah tersangkut tak bisa tembus. Seperti masuk sebuah gua, setelah di luar tadi diterangi matahari. Berbekal lampu senter, pelan-pelan perahu masuk lebih ke dalam, mencari tangga penghubung ke lantai atas.

Dokter Gunadi dan perawat Amanda baru sampai di bawah. Setelah dapat laporan dari orang-orang yang melihat banjir di luar. Terdengar suara peluit menggaung.

Dokter menyalakan lampu senter, membuat tanda kepada regu penyelamat. Melihat terang di dalam gelap itu, Tim SAR segera mengarahkan perahu ke arahnya. Seseorang hampir terbentur lampu di bawah plafon ketika mencoba berdiri.

Orang-orang dari atas berbondong-bondong memenuhi lima belas anak tangga tersisa. Amanda terdesak ke pinggiran tangga.

Bau busuk baru tercium Amanda dan Dokter Gunadi. Mereka menoleh ke kerumunan di sekitarnya. Semua orang sudah menutup hidung. Ada yang muntah, muntahannya jatuh ke air. Orang itu bergegas ke atas.

“Bau bangkai,” kata orang di belakang Amanda, yang lainnya juga membenarkan.

“Ada mayat masuk rumah sakit, Dokter,” kata Amanda.

Dokter tak menyahut. Ia sudah mengenakan masker. Ia memperhatikan perahu yang masuk.

“Adakah genset di sana?” tanya dokter ketika perahu merapat.

Yang ditanya terdiam, sesaat baru memahami. Rumah sakit perlu genset baru.

“Akan saya carikan, Dokter. Mudah-mudahan dalam minggu ini kami bawakan,” kata anggota regu penyelamat itu.

Ia menyodorkan kardus berisi bahan makanan. Dokter menerimanya.

“Ada mayat membusuk, Dokter?” kata anggota Tim SAR itu.

“Benar. Kami juga baru tahu,” jawab dokter.

Kardus-kardus cepat berpindah tangan ke atas. Dibawa secara estafet. Dokter Gunadi pergi ke atas. Amanda mengikutinya. Mereka mesti menyiapkan evakuasi.

“Dokter! Dokter!” panggil petugas SAR tadi. Dokter berbalik.

“Orang-orang di sini, cukup untuk mengisi perahu.”

Dokter berpikir sebentar sebelum mengiyakan. Ia juga sebenarnya menyerah untuk memilih-milih siapa yang ikut evakuasi.

Setelah barang-barang selesai diturunkan, orang-orang di tangga berebut naik perahu. Berhati-hati sambil membungkukkan badan agar tidak terbentur plafon.

Seorang pasien yang hendak masuk perahu, memeluk dokter erat-erat. Orang itu menangis. Benar-benar seperti seorang anak yang berpisah dengan ayahnya. Kemudian setelahnya ia memeluk Amanda. Orang-orang di urutan setelahnya melakukan hal yang sama.

“Kami pergi, Dokter! Terimakasih atas usaha besarnya, menyelamatkan kami.”

Perahu mundur, berputar, lalu bergerak menjauh. Lambaian tangan orang-orang yang dievakuasi baru dapat dilihat setelah sedikit cahaya matahari yang lolos dari reranting sampah meneranginya. Dokter dan perawat membalas lambaian itu.

Orang di perahu menyorotkan lampu ke depan, menuntun arah jalan perahu. Permukaan banjir jadi beriak ketika perahu berjalan.

Cahaya dari perahu tim penyelamat masih menari-nari di plafon, seseorang menunjuk, “Sepertinya dari sana.”

Seseorang lainnya menyorotkan lampu senter. Lorong sebelah kanan. Cahaya lampu tidak bisa menerangi sepanjang lorong karena terhalang tembok.

Dokter Gunadi memikirkan, apakah mayat itu dari luar rumah sakit, bukan pasiennya? Karena pagar dari ranting itu dan sampah menghalangi apa pun yang hanyut dari luar untuk masuk. Ia membayangkan hal-hal menyedihkan. Pasien yang ditinggalkan, tak terurus karena kekacauan.

Amanda tak sampai memikirkan sejauh dokter. Ia hanya meyakini itu mayat yang terbawa arus dari luar ke dalam rumah sakit. Sebagaimana sebelumnya pernah melihat mayat yang tersangkut sampah.

Evakuasi 20 orang. Enam mayat tertinggal. Tadi terlupa. Tiga hari enam orang meninggal. Jumlah yang terlalu besar untuk diabaikan. Baru kali ini terjadi rasio yang sebesar itu. Satu yang mati karena menjatuhkan diri dari lantai atas dan tak terselamatkan. Lainnya karena kondisi tubuh yang menurun.

Tak ada pencatatan siapa dan berapa orang evakuasi. Dokter Gunadi menyerah. Ia tidak mencatat kecuali hanya jumlah orang yang dievakuasi dan tanggal keberangkatan. Entah untuk keperluan apa catatan sederhana itu. Tak akan bisa orang mengumpulkan pasien-pasien dan keluarganya dengan catatannya. Karena evakuasi tidak dapat diatur. Orang-orang bisa mengaku bernama siapa saja.

Cahaya dari lampu tim penyelamat masih tersisa secuil, Amanda duduk di anak tangga agak di atas dokter yang berdiri. Orang-orang sudah pergi ke atas.

“Mayat itu di sebelah sana, Amanda,” tunjuk Dokter Gunadi. Amanda melihat arah yang ditunjuk, berbeda dengan yang ditunjuk seseorang tadi. Ia heran, dokter bisa menebak yang berbeda. Ia ingin menunjukkan arah yang ditunjuk orang tadi, mengira dokter hanya mengikuti orang tetapi tak ingat arahnya.

“Akan membawa penyakit jika dibiarkan saja,” tambahnya.

“Apakah kita akan menyeretnya ke luar? Membiarkannya dibawa arus?” Amanda tak sanggup membayangkan mesti mengurus mayat yang sudah membusuk, menggelembung pula karena lama terendam di air.

Ia tak tahu teknisnya, bagaimana membawa mayat busuk itu, membungkusnya ke dalam kantong.

“Anak muda itu. Barangkali anak itu bisa menangani,” kata dokter.

“Faustius?” tebak Amanda.

“Akan kutemui dia.”

Dokter bergegas naik. Amanda menyusul di belakang.

***

Pemuda itu sedang berjemur. Bersamanya seorang pemuda bertato di leher. Faustius berdiri melihat Dokter Gunadi mendatanginya langsung.

“Apa kita akan naikkan brankar-brankar lagi sekarang, Dokter?” tanyanya.

“Terimakasih, Faus,” dokter menepuk pundaknya.

“Apa kita memerlukan sebuah perahu? Rakit?”

“Benar. Ada mayat yang perlu kita urus.”

“Orang yang masih bernafas cukup banyak yang perlu diurus.”

“Kalau tidak diurus, baunya akan menyebar dan mengganggu yang masih hidup.”

“Tadi aku lihat air sudah tinggi. Paling tidak seminggu ini, hujan akan menguburnya.”

“Satu meter lagi kira-kira. Itu butuh satu bulan.”

Faustius menoleh kepada temannya. Ada bahasa isyarat yang tak dipahami dokter. Faust menyerah. “Dev, ikut aku.”

Lelaki dengan tato di lehernya itu mengikuti Faust ke bawah tangga penghubung lantai tiga dan empat. Tumpukan kayu dan bambu yang pernah jadi dermaga, kemudian jadi bidang miring tangga, sekarang harus bisa jadi rakit. Faust mencari perkakas.

Dokter Gunadi kembali.

Dua jam rakit selesai dibuat. Orang-orang mengerubunginya. Ada harapan evakuasi mandiri dari rumah sakit. Orang bertanya apakah rakit aman untuk perjalanan evakuasi. Tak dijawab dengan terang, orang terus mendesak Faust dan temannya mengatakan sesuatu.

Kedua pemuda dibantu orang-orang yang masih berharap pertolongan mengangkat rakit, dibawa turun tangga menuju lantai dua yang gelap.

Bau menguar ke hidung semua orang yang berdiri di anak tangga. Bau busuk.

Orang-orang hendak meloncat ke rakit, Faustius memaki dan mengatakan rakit tidak bisa dipakai mengarungi banjir. Orang-orang jeri dengan sumpah serapah anak-anak berandalan.

“Kau bawa korek api, Dev?” tanya Faustius.

Dewa yang dipanggil Dev, teman Faustius yang bertato di lehernya menekan saklar di sebuah alat kecil yang diambilnya dari saku. Sinar lampu senter menerangi langit-langit.

Lihat selengkapnya