Amanda dan Dokter Gunadi tercenung melihat bawah tangga, tempat rakit disimpan. Seseorang mencurinya semalam. Apakah pemuda itu? Faustius? Tanpa bicara keduanya saling memandang.
Banjir sudah naik lagi. Tujuh anak tangga yang masih kering. Dokter Gunadi membayangkan pencurinya, yang memberanikan diri ke luar rumah sakit dengan rakit yang dibuat seadanya itu, sementara air meninggi. Bagaimana mereka menembus pagar sampah di pintu? Ia berharap mereka selamat.
Sekarang rumah sakit tak punya rakit, tak punya bahan-bahan untuk dipakai keperluan memindahkan peralatan medis ke lantai atas. Dan tidak mungkin lagi evakuasi mandiri. Lagipula dua atau tiga hari nanti ketika air sudah menelan tiga anak tangga lagi, tim penyelamat tidak bisa lewat sana, maka akan butuh dermaga apung. Begitulah taksiran Dokter Gunadi.
Ia berharap pemuda “nihilis” itu masih tinggal di rumah sakit. Kepada merekalah ia bisa mengandalkan untuk mengerjakan hal-hal teknis.
Dokter dan perawat kembali ke posnya. Pagi yang dingin. Hujan rinai di luar. Langit memendar karena matahari pagi.
Di lorong paling timur, orang-orang mengantre sesuatu. Dokter Gunadi melihat Dokter Hengki bicara dengan seseorang. Ia berjalan ke arahnya.
“Ini kenapa? Seperti ada penyembuhan klenik.”
“Mau buang hajat, Dokter,” sahut Dokter Hengki.
“Air tak masalah, Dok. Kita biasa menampung air hujan. Tapi ini kotoran yang tak mau turun. Salurannya mampet.”
“Mungkin bak penampung penuh rembesan air banjir. Hampir semua kamar kecil, termasuk yang di dalam kamar-kamar perawatan. Beberapa malah sudah membanjir ke lantai kamar mandi.”
“Lantai atas?” tanya Amanda.
“Semua orang di pagi hari, kebutuhan yang sama.”
“Mungkin tak lama lagi, staf medis juga akan ikut antrean di sini, Dokter. Akibatnya pelayanan jadi terganggu,” tambah Dokter Hengki.
Dokter menghitung dari orang yang berdiri paling belakang. Sepuluh orang. Ia pikir, menahan buang hajat dengan antrean sejumlah itu akan membuat konstipasi.
Dokter pergi. Ia memikirkan bagaimana cara mengatasinya. Ia bayangkan orang buang hajat di ambang jendela.
“Soal pertukangan sebaiknya serahkan saja pada pemuda itu. Semoga bukan mereka yang melarikan rakit,” usul Amanda.
“Aku menyerah. Tidak punya ide. Baiklah,” dokter mendesah. “Faustius. Faustius. Kita jadi bergantung pada anak-anak iblis itu. Baiklah, kita percayakan mereka.”
Keduanya pergi mencari di tempat kemarin bertemu. Tidak ada.
Naik ke lantai empat. Keduanya mendapat laporan serupa. Toilet tak bisa dipakai. Orang mulai buang hajat sembarangan.
Seseorang menghampiri dokter, meminta pemeriksaan seorang pasien. Dokter menuruti. Ia melakukan pengukuran tensi, detak nadi dan jantungnya. Dokter mengatakan tak mendapat sesuatu yang dikeluhkan.
Selesai dengan seorang pasien, dokter meminta perawat menguruskan untuknya. Karena orang-orang di sekitar pasien turut mengeluh. Ia percaya tidak ada keluhan yang serius. Ia tinggalkan Amanda.
Dokter Gunadi berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi pasien dan keluarganya yang mulai bangun dari tidur malamnya. Kasur-kasur belum dirapikan, masih tergelar berjajar.
“Ada apa, Dokter?” seseorang menyentuh lengannya dari belakang. “Mencari saya, kan?”
Dokter Gunadi terkejut, melihat pemuda yang dicarinya. “Kami butuh bantuanmu,” Dokter sebenarnya agak malu menggantungkan kebutuhannya kepada orang yang bukan pegawai rumah sakit.
“Apa soal kamar kecil?” tebaknya.
Dokter tersenyum. “Apa idemu?”
“Aku akan dapat apa?” tantang Faust.
Faustius ganti tersenyum. Dewa datang, melihat dokter ia mengulurkan tangan, bersalaman.
“Dengan dia. Nanti, kalau kami butuh apa-apa, tolong Dokter bantu ya,” Faustius mengajak Dewa pergi.
“Kami mengandalkan kalian!” seru dokter.
Sebuah bola karet membentur kaki dokter. Ia menoleh. Anak-anak kecil, usia lima tahunan berkumpul. Salah seorang datang mau mengambil bola. Dokter mengambilkannya, anak itu malah melesat menubruknya.
Dokter mengusap-usap kepala anak itu, kemudian pergi.
Lewat lorong, sekali lagi seseorang menghentikannya. Seorang anak muda meminta tolong memeriksa kesehatan bapaknya. Dokter mengikuti.
“Sejak kapan Bapak begini?” tanya dokter kepada anak muda itu setelah memeriksa detak jantung dan nadi.
“Sejak pindah kemarin, Dokter.”
“Apa Bapak yang sakit? Maksud saya, ada di sini tercatat sebagai pasien? Kalau iya, pasien ruang mana dan nomer berapa, akan saya cari data riwayat penyakitnya.” dokter mengeluarkan perangkat penyimpan data dari saku bajunya.
“Bukan, Dok. Adik saya yang dirawat di sini. Bapak dengan saya menungguinya.”
Dokter memandangnya.
“Adik saya tidak selamat.”
“Maafkan saya.”
“Tidak apa-apa, Dokter. Ini bencana. Kami menerimanya dengan ikhlas.”
“Bapak punya riwayat sakit gula?”
“Benar.”