Dua bulan, banjir mendesak Rumah Sakit St Theresia bertahan dengan dua lantai tersisa dan rooftop. Mengatur banyak orang untuk saling berbagi, mau memberi, selalu harus ada orang yang membimbing. Perlahan orang meninggalkan egonya, lupa siapa diri masing-masing, memandang semua sebagai sesama saudara.
Delapan pekan itu Rumah Sakit St Theresia bertahan dalam cara yang tak pernah dilakukan sekumpulan orang hidup. Pertahanan terakhir sampai ada tambahan pasokan makanan. Makanan hanya sebatas demi bertahan hidup saja. Tidak lebih.
Banjir tanpa ampun mulai masuk lantai tiga. Air sudah selutut orang dewasa.
Dokter Gunadi mengajak Faustius pergi memeriksa lantai tiga. Di bawah tangga tadi mereka berpapasan dengan sepasang muda-mudi yang naik tangga.
Mensejajarkan langkah dengan dokter, Faustius agak terengah-engah. Ia heran dokter bisa terus bekerja sejak pagi tanpa terlihat kelelahan.
“Tolong kau cek sebelah kanan. Aku ke kiri. Selamatkan siapa pun yang tertinggal.”
Faustius dan dokter berpisah.
Belum jauh, dokter berbalik, dan serunya, “Kalau kau menemukan sesuatu benda berharga atau yang bisa kau pakai, ambil saja!”
Faustius menyahut.
Dari ruang yang paling jauh, keduanya memeriksa.
Dokter melihat di sekitar tangga yang digunakan untuk situasi darurat kebakaran, mengapung banyak kotoran manusia. Bau amoniak menyebar. Kotor sekali. Ia ingat setiap pagi melihat orang mengantre. Ia berpikir, barangkali jawaban-jawaban atas banyak kesulitan hidup akan selalu ditemukan. Dan ia berharap jawaban-jawaban dari masalah yang nanti menyusul akan ditemukan dengan segera.
Ia melihat sekeliling. Seperti kebingungan, dokter mencari-cari sesuatu. Sampai ditemukannya tiang pengait infus. Ia menyeretnya. Dengan benda itu, ia memecah kaca yang paling dekat tangga.
Tetapi kotoran itu tak mengalir ke luar. Dokter salah menimbang. Air dari luar malah masuk, mendorong kotoran lebih ke dalam.
Setengah jam, Dokter Gunadi dan Faustius bertemu lagi di depan tangga.
Faustius melaporkan kalau ia tak menemukan pasien yang tertinggal. Yakin tidak ada yang tertinggal, keduanya naik kembali.
***
Dokter Gunadi menerima data terbaru pasien yang masih tertahan di rumah sakit. Data lengkap dari awal perawatan sampai kondisi sekarang, dengan diagnosa dan obat-obat yang diterimanya.
Sebentar kemudian datang perawat lainnya, data dari bagian obat.
“Dokter Hengki, Amanda, bantu saya menyusun prioritas. Mungkin bantuan obat-obatan masih akan lama tiba,” katanya.
Dokter Hengki tahu, Dokter Gunadi sedang membuat semacam simulasi kalau bantuan medis tak pernah datang lagi.