Kelahiran di masa bencana seperti kedatangan juru selamat. Tetapi bayi itu datang dan tinggal tak lama di dunia. Ia meninggal sebelum tarikan nafasnya normal. Itu seperti sebuah tanda ancaman kekuatan iblis yang menginginkan dunia tenggelam dalam banjir, tak ingin juru selamat datang.
Orang tak sanggup melihat mayatnya mesti ditenggelamkan seperti orang-orang mati lainnya. Tetapi keadaannya tak memungkinkan penguburan atau pembakaran, melarungnya pun akan membuat pedih. Bagaimana bisa menyaksikan bayi mungil yang terjebak di tengah sampah kota?
Semua mayat ditenggelamkan dengan pemberat benda-benda yang tak berkaitan dengan ibadah agama. Hanya mayat pertama. Hampir semua memakai brankar selain kursi tunggu pasien. Dari pintu ke luar-masuk, brankar di dorong ke luar. Kali ini untuk bayi tak berdosa, semua orang menginginkan keistimewaan.
Karena hebatnya banjir, roh mayat-mayat yang jasadnya tak disemayamkan dengan benar tentu tak menarik perhitungan dari orang yang berjuang hidup. Tetapi mayat seorang bayi yang belum berdosa, bagaimana pun ia milik surga, orang-orang meminta perlakuan yang berbeda. Mayat mungil itu ditenggelamkan dengan pemberat patung Bunda Maria.
Akhirnya Tim SAR muncul. Tetapi hanya sekali untuk menghilang lagi. Kedatangan yang sekali itu seperti hanya memastikan kalau gedung berbendera palang merah itu masih dihuni. Tetapi meski begitu, persediaan makanan dapat ditambah. Dan jumlah penghuni rumah sakit berkurang dua puluh lagi.
Lagi sebulan berlalu, tim penyelamat tak kembali. Meski ada tambahan bahan makanan, Rumah Sakit St Theresia tetap konsisten dengan penghematan di dapur. Melihat bahan makanan yang cukup banyak, orang protes diperlakukan sewenang-wenang, bahwa rumah sakit membiarkan mereka kelaparan.
“Tiji Tibeh! Mati siji mati kabeh!” seru orang yang tidak bisa terima.
Faustius maju ke depan. Tidak dengan bertukar suara. Ia menggeret lonjoran besi, tempat menggantung kantong infus. Dewa ikut di sampingnya.
Para ibu pengurus dapur turun aksi pula, mendukung rumah sakit.
Tampaklah orang yang memprotes kebijakan rumah sakit untuk mengirit makanan sebenarnya hanya sedikit.
“Aku berikan separuh jatah makan untukmu! Aku berjanji!” ucap seorang ibu.
“Aku juga menyumbang separuh untuk orang itu!” kata orang lainnya sambil menunjuk pemprotes. “Catat namaku.”
“Saya juga!”
“Saya!”
Orang itu menyingkir dengan geram. Merasa terhina. Orang-orang menyorakinya.
Dokter meminta semuanya bersabar dan bekerjasama dengan rumah sakit, agar semua mau melihat banjir dari kacamata bencana. Dokter sekali lagi menghimbau semua orang menuruti etika yang diajarkan nenek moyang. Gotong royong dan tepo seliro. Karena orang tak bisa hidup sendirian apalagi di tengah bencana.
Hari berganti. Tinggi air terus naik. Lama-lama Dokter Gunadi tak sabar lagi. Diam-diam ia mengutuk tim penyelamat yang tak datang-datang.
Setelah berhemat bahan makanan, sehemat mungkin, tetap saja akhirnya akan terancam habis juga. Ia takut suatu hari nanti melihat orang-orang mati kelaparan, bukan karena penyakit.
Di atap rumah sakit, Dokter Gunadi menyerahkan lampu senter kepada Faustius. Sudah diajarkannya sandi morse untuk memanggil bantuan.
Faustius menyalakan dan mematikan lampunya lima putaran sebelum benar-benar yakin bisa diandalkan. Di sebelahnya berdiri temannya yang lehernya bertato. Ia membawa bendera PMI yang diambilnya dari pagar.
“Kenapa kau jadi kacung begitu?” protes Dewa.
“Ia seorang yang baik. Aku melihatnya memikirkan dan mengerjakan banyak hal sendirian. Ia melebihi dirinya sendiri. Dokter tua ini punya semangat Ubermensch yang kuat. Sebagai seorang yang berikhtiar dalam jalan Ubermensch, aku ingin membantunya,” jawab Faustius diplomatis.
“Kenapa kita tidak berenang saja, menembus banjir ini?”
“Aku bukan seorang yang kuat di dalam air,” Faustius merasa dirinya aneh, ia jujur atas kelemahannya. “Lagipula orang-orang yang mencoba berenang, kabarnya tak pernah sampai ke posko pengungsian. Mereka meninggal di perjalanan. Kena tetanus.”
“Setidaknya mereka tidak menyerah menunggu kematian.”
“Aku percaya insting asli manusia. Kita bisa lolos dari bencana.”
“Sampah-sampah di bawah permukaan air. Seng, paku di atap rumah atau di papan yang mengambang. Banyak benda yang bisa melukai. Kalau tidak cepat diobati, orang bisa kena tetanus.”
“Mambang air, bukan cuma menggeret ke bawah siapa yang berenang, tapi mendekatkan benda-benda tajam, benda runcing ke dekatnya.”