Jakarta 18m

gatot prakosa
Chapter #11

#11

hampir setiap hari selalu ada orang yang tak bisa bertahan, meninggal karena gizi yang kurang dan kesehatan memburuk. Banyak juga orang memilih terjun, mencoba berenang, sampai seseorang datang dengan cara yang sama ke rumah sakit.

Pagi hari, orang-orang heboh melihat tamu yang berenang dan berusaha menyingkirkan sampah hendak masuk rumah sakit. Darimana ia, tidak ada yang lihat dari gedung mana datangnya. Seolah muncul dari dalam perut bumi.

Dokter Gunadi, Faustius, dan Dewa yang sedang berada di atap, melihatnya. Heran mereka, baru kali ini ada orang selain tim penyelamat datang dari luar sejak banjir menelan bersih dua lantai rumah sakit.

Orang itu tampak tak bisa terus karena terhalang sampah yang memagar rumah sakit. Ia mendapat bantuan orang-orang dari atas yang memakai tiang pengait infus, mengurai sampah di depan pintu.

Dokter Gunadi, Faustius dan Dewa pergi ke bawah. Barangkali ada kabar dari orang itu yang harus disampaikan kepada rumah sakit. Orang-orang mengikuti. Tapi sampai di tangga, tahu banjir sudah setinggi perut, banyak yang mundur ke atas lagi.

Orang itu berhasil masuk. Dokter Gunadi, Dokter Hengki, perawat Amanda, Faustius dan Dewa mengambil tempat di depan.

Tubuh orang itu penuh luka sayatan. Ia duduk di kursi tunggu dekat pintu darurat yang tergenang seluruhnya di bawah permukaan banjir. Hanya pundak ke atas yang menyembul di atas air, bersandar pada tembok ruangan. Lemas ia membiarkan tubuhnya terus terendam.

Ia tak bisa menyapa melihat orang-orang mendekat. Hanya pandang matanya menyuarakan permintaan bantuan. Dan ia tidak mencoba berdiri.

Amanda memberinya minum.

Setelah nafasnya teratur, ia mulai membuka suara.

“Kami sedang sekarat, Dokter.”

Kalimat pertama yang membuat semua orang tercenung. Cerita tentang penyelamatan, tentang apa yang dilakukan pertama kali kalau mereka sampai di pengungsian, semua itu menyingkir jauh.

“Kami butuh bahan makanan.”

Dokter Gunadi belum menjawab, ketika orang itu berdiri, terbatuk dan muntah. Orang memapahnya ke atas brankar yang lebih tinggi dari kursi. Sesudah membersihkan luka-luka terbuka dengan alkohol, Amanda meneteskan betadine. Orang itu telah digulingkan, dan Amanda memperlakukan luka di bagian belakang dengan sama. Amanda miris, begitu banyak luka, ia membayangkan rasa perihnya. Dan darah di lututnya tak mau berhenti keluar. Ia meneteskan betadine lebih banyak hingga melumuri kaki yang lembab dan basah itu. Orang-orang mengambilkan sarang onggong-onggong. Amanda menekan sarang itu ke luka dan mengikatnya dengan sapu tangan. Setelah itu, ia menyuntikkan vaksin tetanus. Orang itu tak menjerit sekalipun hanya lirihan. Seolah luka-luka itu tak sampai mengusik sistem syarafnya.

“Beberapa hari ini banyak yang meninggal. Bantuan tak segera datang. Tim SAR dan PMI, apa menyerah mengulurkan bantuan?”

Dokter Gunadi akhirnya menjawab, “Kami juga sama membutuhkan bahan makanan. Obat-obatan sudah nyaris kosong.”

“Kami bahkan tak punya dokter. Ya Tuhan. Cobaan ini berat sekali. Terlalu banyak dosa kita. Jakarta harus benar-benar bertobat. Kita telah ditinggalkan. Kita ini mayat hidup.”

“Kau tak usah kembali. Tubuhmu tidak mengijinkannya.”

***

Hari ini makanan dibagikan dua kali, siang dan sore. Bubur dibuat encer. Terlalu encer untuk disebut bubur.

“Lihat dokter tua ini. Dia pura-pura makan. Dia menyendok piringnya. Padahal itu hanya air,” kata Faustius pada Dewa. Dokter tak tahu sedang diperhatikan.

Perawat Amanda menghampiri Dokter Gunadi. Faustius dan Dewa menebak-nebak apa yang Amanda katakan pada dokter, dan apa jawabnya.

“Bagaimana kalau dokter meninggal karena kelaparan, sementara banyak pasien mesti ditangani? Bukankah pengorbanannya malah merugikan banyak orang? Gadis itu pasti akan bilang begitu. Tapi apa jawaban dokter? Apakah ia menuruti begitu saja, sadar kalau ia keliru? Rasanya bukan begitu. Lihat perawat itu enggan makan jatahnya.”

“Banyak orang memberikan jatah makannya untuk orang lain.”

“Dua orang, ya dua orang akan mati untuk kehidupan satu orang. Tak cukup satu menghidupi satu. Ini tidak boleh dilanjutkan.”

“Kita sudah kehabisan tali, Dev.”

“Anak-anak kecil di sana. Mereka berlarian tak tahu ibunya terancam mati kelaparan demi menambah makan mereka. Setelah mereka besar, satu diantara sekian anak itu akan melihat hari ini. Tahu apa yang dilakukan ibunya. Saat itu, apakah ia akan membanggakan ibunya ataukah ia akan menyesali apa yang dilakukan ibunya?”

“Itu kalau bantuan akhirnya datang.”

“Seperti di film-film, tokoh datang terlambat. Nyaris terlambat. Supaya tampak heroik. Eh, kenapa orang itu?” Faustius menunjuk, ia berdiri. Dewa ikut berdiri.

Seseorang terkulai, piringnya jatuh dan isinya tumpah. Orang-orang merubunginya. Dokter Gunadi beranjak dan lekas memeriksanya.

“Orang ini pasti punya magh.”

“Semalam kena demam, Dokter. Kami juga kena demam. Saya kira sama keluhannya dengan kami. Saya kira begitu. Dan dia juga bangun pagi-pagi.”

Tiba-tiba orang yang tadi terkulai mengerang-erang. Tak sampai lima detik. Lalu tenang. Dokter Gunadi memeriksanya. Meninggal.

***

Lihat selengkapnya