“Sudah saatnya, Dev. Sudah empuk sekarang,” Faustius menoleh kepada Dewa, yang segera berdiri. “Ayo kita keluarkan. Dokter biar di sini saja.”
Dokter Hengki dan perawat Amanda tertegun, tak mengerti.
“Pagi tadi kami berhasil berenang sampai posko pengungsian. Di sana banyak sekali orang-orang menunggu keberangkatan ke luar Jakarta. Posko penampungan sementara, transit, dari tempat itu helikopter membawa pengungsi ke luar Jakarta. Itu sebabnya Tim SAR tidak sampai ke sini. Terlalu banyak orang. Dan di sana persediaan bahan makanan juga menipis. Beruntung kami mendapat dua puluh kilo daging sapi. Dan kami sudah memasaknya,” Faustius tampak senang. “Tunggulah di sini, Dokter. Dapur berantakan betul.”
“Sayang mereka tak punya beras yang bisa dibagi. Dan kami juga kesulitan membawanya kalau pun ada,” Dewa menambahkan.
Dokter Hengki curiga. Tidak mungkin orang menembus banjir tanpa terluka.
Ia memandang perawat Amanda menerima semangkuk sop. Ia sedih melihat perempuan yang disayanginya itu. Sejak banjir menghilangkan perlengkapan riasnya, ia tampil tanpa bedak, tanpa riasan, tanpa pelembab kulit. Pakaiannya tak dicuci dengan sabun. Tak ada wewangian. Ingin ia memintakan keperluan perempuan itu kepada Tim SAR jika nanti datang. Tetapi ia pikir itu konyol.
Ia melihat tangannya sendiri. Tampak olehnya pengaruh yang ditimbulkan akibat kurang makan. Kembali ia memandang Amanda. Kini ia melihat lebih jelas, apa yang dialami tubuh perempuan itu. Pada saat Dokter Hengki memandangnya, Amanda menangkapnya. Bertemu pandang membuat dokter berdebar. Malu pikirannya dibaca perempuan itu, ia menoleh ke lain jurusan.
Melihatnya berada di dekatnya, ada semacam gairah yang membuatnya sadar ia berguna sebagai dokter. Karena adanya gadis itu saja membuatnya bertahan di rumah sakit. Sekarang melihat tubuhnya yang kurusan dan bibirnya yang pucat, takut, benar-benar takut ia menangis. Dijaga benar-benar kesadarannya, tak akan membiarkan tangannya memeluk gadis itu. Karena kalau itu dilakukannya, Amanda akan menyadari tubuhnya kurus tak terurus. Kesadaran itu sekarang ini sudah jadi sebuah malapetaka.
Sop itu, ia takut Amanda diberitahu. Biarlah pengetahuannya tak sampai menebaknya. Ia tak berani membayangkannya.
Amanda memberikan mangkok berisi lima iris daging dengan kuah bening memenuhi separuh mangkok kepada Dokter Hengki.
“Dokter tampak pucat, apa sakit?” tanya perawat itu.
“Tidak apa-apa, Amanda. Terimakasih,” Dokter Hengki menunduk, memperhatikan apa yang ada di mangkok.
“Sudah empuk, Dokter,” kata Faustius.
“Bersih,” kata Dewa menimpali.
“Setelah ini kita edarkan untuk yang di bawah,” kata Faustius.
Amanda kesulitan pada kunyahan pertama. Gigi-giginya goyah. Terlalu lama tak memakan makanan dari daging. Ia tak bisa memotong dengan gigi taringnya. Ditelannya irisan pertama, tanpa rasa.
Perutnya yang sekian lama kosong, berguncang pada waktu menelannya. Rasanya ingin muntah. Perutnya seperti menolak diisi. Ia tak lekas-lekas menyendok potongan ke dua. Ia diam sampai perutnya tak melilit lagi. Ia melihat Dokter Hengki memperhatikan dirinya. Amanda tahu dokter muda itu tentu mengalami hal yang sama.
Selesai makan keduanya mencari Dokter Gunadi. Membagi makanan satu-satunya yang ada untuk orang tua itu.
Mereka menemukan Dokter Gunadi di sebuah kamar, di atas kursi. Ia meringkuk sendirian. Ia tak ikut keramaian berebut makan.
Perawat Amanda meletakkan mangkok isi sop di atas meja dekatnya.
“Dari mana?” tanya Dokter Gunadi ketika dilihatnya dua orang rekan mudanya itu.
Dokter Hengki dan Amanda tak mengerti.
“Apakah Tim SAR sudah sampai ke sini lagi?” tanya Dokter Gunadi menjelaskan pertanyaannya yang pertama.
“Ini bukan dari Tim SAR, Dokter. Mereka berdua menembus banjir, berenang sampai posko pengungsian,” jawab Dokter Hengki.
“Si Setan itu?” Dokter Gunadi terbatuk. Batuk yang bersambungan. Kering, seperti mengabarkan ada rongga yang tak berisi apa-apa di tubuhnya. Itu membuat panik Dokter Hengki dan Amanda.
“Maaf, Dokter. Ijinkan saya memeriksa kesehatan Anda,” kata Dokter Hengki.
Amanda gemetar. Batuk itu, ia tak pernah dengar batuk yang seperti itu menimpa Dokter Gunadi. Ia sedih dokter menolak dipapah ke brankar yang kosong karena penghuninya pergi meminta makanan.
Dokter tua itu berjalan sendiri dan merebahkan tubuhnya. Amanda dapat merasakan perasaan kecamuk yang melanda Dokter Hengki yang menghadapi Dokter Gunadi, yang sama profesinya. Itu perasaan yang wajar. Seorang panutan yang sakit. Rasanya ingin Amanda menukar kesehatannya dengan sakitnya dokter senior itu, yang dianggapnya sebagai ayahnya.
Dokter Hengki tak berani memandang mata orang tua di bawahnya. Sesekali ia melewati mata itu. Tak mau menyaksikan mata yang ia kenali, mata milik orang yang ia hormati, berubah lemah, tak bercahaya.
Amanda bersyukur Dokter Gunadi tidak menolak diperiksa. Ia tahu apa yang dirasakan Dokter Hengki karena dirinya juga menyayangi orang itu, sebagai orang tua sendiri.
“Aku harus selamatkan orang yang harus diselamatkan,” gumam Dokter Hengki.
“Apa maksudmu? Orang-orang lain tidak bisa kau selamatkan karena aku?” sergah Dokter Gunadi. Matanya masih tak memancarkan gairah kehidupan.