Jakarta 18m

gatot prakosa
Chapter #13

#13

Ada hari di mana orang berduka karena tahu besok sudah hari yang lain, sementara persoalan hari itu sudah bisa diatasi, tidak tahu lagi besok apakah juga bisa diatasi. Ada juga hari di mana orang bergembira karena tahu satu hari akan segera selesai, kesusahan sehari itu selesai dengan tidur malam. Tetapi bencana banjir melenyapkan kedua kutub itu. Tinggi muka air yang terus melahap satu-satu anak tangga, tak menunggu tim penyelamat mengevakuasi semua orang.

Seperti sebelum hari ini, Amanda tak berharap besok akan berbeda. Kemarin dirinya lenyap jadi sekedar makhluk yang bernyawa, tanpa hasrat, tanpa penyesalan, tanpa harapan.

Pagi ini Amanda bangun. Dua jam tidurnya. Terbangun oleh suara-suara. Orang-orang yang tidur di sebelahnya merintih, belingsatan tak bisa tidur. Amanda duduk, memeriksa satu-satu perawat yang tidur di sebelahnya.

Melompati satu perawat di sisinya, seorang rekan mandi keringat. Meringkuk. Di bagian punggung, kasur basah oleh muntahan yang tak semua masuk ke dalam kantong plastik. Amanda menyentuhkan telapak tangannya ke dahi perawat itu. Hangat. Dilihatnya perawat di sisi yang sebelah. Sama-sama demam. Ketakutan Amanda menyaksikan ruangan itu mendadak dibanjiri orang-orang sakit.

Amanda duduk membuat tanda salib dan berdoa. Ia berharap Tuhan mengampuni dosa-dosa dan menyembuhkan yang sakit.

Seseorang, pasien dari pakaiannya yang tak berseragam, yang paling jauh dari tidur Amanda, sedang muntah-muntah. Ia menadahkan muntahannya ke dalam kantong plastik. Karena sulit membawa mualnya sampai ke jendela, semalam perawat sudah menyiapkan kantong plastik di samping kasur semua orang yang sekiranya memerlukan.

Demam semestinya lenyap setelah pagi sebagaimana biasanya, tetapi kali ini berbeda. Panas tubuh tak menurun. Orang-orang kesulitan tidur, tak berdaya oleh nyeri di kepala dan perut yang meringkik minta diisi sekaligus minta dikeluarkan.

Amanda bergegas bangun, doanya tak ditutupnya dengan membuat tanda salib lagi. Ia telah berlari ke ruangan di mana Dokter Gunadi dirawat. Hari ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Ia punya hasrat, punya keinginan Dokter Gunadi sembuh dari muntabernya. Dan keinginan itu membuat tanda bahwa ia masih seorang manusia yang hidup. Bahwa dirinya harus bekerja lebih keras, berharap dirinya jadi kepanjangan tangan Tuhan untuk membuat mukjizat-mukjizat.

Dokter Hengki dan seorang perawat duduk di sisi tubuh yang tergolek. Dokter Gunadi sedang tidur.

“Bagaimana beliau, Dokter?” tanya Amanda. Ia agak gentar melihat keringat di dahi Dokter Hengki.

“Semalam ia banyak menderas doa Bapa Kami,” jawabnya, masih tampak sedih. “Aku takut, Amanda.”

Kesedihan menular ke diri Amanda. Jika dokter meninggal, bagaimana dirinya akan berjalan di sepanjang masa depan? Apa ia akan tinggal tanpa pegangan, hidup sendirian? Karena Ari menghilang, tak tentu rimbanya. Tentang Dokter Hengki, ia tak membayangkan hubungan lebih dekat daripada seorang teman.

Tak diduganya, tangan Dokter Hengki meraih tangannya. Ia menggenggamnya kuat. Seolah lelaki ini membaca pikirannya tadi. Dan ia tak rela hanya diinginkan sebagai teman. Amanda tercenung.

“Aku ingin kau selamat dari bencana banjir ini, Amanda. Akan aku pastikan kau tidak termasuk orang-orang yang harus ke luar dari sekoci,” katanya lirih.

“Terimakasih, Dokter,” jawab Amanda dengan perasaan agak kacau.

“Ayo kita pergi. Banyak urusan yang mesti dikerjakan,” ajak Dokter Hengki. “Dokter tentu tak mau kita menungguinya. Mumpung dia masih tidur.”

“Apa kau tidak tidur semalaman?”

“Kami titip dokter, Suster,” Dokter Hengki tak menjawab pertanyaan Amanda. Ia meminta perawat yang sudah berdiri begitu Amanda datang, untuk menjaga dokter. Amanda melemparkan senyum.

Keduanya pergi. Melangkahi kaki orang-orang yang tidur di lorong. Sebagian orang sedang mengemas peralatan tidur, membuka jalan. Satu dua orang menyapa dokter dan perawat dengan aroma yang aneh. Amanda menangkap kesan itu dan merasa malu, ia jadi melangkah lebih cepat, meninggalkan Dokter Hengki agak di belakang.

Akan melintas dapur ketika dokter bergegas menyusul dan berpindah ke sisi kanan Amanda. Dokter takut Amanda berbelok ke dapur darurat. Ia bermaksud menutupi Amanda agar perhatiannya tak mengarah ke sana.

Antrean untuk buang hajat tidak panjang. Masih terlalu pagi.

Tapi meski masih pagi, ada juga seorang anak kecil sendirian bermain bola. Anak kecil itu menyingkir dulu untuk orang yang lewat. Dokter melihat pandang mata seorang anak enam atau tujuh tahun itu menyinarkan kebencian padanya. Dokter tersenyum padanya, tetapi tak berbalas.

Dokter sedikit menunduk, tangannya melayang mengusap-usap rambutnya sebentar karena terus mengimbangi langkah Amanda.

Dapur umum berada di lift yang sebelumnya dipakai sebagai toilet. Pintunya tertutup, hanya ada lubang angin di bagian atas, sebentuk kotak kecil yang dulu berfungsi agar orang bisa memberi kode kalau toilet sedang dipakai. Keperluan kakus dibuat dengan melubangi lantai dekat dinding, lubang memanjang, dengan ember berisi air yang diciduk dari bawah tangga. Perempuan ada di ruangan terpisah dengan yang dipakai lelaki.

Dari lubang angin di lift itu menguar bau masakan. Amanda mencium aroma tak dikenal. Dan ia hendak mengatakan sesuatu ketika didahului dokter.

“Pasien di lantai lima ada yang sedang koma akibat wabah, Amanda. Kita langsung ke sana,” kata dokter, sebenarnya ingin mengatakan jangan ke dapur.

Amanda tidak menjawab. Ingin ia belajar memasak setelah lama tak tinggal di panti asuhan. Waktu kecil ia suka membantu pekerjaan dapur, menyiapkan makan untuk penghuni panti. Selepas berkuliah dan mendapat asrama mahasiswa, ia tak pernah lagi memegang peralatan memasak. Ia ingin bisa memasak, mengharapkan bisa belajar sebelum jadi istri seseorang.

Ia melirik pada lift yang sekarang tepat di sebelah kanan Dokter Hengki. Tak ada suara dari dalam.

“Kapan lagi mereka berenang ke posko?” Amanda heran, ia yakin ini masih pagi. Kakinya tetap mengayun. “Lagipula kelihatannya tubuh mereka baik-baik saja. Tidak ada luka-luka akibat goresan atau tusukan sampah.”

“Aku tidak tahu, Amanda. Barangkali daging tempo hari masih tersisa dan mereka simpan. Kalaupun mereka telah pulang pergi ke posko pengungsian, mungkin bisa saja. Waktu kemarin mereka bilang berenang, bukankah kita bersamanya malam hari sebelumnya? Lagipula malam-malam, tak ada penerangan yang cukup, mereka masih bisa berjalan-jalan di luar. Bukankah mereka ini cekatan sekali? Kau lihat perawakan mereka? Seperti orang yang teratur melatih fisiknya. Kadang aku pikir mereka itu anggota tentara kalau bukan seorang atlet. Mungkin mereka bisa menyelam, menembus pagar sampah dari bawah.”

“Kenapa mereka kembali ke rumah sakit kalau mereka bisa menyelamatkan diri? Keduanya bisa saja kan, tinggal di posko?” Amanda mengangguk sambil memberikan senyum kepada seorang pasien yang menyapanya. Ia menoleh kepada Dokter Hengki yang diam.

“Bencana membuatnya begitu. Orang-orang yang tak menonjol, mereka yang diabaikan, mengambil kesempatan dengan keluwesannya menabrak-nabrak aturan dan etika. Demi pengakuan.”

“Tapi nyatanya orang lain tidak mengekor apa yang mereka lakukan. Berapa orang jumlah lelaki di sini? Tak ada satu pun mengikuti mereka? Itu barangkali soal keberanian, watak kesetiakawanan yang lebih baik ketimbang orang kebanyakan. Barangkali memang itulah hasil didikan dari gerombolan anti kemapanan.”

“Sepertinya ada seseorang yang sedang ke luar,” dokter tersenyum sinis.

Amanda menoleh tak mengerti. “Apa?”

Dokter tak menyahut. Ia sudah tak tersenyum. Amanda menahan emosi untuk mencari jawab apa maksud dokter. Mereka menaiki tangga. Dokter melongokkan wajah ke samping bawah.

“Nanti kita evakuasi Dokter Gunadi,” katanya membelokkan pembicaraan.

Amanda ikut menengok ke bawah. Ia bergidik. Kakinya terpaku.

“Sudah sejauh ini, Amanda. Kita jangan menyerah,” Dokter Hengki membesarkan hatinya.

Amanda gentar. Pikirannya kalut. Ingat dirinya tak lagi melaporkan angka-angka semenjak Dokter Gunadi sakit. Ia tak menghitung. Itu tak terpikirkan lagi. Hari-hari terlalu berat.

Air banjir kelihatan begitu dekat. Kurang dari sepuluh anak tangga sebelum mengalir masuk lantai empat.

Orang-orang belum pindah ke lantai atas. Belum ada aktivitas pindahan. Tidak ada tempat. Terlalu sempit harus menampung lima ratusan orang.

Lantai lima sudah menampung dua pertiga jumlah orang di gedung rumah sakit ketika lantai dua mulai tenggelam. Sekarang nyaris semua berada di lantai lima, berebut tempat tersisa, meski masih sebulan air baru masuk lantai empat. Seratusan orang naik ke atap, terpaksa membuat tenda-tenda dari kain-kain seadanya.

Semua lorong dan kamar penuh sesak. Kecuali satu kamar yang dipakai khusus untuk pasien penyakit menular yang berbahaya.

Pasien yang kena muntaber ditempatkan di sini. Karena persediaan obat terbatas dan mencegah kekacauan baru akibat mewabahnya muntaber.

Dokter Hengki dan Amanda masuk ruangan itu. Di dalam sudah ada dokter Riyadi dan perawat Kinanti.

Lihat selengkapnya