Pagi hari, tepatnya fajar hari, Amanda terbangun oleh suara-suara. Orang-orang yang tidur di sebelahnya sudah pergi.
Enggan Amanda beranjak duduk. Ia menoleh. Orang-orang berdiri merubung jendela. Amanda memicingkan mata, melihat ke luar jendela di bagian atas kepala orang-orang. Langit masih gelap.
Suara-suara datang dari luar. Pengeras suara, Amanda mendengar-dengarkan. Tak ditangkapnya apa yang lagi diumumkan. Ia hanya menangkap satu dua kata. Tetapi cukup membuatnya bergegas bangun dan bergabung di depan jendela.
Langit masih gulita, diterangi sebagian-sebagiannya dengan cahaya yang disorot dari enam atau tujuh helikopter yang terbang berputar-putar, seolah sedang mengejar seorang penjahat yang terkepung di bawah.
Amanda tahu, ia sedang gembira. Hari ini tidak berjalan seperti kemarin-kemarin. Sekarang ada harapan untuk datangnya hari besok. Evakuasi akan lebih intensif dilakukan.
Sekitar 500 orang tersisa. Tinggi air sudah se-matakaki lantai empat. Orang-orang yang bertahan di lantai empat, lama-kelamaan terganggu oleh bau kotoran. Mereka naik ke atas, memenuhi ruang yang ditinggalkan mereka yang dievakuasi sehari sebelumnya.
Setiap hari, jika Tim SAR datang dan mengevakuasi 16 atau 17 orang, maka akhir bulan, awal tahun baru, rumah sakit bakal kosong. Barangkali juga bisa dipaksakan mengangkut lebih 17 orang, di mana anak-anak kecil bisa dipaksakan masuk. Sekarang tiba di pengungsian adalah hadiah natal yang terbaik.
Amanda memikirkan Ari Yogananda sudah berada di pengungsian. Lelaki itu mencari-cari dirinya. Bertanya pada petugas Tim SAR, di mana orang-orang dari gedung Rumah Sakit St Theresia diungsikan. Tetapi ia tak mendapat jawaban yang memuaskan. Dan ia juga mencari Dokter Gunadi yang ia kenal, karena tak tahu Dokter telah meninggal. Tapi mau mencari ke Rumah Sakit St Theresia atau tempat pengungsian sementara yang lainnya, ia tak bisa pergi. Jadi ditunggunya, barangkali Amanda akan datang.
Amanda berharap natal besok ia akan bertemu lelaki yang dicintainya itu. Pertemuan itu tentu membahagiakan, dan ia tak perlu lagi menanggung masa depan sendirian.
Para ibu yang tersisa sudah memasak lagi. Meski persediaan makanan cukup banyak, mereka masih berhemat. Karena trauma kelaparan sekian lama.
Pagi ini orang menemukan Faustius menggigil, menggelepar-gelepar. Darah menggenang dan berceceran di lantai dari lengannya yang luka.
Dewa di bawah brankar, entah bagaimana pemuda itu bisa berada di situ, ruang yang sempit yang bisa menjepitnya. Tubuhnya terlipat, seperti hewan kaki seribu yang terancam melipat tubuhnya. Setelah Dokter Hengki memeriksanya, orang tahu pemuda penolong mereka telah meninggal dunia. Sementara Faustius masih bisa diselamatkan.
“Apa yang kau rasakan, Faust? Apa yang bisa kami lakukan untukmu?” tanya perawat Amanda panic tak mengerti lelaki itu menolak orang mendekatinya.
Faustius menatap siapa di depannya yang berbicara. Urat di leher menegang. Wajahnya berwarna merah. Matanya menyorot tajam, seperti mengancam siapa saja. Ia sudah seperti hewan yang bersiap menyerang siapa pun yang mau menyentuhnya. Mulutnya bersimbahan darah yang dihisapnya dari lengannya.
Dokter Hengki menarik perawat Amanda untuk menjauh.
Amanda terpukul. Setelah perbincangan kemarin, ia jadi lebih mengenal siapa Faustius itu. Mereka, orang yang diandalkan Dokter Gunadi almarhum.
“Beginikah orang yang kecanduan morphin?”
“Benar, Amanda. Tidak ada yang bisa menolongnya. Ia mesti berkelahi sendiri. Kita butuh obat-obatan yang mengandung zat adiktif itu. Mungkin codein pemberian Dokter Gunadi sudah habis. Kita harus minta dari PMI.”
“Bagaimana melepaskan dirinya dari kecanduannya? Itu yang harusnya kita lakukan kan?”
“Benar, Amanda. Jika situasinya normal, kita akan membantunya melepas ketergantungannya dari narkotika itu. Sayang kita semua sedang dalam bencana.”
Amanda diam. Ia biarkan orang-orang menangkap dua tangan dan kaki Faustius. Luka berdarah dari lengannya harus segera diperban. Kehilangan banyak darah akan membunuhnya. Orang-orang itu mengikat tangan dan kakinya ke brankar.
“Dia bukan monster, kan Dok?” ketakutan Amanda melihat orang yang memberikan banyak pertolongan itu meronta-ronta. Darah di mana-mana. Ia merasa kasihan. “Orang itu tidak sadar, kan?”
“Musibah banjir besar ini, tak mungkin bisa kita, orang-orang ini semuanya, lewati hingga hari ini. Laki-laki inilah menyelamatkan semua orang.”
“Ya, aku tahu. Tapi kenapa dengan kecanduannya?” gusar Amanda.
“Dia bukan malaikat. Ia manusia yang sama seperti kita. Percayalah, dia melihat kematian lebih dekat daripada semua orang di sini. Karenanya ia butuh obat itu.”
“Benar. Merekalah yang mengurus orang-orang mati.”
Amanda bergidik. Ia selalu ingat mayat-mayat yang sedang ditumpuk-tumpuk di atas sebuah brankar kemudian diikat kuat-kuat. Brankar yang penuh mayat terikat didorong ke luar rumah sakit. Dua pemuda brandalan itu saja mengerjakan semuanya.
Sekarang melihat orang yang biasanya mengikat dan mendorong mayat mengalami pembalikan, Amanda merasa melihat Yesus yang disalibkan.
Orang mendorong brankar dimana jenazah Dewa diikatkan di atasnya. Seorang dokter mencegah. Mayat orang mati mesti disembahyangi dulu. Dokter itu yang memimpin sembahyang. Amanda dan Dokter Hengki mengikuti.
Siang, lewat tengah hari bantuan datang dari atas. Makanan dan keperluan untuk hidup lainnya diturunkan. Enam belas orang diangkut.
Dokter Hengki tidak melupakan permintaan obat-obatan yang dibutuhkan. Dalam kertas catatan itu tertulis juga Codein.