Desember seperti cepat datang dan lekas pergi. Tanggal 23 sudah. Entah apa yang terjadi di dalam rapat tim penyelamat. Hampir setiap hari tim penyelamat selalu datang. Sebulan menyelamatkan lebih banyak orang daripada selama sebelas bulan sebelumnya.
Rumah sakit menghitung benar jumlah orang kali ini. Bukan sesuatu yang diperlukan. Hanya untuk kesenangan saja. Amanda mencatatnya. Karena tim penyelamat memintanya mencatat. Amanda tak keberatan dan tak peduli apakah catatannya bermanfaat. Ia senang-senang saja. Karena kali ini angka-angka itu bukan jumlah orang yang mati. Tetapi yang akan diselamatkan ke luar.
Dua puluh dua hari. Hitung mundur di catatan Amanda sudah menyentuh angka belasan. Delapan belas pemuda. Sudah tidak ada anak-anak, orang lanjut usia dan perempuan. Staf medis sudah berangkat kemarin, tertinggal dua saja, Dokter Hengki dan perawat Amanda.
Orang yang mengerjakan dapur pergi pada penyelamatan terakhir. Faustius sebenarnya enggan maju menggantikan. Kalau ia mengerjakannya, berarti ia memasak untuk orang-orang yang lebih muda. Baru setelah Amanda bilang akan membantu pekerjaan dapur, ia bersedia.
Orang yang tersisa semuanya anak-anak muda. Mereka bertingkah seolah ingin tahu akhir hidupnya sebuah gedung. Dan Dokter Hengki sudah menduga alasan sebenarnya, orang-orang muda mengambil giliran yang terakhir. Mereka akan menyisir ruangan-ruangan, mengambili barang-barang yang dianggap bernilai.
Dugaan itu ada benarnya. Malam di atap gedung, biasanya banyak anak muda tinggal di situ, tapi kali ini sepi. Hanya tiga orang yang tinggal, sudah menggelar kasur sejak sore. Dokter sudah membayangkan orang sedang berkeliaran di lantai lima, mereka akan kecewa dan menyerah karena tak menemukan apa-apa.
Suara barang berat yang jatuh dan pecah terdengar dari lantai bawah. Tidak sekali. Seolah tahu tidak ada yang akan menghentikannya, suara-suara itu bersusulan.
Dokter Hengki, perawat Amanda dan Faustius yang berada di atap, mendengar juga teriakan dan suara orang tertawa di antara suara barang pecah. Betapa heboh. Perusakan jadi semacam kesenangan dan pelampiasan. Puas setelah sekian bulan terpenjara di rumah sakit, tak ada hiburan, malah kelaparan, terpaksa harus saling berbagi, dikasihani orang.
Dokter dan perawat hendak beranjak untuk melihat keadaan ketika Faustius mencegah.
“Tapi kalau dokter dan Amanda mau ikut pesta di bawah, ya silahkan saja. Tidak ada anjuran dokter. Dan jelasnya pesta itu menyenangkan,” kata Faustius.
“Itu barang inventaris rumah sakit.”
“Mungkin juga barang pasien yang tertinggal.”
“Akan tenggelam juga nantinya. Anggap saja korban bencana.”
Dokter dan Amanda duduk kembali.
“Pada dasarnya manusia itu makhluk egois. Orang ketika lahir hanya dihantar sampai pintu oleh ibunya, ia sampai ke dunia luar sendirian. Sebagai makhluk sosial baru di kemudian hari. Sepanjang hayatnya ia terperangkap tatanan nilai-nilai. Kita, semua orang, merindukan kebebasan seorang bayi. Dan apa yang terjadi di bawah. Pesta itu, begitulah. Jadi sebaiknya tidak usah dihalangi.”
“Bagaimana kalau mereka berbuat lebih jauh? Seperti... ah, aku tak berani membayangkannya,” kata Dokter Hengki berteka-teki.
“Apa itu?” Faustius mengernyitkan dahi.
“Orang-orang itu tak terima dirinya direndahkan oleh apa pun alasannya. Meski itu bukan orang tetapi banjir. Mereka menekan perasaan marahnya karena direndahkan, harus mengantre untuk mandi, untuk buang hajat atau keperluan lainnya. Sekarang ia harus mengatakan pada semua orang tentang posisinya, bahwa merendahkan dirinya adalah kesalahan.” Perawat Amanda ikut nimbrung.
“Aku takut pesta itu jadi lebih gila lagi. Seseorang melakukan pembunuhan. Apa pun perbuatan yang menentang nilai-nilai, kau katakan tadi, ekstase yang menyegarkan.”
Faustius melempar pandang kepada tiga pemuda yang duduk berkelompok di dekat pagar batas atap. Ketiganya memandang orang yang berbicara tadi. Faustius menangkap mata ketiganya. Ia segera tahu, orang-orang itu mendengar ucapan dokter barusan. Tetapi Faustius tak ambil pusing.
“Aku melindungi kalian dari kebrutalan itu,” kata Faustius seolah ia yang bertanggung jawab akan keselamatan Dokter Hengki dan perawat Amanda. Ucapannya agak diperkeras, membuat penekanan. Tetapi sebenarnya Faustius ingin ketiga pemuda itu bisa mendengarnya. “Dokter tua itu, dia minta aku menyelamatkan semua orang. Pikirnya aku bisa menangani semua hal.”
“Kau sok tahu,” sergah Amanda. Ia jengkel terus mendengar hal-hal yang ke luar dari garis pikirannya.
“Kau bayangkanlah. Dua orang jagoan. Seorang jago tua minta bantuan jagoan yang muda.” Faustius tertawa. “Aku akan kabulkan sampai selesai semuanya diangkut pergi.”
“Bilang apa kamu, Faust,” Dokter melempar gelasnya dengan kuat-kuat ke depan. Faustius dan Amanda terkejut mengikuti gerak gelas itu. Kilas cahaya pantulan pada permukaan gelas dari lampu di dekat pintu ke bawah, menghilang di seberang pagar batas atap rumah sakit.
“Kau mau lagi?” Faustius menyodorkan gelas miliknya.
Dokter belum menjawab, ketika terdengar suara orang mengerang dari lantai bawah. Dokter Hengki menatap Faustius. Amanda coba menolak bayangan yang melintas pikirannya. Ia katakan pada dirinya sendiri, itu hanya permainan.
Faustius melihat arah ketiga pemuda tadi. Ketiganya berdiri memandang ke arah tangga, seperti yang bersiap menerima terkaman sesuatu yang gelap.
Tengah malam pesta seperti belum selesai.
“Untung tidak sedang hujan. Kita tidak harus ke bawah.”
Bertiga tidur di atap. Berjarak dengan perawat Amanda di tengah.
Amanda baru bisa tidur, ketika keributan benar-benar berhenti.
Esok harinya Amanda bangun. Ia tidak melihat Faustius. Ia hanya melihat Dokter Hengki yang masih pulas. Tapi ia terkejut melihat lima pemuda sudah berdiri di pagar, sedang memandang ke luar rumah sakit. Di belakangnya sebuah ceret dan gelas-gelas berisi minuman.
Orang-orang itu yang semalam tinggal di atap, bertambah dua orang dari bawah. Amanda memikirkannya. Orang-orang itu kalau berkumpul, kelihatan akrab seperti saling bersaudara.
Amanda bangkit dari kasurnya. Ia baru tahu kalau di dekat kasurnya ada gelas berisi air berwarna putih. Itu tentu susu. Ia mengambilnya. Masih panas.
Siapa yang membuatkan? Salah satu pemuda itu? Atau si Faustius? Amanda yakin ini Faustius.
Dan benar, sebentar kemudian lelaki itu datang dengan membawa makanan. Faustius berteriak pada orang-orang di pagar. Memberitahu ada makanan di bawah. Mereka menoleh dan bergegas turun.
“Setidaknya bilanglah terima kasih!” seru Faust pada lima pemuda yang menoleh dan menjawabnya seperti yang diharapkan Faust.
Helikopter siang ini datang. Derum mesinnya sudah terdengar meski pesawatnya masih sekecil kelereng di langit.
Anak-anak muda dari lantai lima naik ke atap. Tak ada orang membawa sesuatu barang.
Faustius tertawa, “Benar, kan. Tidak ada yang bisa mereka bawa. Kecuali alat-alat dapur dan makanan di sana.”
Dokter Hengki mengurus orang-orang agar tidak berebut naik.
Perawat Amanda memandang spidol besar yang menggelinding. Seorang anak muda menengok ke bawah, tetapi tidak diambilnya. Ia naik ke helikopter.
Seorang anak muda di belakangnya mengambil spidol itu. Sementara menanti giliran naik, ia kembali ke pintu tangga. Ia menulis sesuatu.
Dokter Hengki memanggilnya untuk naik. Spidol itu dijatuhkannya.
“Kurang satu,” kata Dokter Hengki. Wajahnya tampak kusut. “Kita tidak mempersiapkan mereka tadi,” keluhnya.
“Akan kuperiksa di bawah,” kata Faust segera melompat ke pintu tangga.
“Hati-hatilah!”
Dokter Hengki mendekati Amanda. Orang masih dinaikkan.
“Ada yang belum ke mari?” tanya Amanda meyakinkan.
“Faustius mencarinya. Satu orang saja,” jawab dokter.
Seorang tentara dari helikopter yang membantu mengikatkan tali ke tubuh orang-orang mendekati mereka.
“Sudah selesai, Dokter? Mari masih cukup dua orang lagi,” katanya.
“Satu orang sedang mencari satu yang tersisa. Apakah cukup untuk empat orang dewasa?” jawab Dokter Hengki.
“Tidak cukup, Dokter. Ini sudah kelebihan beban. Baiklah kami akan datang lagi.”
Tentara itu naik. Helikopter bergerak ke atas lalu berputar, kemudian melaju ke arah kemunculannya. Di dalam helikopter tadi sudah ada sejumlah orang dari pengangkutan entah dari gedung lain.
Amanda mengambil spidol yang menggeletak di dekat pintu. Ia membaca tulisan yang dibuat orang tadi. Ia tersenyum. Pesan untuk seorang perempuan. Pesan harapan bertemu kembali.
Dokter Hengki bersandar di tepian atap, memandang Amanda.
“Jangan lupa, kamu ini perawat di rumah sakit ini!” kata Dokter Hengki.
“Ya. Toh banjir akan menenggelamkan semuanya. Anggap saja ini salah satu akibat bencana,” balas Amanda sambil tertawa. Ia bergeser dan mulai menulis.
Buat Ari Yagananda.