Seharian Amanda berkeliling. Harapannya lambat laun sirna. Barangkali Ari Yogananda tidak berada di posko pengungsian sementara. Atau barangkali ia berada di posko yang lain di Jakarta Utara.
Seminggu yang lalu natal tak dirayakan dengan misa. Seolah banjir membuat perayaan-perayaan agama tak terurus. Ia berharap mendapat hadiah natal yang paling istimewa. Ia berharap Tuhan mempertemukan dirinya dengan kekasihnya. Tetapi doanya tak terkabul. Lelaki itu tak pernah ia temukan.
Kemudian datang tahun baru. Hujan waktu itu. Ada upacara refleksi satu tahun yang dilewati. Berhujan-hujanan, merayakan tahun baru dengan acara-acara yang menyedihkan. Itu mengingatkan Amanda dengan Ari Yogananda. Setelah perayaan itu, Amanda mulai intensif bertanya ke orang-orang, semua pengungsi, satu-persatu, apakah datang dari Hyper Centurium. Tiga lantai yang dipakai pengungsian, Amanda memerlukan waktu dua hari bertanya. Jawaban selalu sama, tidak ada orang datang dari sana. Seolah tempat itu berada di sisi lain kota Jakarta.
Amanda mendapat jawaban lebih tegas dari seorang petugas pencatatan identitas pengungsi. Petugas tim SAR tidak pernah menaikkan pengungsi dari gedung enam lantai itu. Ada pembagian di seluruh Jakarta, posko-posko bertanggung jawab selingkup wilayah yang ditugaskan. Ada posko lain yang lebih dekat, mereka yang mengurus.
Sejak itu Amanda berkeliaran. Sebenarnya ia sudah akan diberangkatkan ke pengungsian di luar Jakarta. Tapi ia menolaknya, meminta nomor antriannya diundurkan, membiarkan pengungsi berikutnya yang berangkat.
Ia masih bertemu Dokter Hengki yang sibuk melayani pemeriksaan medis mereka yang baru datang ke posko. Amanda hanya akan datang membantunya kalau situasi hatinya sedang nyaman. Karena Ari lebih ia utamakan daripada siapapun, bahkan para korban banjir. Toh dirinya juga korban. Dan ia mengira dirinya sudah kehilangan semua orang di dekatnya. Ia yang datang dari panti asuhan, tak punya ayah-ibu dan saudara, tak punya apa-apa. Tersisa Ari seorang, menjanjikan masa depan bersamanya. Sekarang, ia perlu mencari lelaki itu, satu-satunya pegangannya, ia harus berjuang menemukan masa depannya itu.
“Yang kau butuhkan sebenarnya bukanlah lelaki itu. Tetapi orang-orang ini, semuanya. Dan aku juga,” begitu kata Dokter Hengki yang prihatin padanya.
Amanda tak bisa menjawab. Ia tahu tak bisa memastikan apakah dirinya sedang bertahan pada harapan ataukah itu hanya angan-angan. Tidak ada jaminan Ari masih hidup. Ia hanya mencoba untuk setia, mencari sekuatnya.
Faustius hilang kabarnya sejak menginjakkan kaki di posko pengungsian sementara. Amanda tak pernah melihatnya. Ia merasa kehilangan, tapi sementara ini ia bisa menolakkan perasaan sedihnya ditinggalkan seorang teman dari Rumah Sakit St Theresia. Ari membuat semua orang itu kehilangan tempatnya di pikiran Amanda. Ia doakan Faustius selamat dan selalu sehat. Karena ia hanya bisa mendoakan. Tak ada sesuatu lainnya bisa ia lakukan untuk lelaki itu. Ia berharap Faustius sudah menjalani hidupnya dengan baik di luar Jakarta.
Memakai alasan membantu tenaga medis di posko pengungsian lain di Jakarta Utara, Amanda ikut tim SAR mengantarkan obat. Dokter Hengki tak dapat mencegah. Ia tak dapat menyentuh perasaan Amanda yang kacau sejak tiba di posko pengungsian. Melulu kepada kekasihnya, perhatian Amanda terpusat. Seperti orang kehilangan akal warasnya.
Dokter Hengki heran dan takjub atas keberanian Amanda. Sesuatu yang baru dikenalinya. Selama ini Amanda tampak lemah, butuh perlindungan. Perempuan itu seperti hilang kesadaran, terobsesi oleh lelaki manajer keamanan pusat perbelanjaan itu. Dan ini melukai Dokter Hengki. Itu membuat dampak buruk. Sampai sekian kali ia melakukan kesalahan sewaktu menangani pengungsi yang sakit. Karena kemarahannya tak mendapat saluran untuk ditumpahkan. Dengan kemarahan pula ia membiarkan Amanda pergi.
Sebenarnya Dokter Hengki tak mau menyerah untuk membuat Amanda kembali tersadar dari ketidakwarasannya itu. Tetapi ia tidak bisa berada di dekat Amanda setiap saat. Sesekali saja ia bisa menemani perempuan itu. Dan cemburu yang ditanggungnya membuatnya marah.
Amanda sudah sampai di posko pengungsian sementara yang lainnya, masih di daerah Penjaringan. Dari tempatnya di atas gedung berlantai enam itu ia bisa melihat meski hanya sebidang kecil atap Hyper Centurium. Ia tahu itu benar gedung Hyper Centurium. Harapannya membuncah, ia akan temukan kekasihnya. Ia yakin instingnya tak pernah menangkap bayangan kalau lelaki itu tak selamat dari bencana.
Amanda berkeliling sebagaimana di posko pertama. Ia tak menyerah dalam usaha satu-satunya yang bisa ia lakukan. Seminggu ia di posko kedua itu. Ia membantu menjadi perawat di situ, demi bisa menanyakan dengan agak bebas pada tiap orang yang datang padanya. Ia masih punya jam istirahat yang dipakai buat menyusuri setiap ruangan di posko. Sampai tubuhnya terlalu lelah, ia akan istirahat memandangi air banjir di bawahnya. Ari Yogananda tetap tinggal di lokus terpisah darinya. Sekian hari lagi ia bertahan. Hatinya berdebar, tak lelah berdoa. Berharap Tuhan mempertemukan mereka.
Ia mencari informasi rencana evakuasi, kapan dan akan ke mana helikopter pergi. Ia akan menunggu sampai Tim SAR mengevakuasi orang-orang di Hyper Centurium. Ia akan ke gedung itu. Tempat terakhir bagi harapannya.
Saat itu tiba. Ia telah mempersiapkan mentalnya. Ia akan menang atau kalah. Gedung itu lokasi pertarungan final. Ia akan tahu takdirnya. Apakah Ari Yogananda memang belahan jiwanya yang dulu diciptakan Tuhan berpasangan dengan dirinya? Jika lelaki itu tidak ada di sana, ia berjanji akan membuka hatinya untuk lelaki lainnya, Dokter Hengki.
Hyper Centurium lebih besar dari rumah sakit St Theresia. Berlantai enam. Empat lantai bawah adalah pusat perbelanjaan, dua lantai atas disewakan untuk ruang-ruang perkantoran.
Ketika tenaga medis datang, orang-orang di gedung itu menyambutnya. Seorang dokter yang lebih dulu ditempatkan di gedung itu kewalahan. Tidak hanya memeriksa dan mendiagnosis yang sakit tetapi sekaligus menyiapkan obat dan suntikan sendiri, juga melakukan pencatatan sekedarnya. Kedatangan Amanda sebagai perawat diharapkan bisa membantu.
Tim SAR kembali dengan membawa delapan belas orang. Sebelum mereka berangkat Amanda menanyakan setiap berapa hari tim penyelamat datang ke Hyper Centurium.
“Kami tidak bisa memastikan. Tergantung kondisi orang-orang yang terjebak di gedung lainnya,” begitu jawab petugas penyelamat sambil tersenyum melambaikan tangan sebelum helikopter pergi.
Perawat Amanda tidak bisa segera mencari Ari. Ia harus membantu dokter lebih dulu. Ia sungkan untuk berterus terang soal tujuan dirinya datang. Bagaimana pun dirinya seorang perawat, tak layak mendahulukan kepentingan pribadi daripada tugas kemanusiaan. Kalau dirasanya pekerjaannya sudah tak terlalu menuntut, ia akan berkeliling. Dan lagipula dari tempatnya di ruangan besar itu ia bisa melihat orang-orang yang berangkat ke posko pengungsian.
“Dokter, jangan sungkan minta tolong pada saya,” sapa Amanda.
“Terimakasih telah datang. Sudah lama di sini tidak ada bantuan perawat atau apoteker. Dulu ada satu perawat, tetapi sayang tak selamat oleh infeksi karena vaksin tetanus telah habis. Ia terlalu memaksakan diri. Kau tentu mengalami kekacauan yang sama di rumah sakitmu. Ah, kau dari rumah sakit mana?”
“St Theresia.”
“Rumah Sakit St Theresia? Bagaimana kabar Dokter Gunadi? Sudah pindah di posko?”
“Dokter kenal orang tua itu?”
“Tentu saja. Dia dokter yang baik. Saya pernah dapat bimbingannya sewaktu co-ass di rumah sakit itu.”
Amanda murung kembali. Teringat ia, dokter yang sudah jadi orang tuanya sendiri. “Sayang beliau tidak cukup kuat. Tim penyelamat terlalu lama tidak datang. Kami kekurangan bahan makanan.”
Dokter itu terkejut. Terdiam sebentar. “Bencana sebesar ini, tentu kesudahannya akan seperti itu bagi orang yang mendahulukan kemanusiaan,” katanya selesai memanjatkan doa bagi mendiang Dokter Gunadi.
“Apa ‘kematian yang berhujan’ juga pernah menimpa gedung ini?”
“Begitulah. Lantas saya dikirim ke sini. Terlambat, orang sudah mulai berjatuhan.”
“Dokter, saya minta ijin kalau ada kesempatan, saya harus mencari seseorang di sini.”
Dokter menatap Amanda.
“Pernahkah Dokter melihat atau dengar seorang manajer keamanan pusat perbelanjaan di lantai bawah?”
“Sayang saya tidak bisa membantu. Saya tidak tahu. Saya tidak pernah dengar orang membicarakan seorang manajer. Orang itu yang kau cari?”
“Calon suami saya, Dokter.”
“Cari saja sekarang. Akan saya tangani orang-orang di sini. Lagipula sudah tidak banyak pasien. Asalkan obat cukup tersedia, semua bisa ditangani.”
Amanda mencari tahu lewat mata dokter, apakah ia sungguh-sungguh mengijinkannya. Dirinya baru saja datang. Bagaimana mungkin Tim SAR memberi tempat hanya untuk keperluan mencari orang?
“Di sini ada sekitar 250 orang. Dua lantai yang kering.”
Amanda tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia pergi ke bawah. Mulai menyusuri gedung dari ruang paling ujung. Sayang di sini tidak semua ruangan terbuka. Beberapa ruangan terkunci. Kata orang dikunci dari dalam, barangkali ada orang sedang istirahat.