Mata Amanda mengerjap-ngerjap. Masih remang-remang. Ia mengira-ngira dirinya masih di posko yang kemarin pagi. Ia menoleh. Dokter Hengki, dan Faustius. Melihat orang yang ia kenal ada di sebelahnya, ia jadi lebih tenang. Amanda merebahkan diri lagi.
Ia memikirkan bahwa dirinya sudah menjejakkan kaki di Hyper Centurium. Dua hari ia berusaha mencari Ari Yogananda di gedung tempatnya bekerja itu. Ia membaca daftar orang-orang yang ditempel di dinding, termasuk yang sudah diangkut ke luar. Tidak ada nama kekasihnya.
Masih ada hasrat untuk mencari lagi. Ia membayangkan Ari terjebak oleh banjir yang sudah terlanjur tinggi. Kakinya berdarah, tergores benda-benda tajam di bawah air yang pekat, tangannya juga luka akibat menyibak sampah, ia menimbang resiko jika tetap pergi ke Hyper Centurium. Untuk kembali ke Rumah Sakit, sudah jauh juga, ia putuskan mengikuti orang-orang masuk ke gedung tinggi di dekatnya berdiri. Memikirkan begini, Amanda merasa bisa menemukan Ari dengan mencari di gedung-gedung sepanjang jalur yang mungkin dilalui kekasihnya itu.
Seperti Rumah Sakit St Theresia, gedung itu pasti mengalami hal yang sama. Orang-orang berjuang bersama bertahan hidup. Amanda sudah membayangkan kalau Ari akan melindungi dirinya sendiri demi Amanda dan berusaha melindungi semua orang di sana. Ia tidak akan menyerah dan putus asa. Betapa tak bertanggung jawabnya jika dia menyerah dan mati, karena harapannya bersama Amanda seharusnya lebih kuat dari apa pun. Dia tentu tidak mendapat kabar kalau Amanda meninggal dunia. Lain cerita kalau sebaliknya.
Kalau Ari berhasil bertahan hidup, ia akan tinggal di gedung yang Amanda tahu. Ia akan berusaha pergi ke salah satu dari Hyper Centurium atau Rumah Sakit St Theresia. Kemarin Amanda sudah ke Hyper Centurium, tidak ada Ari di sana. Barangkali ketika Amanda sudah dievakuasi dari tempatnya bekerja itu, saat itulah Ari datang, karena ia tak tahu Amanda sudah pergi.
Amanda bangkit berdiri. Ia sudah memutuskan untuk tak menyerah. Ia akan ikut Tim SAR lagi, akan pergi untuk kekasihnya.
Dokter Hengki terbangun, sekilas melihat Amanda yang ke luar ruangan. Faustius membuka matanya juga. Cahaya semburat datang dari jendela. Pagi menyelamatkan orang-orang dari impian buruk, sekaligus pembunuh impian bagus.
Beberapa jam kemudian Amanda bertemu Dokter Hengki lagi di ruang periksa pasien.
“Aku harus pergi, Dokter,” katanya.
“Kau belum menyerah? Mau sampai kapan?” cibir dokter.
“Dia yang memberiku harapan, sekarang biarlah aku membalas dengan memberinya harapan. Maaf, membuat risau Dokter.”
Dokter Hengki tertunduk. Ia menggenggam pulpennya dengan geram, tetapi tidak diperlihatkannya pada perempuan yang masih dicintainya.
“Aku akan ke Rumah Sakit St Theresia.”
“Ke sana? Ada apa ini? Si Ari Yogananda di Rumah Sakit St Theresia?”
“Insting yang menuntunku.”
“Dengan cara apa lelaki itu ke sana? Dia bukan petugas medis atau tim penyelamat yang bisa meloncat-loncat gedung ke gedung.”
Amanda tak bisa menjawab. Dokter Hengki jadi agak gusar. “Jangan sakiti dirimu sendiri, Amanda. Kau kan tahu, aku mencintaimu. Kau bisa terlantar di sana? Bahaya. Aku akan ikut.”
“Tidak. Tidak. Biar aku sendiri. Aku sudah belajar bertahan hidup. Toh di sana tersisa banyak bahan makanan. Jangan ikut, Dokter lebih dibutuhkan di sini.”
Dokter terdiam. Ia marah karena mencintai Amanda. Kecemburuan pada lelaki yang tidak diketahui hidup-matinya, membuatnya kacau. Dokter tak mau melihat lelaki itu benar-benar berada di rumah sakit itu. Tapi membiarkan Amanda berangkat sendirian, itu siksaan lebih berat. Ia tak mau Amanda tak bisa pulang ke posko.
“Katakan kau tidak akan bermalam di sana! Mungkin bukan makanan yang mengancam, tapi cuaca dan kuman-kuman di sana.”
“Aku tidak tahu akan sampai berapa lama.” Amanda memperhitungkan juga kalau Ari mungkin masih berusaha bagaimana ikut naik helikopter dan diturunkan ke Rumah Sakit St Theresia. Mungkin juga dengan perahu dayung, dan ia sedang di jalan sekarang.
Dokter mengambil tangan Amanda, menggenggamnya kuat.
“Aku ingin kau hidup. Aku ingin kau berbahagia,” gemetar suara dokter. Ia menyerah. Tahu ia kuatnya keinginan Amanda, tidak bisa dilawan. Ini tentang cinta.
“Aku benar-benar harus pergi ke sana. Biarkan aku tahu kejelasannya.”
“Kalau kali ini dia tidak ada di sana, maukah janji,” suara Dokter Hengki berubah melemah. Ucapannya tak berlanjut. Hanya pandang matanya yang bergetar, dan Amanda memahami.