Laylasari sedang berpikir tentang kartu nama yang diberikan tante Farida kepadanya, ketika pemuda itu berdiri disamping kursinya. Dia menolehkan mukanya dari pandangannya diluar jendela memandang keatas. Pemuda itu tersenyum, tangannya mengambil tas selempang dari kursi disebelah Layla. Lalu meletakkan tas itu ke pangkuan Layla yang duduk di pinggir kaca jendela pesawat.
“Maaf, sesuai nomor di boarding pass bangku ini untukku,” kata pemuda itu masih dengan tersenyum.
“Oh, silahkan...,” sambut Layla sedikit terkejut dan tersipu malu. Pikirannya yang masih pada kartu nama, sehingga tidak menyadari telah menaruh tas selempangnya bukan pada tempatnya.
Detik berikutnya pemuda itu telah duduk disamping Layla. Dia menyilangkan kakinya tanpa perlu mengatur lebih dulu lipatan celana jeansnya yang ketat. Pada saat pandangan pertama, pemuda itu sudah tertarik padanya. Entah pada penampilannya yang fit, dengan stelan baju dan celana panjang warna cream. Atau mungkin pada rambutnya yang mirip ratu sinetron Desy Ratnasari di tahun Sembilan puluhan.
“Kita telah menunggu pesawat ini selama satu jam lebih,” kata pemuda itu.
“Hh … emn,” Layla mengangguk perlahan.
“Setiap kali pesawat selalu mengalami delay, sementara kalau kita terlambat sedikit saja tiket hangus,” gerutu pemuda itu.
“Kalau mau enak, beli pesawat sendiri,” komentar Layla, pemuda itu tertawa.
“Apakah kamu tidak merasa bosan? Aku telah melihatmu sejak di Bandara,” lanjutnya.
“Kenapa harus bosan?” Layla menyahut ketus.
“Kelihatannya kamu sangat menikmati perjalanan ini,” Pemuda itu tersenyum lagi.
“Enggak juga,” Layla menggeleng.
“Beruntung aku mendapat bangku di sebelahmu, jadi … hilang juga rasa bosanku,” kata pemuda itu dengan nada serius.
“Emang kenapa?” Layla tersentak.
“Perasaanku ketika melihatmu. Kamu mempunyai daya tarik yang istimewa,“ Pemuda itu masih tersenyum percaya diri.
Dikatakan sedemikian itu Layla justeru tersinggung. Memang sebenarnya tidak ada yang perlu dipedulikan dengan pemuda itu. Namun dia sangat membenci pada sikap pemuda yang over confidence. Menganggap semua wanita akan mudah diperdaya. Tetapi dia juga tidak mengatakan apa apa. Pikirannya tetap saja tertuju pada kartu nama. Sehingga tidak begitu tertarik dengan pembicaraan pemuda yang duduk bersebelahan ini.
Layla mengambil majalah dari dalam tas selempangnya kemudian membuka halamannya. Dengan harapan pemuda itu menangkap isyarat bahwa dia tidak mau diganggu. Akan tetapi rupanya pemuda itu tidak mau ambil perduli. Perhatiannya tetap tertuju padanya dan semakin serius. Seperti melihat sesuatu yang luar biasa ada pada diri Layla. Bahkan pemuda itu terus mengajaknya berbicara.
“Namaku Bramastia, panggil saja Bram,” Pemuda itu mengulurkan tangannya.
Layla menahan jemarinya di sudut halaman majalah. Ada perasaan sungkan menghadapi sikap pemuda seperti ini. Sebagai orang yang berpositif thinking, dia tidak berprasangka buruk. Namun dalam suasana hati yang sedang galau, perkenalan sebenarnya tidak diharapkan. Dia menganggap pertemuan dengan orang lain dalam sebuah perjalanan adalah biasa. Namun demikian demi menjaga etika, dia membalas uluran tangan pemuda itu.
“Layla,” balasnya singkat.
“Layla? nama yang cantik,” puji pemuda yang menyebut namanya Bramastia itu, “Sedang dalam perjalanan bisnis barangkali?” lanjutnya seakan menebak.
“Enggak juga,” Layla kembali menjawab dengan menggeleng.
“Kalau begitu dalam rangka apa dong?” tanya Bram dengan tatapan senyumnya.
“Hanya perjalanan biasa ...,” jawab Layla santai saja.
“O, begitu?” Bram mengangguk tidak mengejarnya.
“Aku nggak tahu bagaimana harus memberitahukanmu,” lanjut Layla mulai cuek.
“Yaa … terserah kamu saja, namanya juga privacy. Orang lain kan nggak boleh memaksakan kehendaknya untuk harus tahu,” Bram menunjukkan rasa kecewa.
“Nah, itu tahu sendiri jawabannya,” sahut Layla.
“Benar juga ....” Bram mengangguk lagi yang sebenarnya sedikit dongkol mendengarnya.
Sejenak pembicaraan terputus karena ada pemberitahuan pesawat sudah siap terbang. Petugas mengingatkan seluruh penumpang mengenakan sabuk pengaman dan bagi yang membawa handphone agar mematikannya.
Layla pun patuh, segera memasang sabuk pengaman dan mematikan Nokia 5110-nya. Dia tidak menanggapi kata-kata Bram yang seperti tidak puas. Kemudian memalingkan mukanya lagi ke jendela kaca memandang keluar.
Beberapa saat kemudian Pesawat melakukan take off dengan lancar. Bram pun turut melempar pandangannya ke jendela searah dengan pandangan Layla. Dimana mereka dapat melihat perkampungan penduduk, jalan-jalan, dan sungai yang terlihat seperti gambar atlas. Sementara itu pesawat terus terbang semakin tinggi meninggalkan bandara. Pemandangan pun kini berubah menjadi gumpalan awan putih seribu domba.
“Pemandangan yang Indah sebenarnya, namun kita tidak bisa menikmatinya terlalu lama. Karena awan putih telah tersapu angin kencang yang ditimbulkan oleh pesawat ini,” Bram berkomentar seakan berpuisi.
Layla menarik mukanya lagi dari jendela dan menolehkannya kesamping. Sehingga keduanya saling bertatap mata. Kembali dia hanya tersenyum kecil menganggukkan kepala. Kemudian mengamati pemuda itu yang memang boleh dibilang Wow … keren. Pantaslah kalau dia sangat konfidensi menghadapi wanita. Kemudian Bram mengikuti pandangan Layla yang tertuju kekakinya.
“Seratus persen Levis Asli. Atau Sepatu Beverly dari Italia? Yang mana kira-kira kamu tertarik?” kata Bram dengan nada serius tapi sambil bercanda.
“Tetapi kurasa kita tidak sedang membahas hal itu, kan?” Layla cemberut.
“Maksudku sebagai eksekutif muda, aku harus menjaga penampilanku,” lanjut Bram.
“Emang gue pikirin?” cuek Layla.
“Aku arsitek sebuah perusahaan bonafide di Jakarta,” Bram terus bicara.
“Perusahaan bonafide?” Layla seperti meremehkan.
“Ya, disaat perusahaan lain dilanda krisis financial saat ini, perusahaanku tetap eksis,” Bram makin semangat berbicara.
Kali ini Layla tidak merespon ucapan Bram. Baginya tak ada yang lebih penting saat ini kecuali berkaitan dengan kartu nama. Maka dia memutuskan berkonsentrasi saja pada urusan sendiri. Kemudian kembali melempar pandangannya keluar jendela.
Bram sekarang membiarkan, hatinya semakin mendongkol. Melihat Layla sama sekali tidak terpengaruh. Tadinya Bram berharap, Layla akan bertanya. Perusahaan apa dan dimana kantornya. Bahkan menanyakan alamat tempat tinggalnya dan seterusnya.
“Gadis yang aneh,” pikir Bram, sorot matanya dingin dan tidak peduli sama sekali.
Namun Bram juga segera memaklumi, mungkin gadis itu tidak mau diganggu. Kini Bram mengambil sikap santai saja. Lalu mengubah posisi badannya menghadap lurus ke depan. Selanjutnya duduk manis, diam seribu bahasa, dan sambil berpura-pura tidur.
Melihat sikap Bram seperti itu, didalam hatinya Layla ketawa. Dia juga mengambil posisi sama dengan pemuda itu sejajar menghadap ke depan. Beberapa saat kemudian dia mencoba mencuri pandang. Eh, pemuda itu benar-benar seperti telah tertidur. Untuk beberapa saat kemudian suasana menjadi hening.
Layla hanya bisa tersenyum-senyum sendirian. Sebenarnya dia juga sedang terpesona melihat pemuda itu. Entah apa yang membuat dirinya tersentuh hatinya. Bram seperti punya sense of apa begitu. Sehingga menimbulkan kesan yang extra ordinary. Namun pikirannya yang hanya fokus pada kartu nama membuatnya apatis. Kemudian berusaha mengalihkan perhatian dari pemuda itu.
Dengan hati-hati Layla mengambil kartu nama dari dalam tas-nya. Mulai lagi membaca satu persatu tulisan yang tertera didalamnya. Sementara itu angannya melayang lagi pada percakapan semalam di rumah tante Farida di Jogya.
***