Dua minggu pertama di Jakarta, Rasanya kayak anak baru sunat. Kaku, kikuk, dan kelihatan polos.
Tapi begitu nyemplung ke dunia kerja sebagai barista, pelan-pelan dia sadar… ini bukan cuma soal nyeduh kopi.
“Abrar! Itu foam-nya tebal kali! Kau kira ini sabun cuci muka?!”
Suara Renni, supervisor shift pagi, terdengar dari balik mesin espresso. Nadanya ketus, tapi bukan benci lebih ke “ya begitulah dia tiap hari.” Cewek 30-an, tajam lidahnya, tapi paling peduli soal SOP.
Abrar cuma cengengesan, ngelap foam yang tumpah. “Maaf, Kak. Aku kira customer-nya lagi jerawatan.”
Suasana bar langsung pecah. Di sinilah dia mulai cair. Di tengah aroma arabika dan grinder yang meraung tiap menit, justru kelakar jadi penyelamat.
Hari-harinya dimulai dari jam 7 pagi, kadang bisa sampe jam 10 malam kalau shift dobel. Tapi justru di tengah tekanan itu, dia mulai belajar sesuatu yang lebih penting dari bikin kopi: adaptasi.