Jakarta enggak Ramah, Tapi Aku Nekat Datang

muhammad rio al fauzan
Chapter #4

Tersesat Dalam Nama yang Tak Lagi Menjawab

Aku pengen hilang sebentar, Do. Tapi tenang aja, bukan hilang yang nyakitin siapa-siapa.”

Itu cuma jadi kalimat ngambang yang awalnya Tado kira sekadar kelakar tengah malam.

Malam itu mereka di Bisada bar kecil yang biasa jadi pelarian setelah jam kerja.

Tado ketawa-ketawa, Abrar kelihatan biasa aja, cuma agak lebih banyak melamun.

Dua hari setelahnya, Abrar beneran hilang.

Tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa jejak.


Hari ini, Tado datang ke Bisada lagi.

Bukan karena pengen minum, tapi karena kangen.

Bar ini jadi semacam altar kenangan. Tempat dia dan Abrar sering debat soal lagu, cewek, hidup, bahkan mimpi gila mereka.


Tado duduk di pojokan, tempat favorit mereka.

Meja itu masih ada coretan spidol dari malam mereka mabuk dan nulis:

“Kalau gagal, kita mulai dari bawah asal jangan saling ninggal.”


Kepalanya berat. Dia mulai nyalain rokok, padahal biasanya nggak ngerokok kalau sendirian.


Tiba-tiba, ada suara cewek pesan minuman dari balik meja bar.


“Espresso double, dan jangan terlalu panas.”


Suaranya tenang. Tegas. Tapi ada yang dingin juga.


Tado nggak langsung noleh. Tapi pas cewek itu jalan ke arahnya dan duduk di kursi sebelah, dia baru sadar:

Wajah itu asing. Tapi ada sesuatu yang familiar dari caranya melihat ruangan.

Kayak orang yang juga menyimpan kenangan di tempat ini.


Cewek itu nggak langsung nyapa. Dia cuma buka jaket jeansnya pelan, dan ngeluarin korek kecil warna hitam.

Korek yang sama kayak yang dulu sering Abrar mainin.


Tado noleh, alisnya naik.

Lihat selengkapnya