Jakarta Zero: a country covered in ice due to nuclear war (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #1

Musim Dingin Jakarta

Angin menggigit tulang di setiap sudut kota, mengukir cerita baru di atas puing-puing Jakarta. Salju turun tiada henti, mengubah jalanan yang dulu ramai menjadi lautan putih yang membisu. Di antara gedung-gedung yang retak, sebuah bayangan kecil bergerak. Itu Aksara.

Kakinya yang dibalut sepatu bot usang menapaki salju setebal lutut, meninggalkan jejak singkat yang cepat tertutup. Napasnya mengepul putih di udara dingin.

Sudah tiga tahun sejak 'Musim Dingin Nuklir' itu dimulai. Ia tidak ingat banyak tentang dunia sebelum salju. Ingatannya hanya berupa kilasan kabur tentang matahari, suara mobil, dan tawa orang-orang.

Kini, dunianya adalah kesunyian. Ia berburu tikus, mengumpulkan sisa-sisa makanan dari toko-toko yang hancur, dan tidur di bawah reruntuhan.

Aksara mendekati sebuah minimarket yang pintunya terkunci rapat. Kaca depannya pecah, menyisakan lubang menganga yang dihiasi es. Ia menunduk, meliuk, dan masuk ke dalam.

Bau busuk yang samar bercampur dengan aroma dingin yang menusuk hidung. Rak-rak yang dulu penuh kini kosong melompong.

Ia tahu tempat ini sudah dijarah berkali-kali. Tetapi, ia tidak pernah menyerah. Prinsipnya sederhana: selalu ada sesuatu yang terlewatkan.

Pandangannya menyapu lantai yang berserakan. Kaleng-kaleng kosong, bungkus plastik, dan debu salju.

Di bawah rak paling belakang, ia melihat sebuah benda kecil yang tersembunyi di balik tumpukan kardus. Itu adalah sebuah kaleng sarden.

Senyum tipis terukir di wajah Aksara. Ini lebih baik dari tidak sama sekali.

Ia memasukkan kaleng itu ke dalam tas ranselnya yang kumal, yang sudah berat oleh tumpukan buku kosong yang ia kumpulkan.

Buku-buku itu adalah harta karunnya. Ia tidak bisa membaca, tetapi ia mencintai kertas. Baginya, itu adalah sisa-sisa dari sebuah peradaban yang pernah ada.

Setelah keluar dari minimarket, badai salju semakin tebal. Aksara merasakan hawa dingin yang lebih kuat, menandakan suhu semakin turun.

Ia harus segera mencari tempat berlindung.

Matanya menangkap gedung yang paling tinggi di sana. Sebuah gedung pencakar langit yang dulunya mungkin adalah kantor.

Gedung itu adalah tujuan yang berbahaya. Terlalu tinggi, terlalu terbuka, terlalu banyak risiko. Tetapi, di cuaca seperti ini, ia tidak punya pilihan.

Ia mulai berjalan, langkahnya memelan karena kedinginan. Jaketnya tidak lagi cukup.

Aksara melewati patung yang ditutupi es, sebuah monumen bisu dari masa lalu yang terlupakan. Ia berhenti sejenak, mengagumi keindahan yang suram itu.

Ia membayangkan bagaimana patung itu dulu dikelilingi oleh hiruk pikuk kota.

Kini, hanya ada dia, salju, dan keheningan yang tak terhingga.

Lihat selengkapnya