Kehangatan dari tumpukan buku yang dibakar di tengah lobi terasa seperti keajaiban yang terlupakan. Aksara dan Kirana duduk berdekatan, keheningan di antara mereka perlahan mencair. Kirana menatap nyala api, matanya memantulkan warna jingga yang menari.
“Apakah kamu percaya Tuhan?” tanyanya tiba-tiba, suaranya pelan dan bergetar.
Aksara menoleh. Pertanyaan itu membangkitkan ingatan yang samar. "Orang tuaku... mereka selalu bilang, 'Tuhan Maha Pengasih'."
Ia tidak yakin apa arti kata-kata itu. Itu hanya potongan-potongan suara dari masa lalu yang ia hampir lupakan. "Mereka percaya Dia akan melindungi kami."
Kirana tersenyum kecut. "Itu yang orang tuaku bilang juga. Tuhan adalah 'kekuatan yang Maha Kuasa'. Yang melindungi kita dari bahaya."
"Dia tidak melindungi kita," kata Aksara, tanpa nada emosi. Ini bukan pernyataan, melainkan sebuah fakta. "Kalau Dia melindungi, kenapa kita di sini?"
Senyum Kirana menghilang. Ia menunduk, menggenggam erat tas ranselnya. "Orang tuaku percaya pada-Nya. Mereka selalu berdoa... tapi mereka mati."
Suaranya pecah di akhir kalimat. "Mereka adalah pejabat pemerintah. Mereka bilang Tuhan akan menolong mereka... tapi Dia tidak melakukannya."
Angin di luar melolong lebih kencang, seolah ikut meratapi.
"Mungkin Tuhan itu ada, tetapi Dia sudah mati," bisik Kirana, suaranya nyaris tak terdengar.
Aksara menatapnya, bingung. "Mati?"
"Papa bilang, kehancuran ini bukan hanya karena bom," lanjut Kirana. "Manusia menjadi begitu jahat, begitu serakah. Kita membunuh semua kebaikan, semua harapan... kita membunuh Tuhan."
Aksara tidak mengerti, tetapi ia merasakan kesedihan yang mendalam dari kata-kata Kirana. Ia memikirkan kembali ucapan orang tuanya. "Pengasih" dan "melindungi". Dua kata yang terasa begitu asing di dunia yang telah hancur.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat terdengar dari arah pintu lobi. Bukan suara satu orang, melainkan beberapa. Mereka melangkah dengan langkah yang pasti, seolah tahu persis apa yang mereka cari.
Jantung Aksara berdebar. Ia segera memadamkan api dengan salju dan menarik Kirana ke balik meja resepsionis.
"Jangan bersuara," bisiknya.
Bayangan dua pria besar dengan jaket tebal dan penutup wajah memasuki lobi. Tangan mereka menggenggam pipa besi. Mereka bukan penyintas biasa, melainkan bandit yang terorganisir. Mereka memindai ruangan dengan mata yang lapar.
Aksara memeluk erat potongan besi di tangannya.
Salah satu bandit menendang sebuah kaleng kosong. Suara nyaring itu menggema di dalam lobi yang sunyi. "Aku tahu kalian ada di sini," teriaknya. "Serahkan semua barang kalian!"
Kirana memeluk Aksara erat-erat, tubuhnya gemetar.