Jakarta Zero: a country covered in ice due to nuclear war (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #3

Jejak Seorang Ayah dan Kota Bawah Tanah

Langkah mereka terhenti saat suara dari balik reruntuhan menarik perhatian Aksara dan Kirana. Dari balik bayangan sebuah bus yang membeku, seorang remaja laki-laki muncul. Usianya mungkin sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun, jauh lebih tua dari mereka. Ia duduk di antara tumpukan arsip, membersihkan sebuah senapan yang terlihat usang. Rambutnya panjang dan berantakan, dan matanya memancarkan kelelahan yang dalam.

Aksara menarik Kirana ke balik sebuah mobil tua. Mereka mengamati remaja itu dari kejauhan.

Remaja itu tiba-tiba menghentikan gerakannya. Ia mendongak, seolah merasakan kehadiran mereka. "Kalian bisa keluar sekarang," suaranya serak namun tenang. "Aku tidak akan menyakiti kalian."

Aksara menatap Kirana. Wajahnya ragu.

"Aku tahu apa yang kalian pikirkan," kata remaja itu lagi. "Dunia ini membuat kita saling mencurigai. Tapi setidaknya, mari kita berbagi cerita."

Aksara dan Kirana melangkah keluar.

"Namaku 'Adiwira'," kata remaja itu, meletakkan senapannya di sampingnya. "Aku penyintas dari masa lalu. Aku tahu banyak hal."

Mereka duduk di dekat Adiwira, membentuk sebuah lingkaran kecil di antara puing-puing yang membeku.

Adiwira memulai ceritanya. "Perang ini bukan terjadi karena ketidaksetujuan agama atau ideologi. Perang ini terjadi karena hal yang sangat sepele. 'Perang dagang'."

"Perusahaan-perusahaan besar saling bersaing. Mereka menguasai sumber daya, dari makanan hingga teknologi. Mereka memanipulasi politikus, memicu ketegangan. Lalu, mereka menggunakan agama dan ideologi sebagai alat untuk memecah belah rakyat, membuat kita saling membenci," jelas Adiwira.

"Jadi, perang ini... adalah kebohongan?" tanya Kirana, suaranya dipenuhi keterkejutan.

"Tentu saja. Perang tidak pernah tentang ideologi atau kebaikan. Perang adalah bisnis. Dan bom-bom itu... adalah produk yang paling menguntungkan," jawab Adiwira sinis.

Aksara, yang tidak pernah memikirkan hal-hal seperti itu, merasa dunia yang ia kenal—yang sepi dan sederhana—tiba-tiba menjadi rumit dan busuk.

Adiwira melihat ke arah Kirana. "Orang tuamu... mereka pasti salah satu dari mereka, kan? Pejabat pemerintah?"

Kirana mengangguk, terkejut. "Bagaimana kau tahu?"

"Ranselmu. Itu ransel yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk para pejabat dan keluarga mereka. Itu tanda status, bahkan di hari kiamat," kata Adiwira, suaranya datar.

Ia menatap mata Kirana. "Apa yang mereka beritahukan padamu? Tentang apa yang terjadi? Mereka pasti berbohong."

Kirana terdiam, ingatannya kembali ke kata-kata ayahnya. “Kita harus melindungi rakyat kita dari musuh-musuh agama… ini demi kebaikan bersama.”

"Mereka bilang perang ini adalah demi kebaikan... demi Tuhan," jawab Kirana, suaranya bergetar.

Adiwira tertawa hampa. Tawa itu terdengar seperti suara besi yang bergesekan. "Tidak ada yang namanya 'demi kebaikan'. Itu hanya slogan untuk membuat orang-orang mau mati demi kepentingan mereka."

Lihat selengkapnya