Langkah-langkah Aksara dan Kirana terasa lebih berat. Pintu besi yang ditinggalkan Adiwira di belakang mereka seolah mengunci masa lalu, memaksa mereka menghadapi masa depan yang tak terduga. Mereka kini berada di jalan tol yang membeku, yang dulunya adalah jalur sibuk menuju Jakarta Utara.
Aksara memeriksa belati esnya. Rasanya dingin, tetapi memberikan keyakinan. Ia menyadari, senjata ini bukan hanya alat untuk melawan, tetapi juga pengingat akan kebenasan yang Adiwira berikan pada mereka.
"Adiwira tahu kita akan menemukan jalan, kan?" tanya Kirana, suaranya dipenuhi ketidakpastian.
Aksara tidak tahu jawabannya. Ia hanya tahu bahwa mereka harus berjalan ke arah utara. Di sana, mereka akan menemukan pelabuhan yang bisa menjadi pintu masuk ke Kalimantan.
Di sepanjang jalan tol, mereka melihat sisa-sisa peradaban yang hancur. Mobil-mobil yang bertumpukan, gerobak es krim yang membeku, dan sebuah boneka beruang yang tergeletak di tengah jalan, matanya tertutupi salju.
Pemandangan itu seolah menertawakan mereka. Semua yang dulu berharga kini tak berarti.
Kirana memungut boneka beruang itu. Ia memeluknya erat-erat, seolah boneka itu adalah satu-satunya bagian dari masa lalu yang masih tersisa.
Mereka melanjutkan perjalanan. Langit kelabu, dipenuhi awan badai salju. Udara semakin dingin.
Tiba-tiba, Kirana berhenti. "Aksara, lihat itu."
Aksara menoleh. Di kejauhan, di antara kabut salju, sebuah papan penunjuk jalan tampak samar-samar. "Kota Tua."
"Itu rute yang lebih pendek," kata Kirana. "Kita bisa melewati kota hantu."
Aksara ragu. Ia tahu, area Kota Tua adalah salah satu yang paling berbahaya. Banyak penyintas menggunakannya sebagai tempat berlindung, dan itu berarti persaingan untuk sumber daya sangat tinggi.
"Itu terlalu berisiko," katanya.
"Tapi kita bisa mendapatkan persediaan," desak Kirana. "Makanan, pakaian, dan mungkin... sebuah peta."
Aksara memandang mata Kirana. Ia melihat kilatan harapan di sana. Ia tidak bisa menolak. Ia mengangguk.
Mereka meninggalkan jalan tol yang membeku dan memasuki gang-gang sempit Kota Tua. Bangunan-bangunan tua di sana terlihat seperti fosil raksasa, menunggu untuk runtuh.
Aroma laut yang dulu segar kini bercampur dengan bau busuk dan dingin.
Mereka bergerak perlahan, mengamati setiap sudut. Setiap bayangan bisa menjadi musuh.
Mereka tiba di sebuah area yang dulunya mungkin adalah pasar. Kios-kios yang hancur, meja-meja kayu yang patah, dan sisa-sisa barang yang berserakan.
Di tengah pasar, mereka melihat tumpukan besar karung. Tumpukan itu bergerak-gerak.