Jakarta Zero: a country covered in ice due to nuclear war (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #5

Menyeberangi Sungai Kebenaran yang Membeku

Langkah-langkah Aksara dan Kirana terasa lebih ringan, meskipun beban di punggung mereka bertambah. Peta yang mereka temukan di markas rahasia ayah Kirana menjadi kompas baru, mengarahkan mereka ke arah utara menuju 'sungai yang membeku'. Mereka tidak lagi hanya mencari perlindungan; mereka mencari 'jawaban'.

Udara semakin dingin. Hawa dari utara terasa seperti pisau yang tajam. Aksara menunjuk ke sebuah jembatan besar di kejauhan, yang menjulang tinggi di atas sungai yang diselimuti es tebal. "Kita harus menyeberang di sana," katanya.

Jembatan itu tampak kokoh, tetapi juga dipenuhi dengan sisa-sisa kendaraan yang macet dan membeku, fosil dari kepanikan massal.

"Papa bilang... sungai itu selalu mengalir. Bahkan di musim dingin," bisik Kirana, matanya menatap permukaan es yang tampak kokoh. "Bagaimana bisa membeku?"

"Mungkin ada alasan lain," jawab Aksara, mengingat catatan tangan ayah Kirana yang berisi keraguan. Ia tahu kebohongan bisa membekukan apa pun, bahkan air yang mengalir.

Mereka mulai menaiki jembatan. Setiap langkah mereka hati-hati, waspada terhadap permukaan yang licin dan puing-puing yang rapuh. Suasana di atas sana terasa mencekam. Angin bertiup kencang, membawa suara-suara aneh dari kejauhan.

Mereka melihat pemandangan Jakarta yang membeku dari ketinggian. Gedung-gedung yang dulunya megah kini terlihat seperti nisan raksasa yang menancap ke langit kelabu.

"Papa... apakah dia juga merasa seperti ini?" tanya Kirana. "Terjebak di dunia yang dia bantu hancurkan?"

Aksara tidak tahu jawabannya. Ia hanya bisa meraih tangan Kirana. "Dia mencoba memperbaikinya. Dia meninggalkan catatan itu untukmu."

Mereka sampai di tengah jembatan. Di bawah mereka, permukaan es sungai terlihat seperti kaca buram yang tak berujung. Aksara melihat retakan-retakan besar di beberapa bagian.

"Kita harus hati-hati," katanya, mencengkeram tangan Kirana lebih erat.

Tiba-tiba, dari bawah jembatan, sebuah suara aneh terdengar. Itu bukan suara angin atau salju. Itu adalah suara benturan logam.

Kirana ketakutan. "Apa itu?"

Aksara menyuruhnya diam. Mereka melihat ke bawah, mencoba menemukan sumber suara.

Dari balik tumpukan puing, sebuah sosok muncul. Bukan manusia. Itu adalah sebuah robot yang berkarat, dengan lampu merah yang berkedip-kedip di kepalanya.

"Robot penjaga," bisik Aksara, teringat akan cerita-cerita orang-orang dewasa dari masa lalunya. "Mereka diprogram untuk melindungi jalan masuk ke fasilitas pemerintah."

Robot itu melihat mereka. Lampu merahnya berkedip cepat, dan sebuah suara mekanis yang terdistorsi keluar dari pengeras suaranya. “Penyusup terdeteksi. Jalur ini adalah area terbatas.”

Aksara mengeluarkan belati esnya. Ia tahu mereka tidak bisa melawan robot itu secara langsung.

Robot itu mulai berjalan ke arah mereka, langkahnya berat dan berdentum. Tanah di bawah mereka bergetar.

"Lari!" teriak Aksara.

Lihat selengkapnya