Jakarta Zero: a country covered in ice due to nuclear war (series 1) novel edison

Pikri YAnor
Chapter #6

Lautan Kebohongan dan Kiamat di Timur Tengah

Aksara dan Kirana berjalan menyusuri hutan beton yang diselimuti salju, mengikuti garis pantai yang membeku. Udara semakin asin, dan mereka bisa melihat gelombang-gelombang es yang pecah di kejauhan. 'Pelabuhan Tanjung Priok' yang dulu sibuk kini bagai kota hantu. Kapal-kapal kargo raksasa terdampar, menjadi monumen bisu dari dunia yang telah runtuh.

Langkah mereka memelan. Mereka melihat sebuah bayangan yang bergerak di antara tumpukan peti kemas. Itu bukan bandit, tetapi seorang pria tua. Janggutnya panjang dan putih, dan ia mengenakan jubah lusuh. Matanya teduh, seolah telah melihat segalanya dan menerima takdir. Ia duduk di atas sebuah peti kemas, menghadap ke laut yang beku, melafalkan doa-doa dengan suara yang bergetar.

Aksara memegang erat tangan Kirana. "Dia... ustadz," bisiknya. Ia teringat akan cerita-cerita orang tuanya tentang orang-orang suci yang mencari ketenangan batin.

Pria tua itu menoleh, tersenyum hangat. "Kalian anak-anak yang tersesat," katanya, suaranya seperti angin yang lembut. "Duduklah. Mari kita berbagi sedikit kehangatan."

Mereka duduk di sampingnya. Pria tua itu menuangkan air dari botolnya dan membagi sepotong roti kering. "Namaku 'Kiai Jalal'," katanya.

"Mengapa Anda di sini?" tanya Kirana.

"Aku menunggu," jawab Kiai Jalal. "Menunggu akhir dari penderitaan ini."

Kirana menatapnya, matanya dipenuhi keraguan. "Anda percaya semua ini adalah akhir?"

Kiai Jalal mengangguk. "Tentu saja. Ini adalah 'kiamat'. Lihatlah dunia ini. Manusia saling membunuh. Hutan-hutan terbakar. Lautan-lautan mengering."

"Tapi... kenapa?" tanya Kirana.

"Sebab manusia telah lupa. Mereka mengira mereka adalah Tuhan. Mereka mengabaikan tanda-tanda yang telah diberikan," jawab Kiai Jalal.

"Tanda-tanda apa?" tanya Aksara, yang tidak pernah mendengar hal-hal seperti ini.

"Di Timur Tengah, di tempat suci. Ada perang yang tak berujung. 'Israel' dan 'Pakistan', mereka saling menyerang dengan nuklir. Ini bukan perang biasa, ini adalah pemenuhan janji yang telah disampaikan. Langit menjadi gelap, dan badai salju menyelimuti seluruh dunia," jelas Kiai Jalal, matanya memancarkan kesedihan.

"Jadi, ini semua adalah... takdir?" tanya Kirana.

"Bukan. Ini adalah konsekuensi," Kiai Jalal menjelaskan. "Allah telah memberikan petunjuk, tetapi manusia memilih untuk mengabaikannya. Mereka memilih untuk menjadi serakah dan haus kekuasaan. Jadi, ini adalah hasil dari pilihan mereka."

"Tetapi... bukankah ada orang yang baik?" tanya Kirana.

"Ada," jawab Kiai Jalal, menunjuk ke arah Aksara. "Tetapi kebaikan tidak bisa melawan kejahatan yang terorganisir. Kebaikan harus ditemukan di dalam diri sendiri. Ia harus menjadi cahaya di tengah kegelapan."

Aksara memandang Kiai Jalal. Kata-kata itu terasa asing, tetapi juga terasa benar.

"Kenapa... kenapa semua ini terjadi?" tanya Kirana lagi, air matanya menetes.

"Karena 'Tuhan tidak mati', Nak," kata Kiai Jalal. "Manusia-lah yang mati. Mereka mati secara batiniah, membunuh semua kebaikan di dalam diri mereka. Dan itulah yang mereka sebarkan ke seluruh dunia. Mereka menjadi mayat hidup yang berjalan, yang hanya tahu cara menghancurkan."

Lihat selengkapnya